Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Kilau Emas Jauh di Mata

Hasil tambang tembaga dan emas di Nusa Tenggara Barat belum dinikmati masyarakat. Wartawan Tempo dari Jakarta melihat langsung kondisi di bumi Sumbawa itu.

13 Juni 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sengatan matahari di Pelabuhan Benete, Kabupaten Sumbawa Barat, Nusa Tenggara Barat, terasa terik, Selasa siang pekan lalu. Di tengah suhu 38 derajat Celsius, puluhan orang berlomba turun dari sebuah kapal cepat yang merapat di dermaga khusus PT Newmont Nusa Tenggara. Para karyawan perusahaan tambang asal Amerika itu baru melepas masa liburan di Mataram.

Dari pelabuhan inilah denyut kehidupan pertambangan tembaga dan emas Newmont bermula. Selain sebagai tempat lalu-lalang para penambang, Benete jadi pusat pengiriman konsentrat, serbuk hitam sarat kandungan tembaga dan emas, hasil eksploitasi tambang tembaga Batu Hijau. Tak melulu buat transportasi, di kompleks yang berjarak 27 kilometer dari mulut tambang ini ada instalasi vital lain berupa pembangkit listrik dan satu kompleks pergudangan konsentrat.

Tapi kini ada kabar lain di sana. Sebagian lahan di kawasan seluas 30 hektare itu, kabarnya, sedang diincar oleh PT Multi Daerah Bersaing untuk pembangunan smelter atau pabrik peleburan konsentrat tembaga dan emas. Multi Daerah Bersaing tak lain perusahaan kongsi pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat, Kabupaten Sumbawa Barat, dan Kabupaten Sumbawa dengan PT Multicapital (milik kelompok usaha Bakrie), yang membeli jatah 24 persen divestasi saham Newmont. ”Ini lokasi paling memungkinkan karena dekat dengan gudang konsentrat dan pelabuhan angkut,” kata sumber Tempo di Benete, pekan lalu.

Pembangunan smelter adalah janji yang diumbar Multicapital ketika meneken akad kesepakatan dengan PT Daerah Maju Bersaing—milik ketiga pemerintah daerah di Nusa Tenggara Barat. Janji pembangunan smelter tercantum dalam nota kesepakatan bernomor 002/DMBVII/2009 dan 002/MC/07/2009 yang diteken pada 11 Juli 2009, pasal 3 butir 13. Tak hanya soal smelter. Multicapital juga memberi janji lain: pemberian dana US$ 4 juta sebagai dana talangan jika Newmont belum memberikan dividen.

Dua tahun berlalu, pembangunan smelter masih sebatas janji. Di Benete, tak ada tanda-tanda rencana pembangunan itu. Jangankan melihat smelter, Tempo tak menemukan satu pun fondasi atau patok penanda. Di lokasi lain juga nihil.

Kuasa direksi PT Multicapital, Tryana Sjam’un, enggan menjelaskan. ”Biar Direktur Utama Multi Daerah Bersaing Didik Cahyanto saja yang menjawab,” ujarnya kepada Padjar Iswara dari Tempo pekan lalu. Namun Didik belum merespons pertanyaan tertulis Tempo mengenai smelter tersebut.

Adapun juru bicara Newmont di Mataram, Kasan Mulyono, mengatakan bahwa hingga saat ini memang belum ada studi ataupun survei pendahuluan pembangunan smelter di area tambang Batu Hijau. Di area tambang Elang-Dodo, kompleks baru di Kabupaten Sumbawa yang akan dioperasikan tiga tahun lagi, pembangunan smelter juga tak pernah dibicarakan. ”Tak ada pembicaraan kami dengan Multi Daerah Bersaing untuk membangun smelter itu,” ujarnya di Mataram pekan lalu.

Pembangunan smelter di Pulau Lombok agaknya bisa mubazir lantaran konsentrat Batu Hijau habis diekspor dan sebagian diserap oleh smelter milik PT Semen Gresik di Jawa Timur. Pembangunan smelter di Batu Hijau pun, menurut Kasan, tak layak dari sisi bisnis karena investasinya besar, sekitar US$ 1 miliar. Pembangunan smelter juga butuh fasilitas pendukung berupa pengolahan ampas, penyuplai oksigen, dan pembangkit listrik baru. ”Ibarat membangun penggilingan padi tapi padinya tak ada,” ujarnya.

l l l

BUTIRAN debu pekat beterbangan di sepanjang jalan Dusun Tongo-Ai Kangkung, Kecamatan Sekongkang, Sumbawa Barat, menghalangi pandangan kendaraan yang ditumpangi Tempo, Rabu siang pekan lalu. Bongkahan batu kecil di sepanjang jalan membuat kendaraan harus berjalan pelan ketika melintasi dusun itu.

Ai Kangkung adalah satu desa dari tiga kecamatan yang termasuk pegunungan area lingkar tambang Batu Hijau. Dari Taliwang, ibu kota Sumbawa Barat, desa ini berjarak 80 kilometer. Adapun dari ibu kota Provinsi Nusa Tenggara Barat, Mataram, jarak menuju Ai Kangkung sekitar 300 kilometer. Perjalanan ditempuh selama empat jam dengan penyeberangan feri rute Kayangan-Poto Tano plus berkendara mobil. Tak banyak angkutan umum yang menuju kawasan ini. Hanya satu bus, yang beroperasi dua kali sehari, dan ojek. Satu truk milik Polisi Pamong Praja terkadang hadir membantu pengangkutan menuju Taliwang atau daerah lain.

Memasuki batas Desa Ai Kangkung, ciri daerah tertinggal amat terasa. Selain jalanan berbatu, permukiman yang berjarak 20 kilometer dari mulut tambang Batu Hijau ini belum dialiri listrik permanen. Kebutuhan setrum buat rumah penduduk dipasok sebuah generator berbahan bakar bensin. Hanya beberapa rumah besar dan masjid yang menggunakan pembangkit listrik sel surya ukuran kecil. Kontras dengan permukiman pegawai Newmont, yang tergolong mewah, dilengkapi bermacam fasilitas, seperti kafe dan lapangan golf.

Rata-rata penduduk kampung ini transmigran dari Lombok dan Bali, yang datang 16 tahun silam. Salah satunya Su’ad, warga RT 02 RW 02 Ai Kangkung. Pria 55 tahun ini merantau dari Lombok Tengah lantaran tak memiliki pekerjaan. Sebagai transmigran, Su’ad mendapat jatah lahan 2 hektare. Tanah ini dijadikan sawah dan ladang. Tapi usaha tani tak berjalan baik lantaran tak ada sumber air. ”Hampir saya pulang kampung lagi,” ujar Su’ad.

Pada 2005, Newmont membangun saluran irigasi dengan membendung Sungai Senutuk di pegunungan sekitar Ai Kangkung. Saluran air itu bisa dimanfaatkan untuk mengaliri 400 hektare sawah. ”Sejak 2007, transmigran bisa menuai panen lima ton padi per hektare, tiga kali dalam setahun,” kata Muhamad Mubasir, desain engineer proyek community development Newmont.

Irigasi hanya satu dari beberapa program pemberdayaan masyarakat Newmont di daerah lingkar tambang, Sekongkang, Jereweh, dan Maluk. Beberapa proyek lainnya adalah pengaspalan jalan raya Sekongkang, pembangunan instalasi air bersih, dan perbaikan beberapa gedung sekolah. Ada juga program bantuan kesehatan pemberantasan malaria dan bantuan tenaga pendidik. ”Dalam setahun dana proyek community development mencapai lebih dari Rp 10 miliar,” kata Basar, Supervisor Capacity Building Newmont.

Toh, kilauan emas dan tembaga dari tambang, serta proyek pemberdayaan masyarakat dari Newmont, belum menyentuh desa di luar area tambang. Di Kecamatan Poto Tano, misalnya, tak ada proyek irigasi ataupun perbaikan jalan seperti di kawasan lingkar tambang. Masih banyak pula penduduk yang tinggal di rumah kayu.

Di Mantar, salah satu desa di kawasan itu, tak ada sarana transportasi yang memadai. Untuk menuju jalan raya, hanya ada ojek. Bus menuju kawasan pelabuhan atau kawasan Kota Taliwang pun hanya sesekali lewat. ”Untuk mengangkut jagung hasil ladang dan sebaliknya, membawa barang dari kota, harus menunggu lama,” kata Abdullah Salim, 54 tahun, warga Mantar yang hidup dari sepetak ladang.

Kepala Dinas Pendapatan, Pengelolaan Keuangan, dan Aset Kabupaten Sumbawa Barat Musyafirin tak menyangkal masih rendahnya taraf hidup masyarakat di sana. Pendapatan penduduk di luar tambang hanya Rp 4,8 juta setahun. ”Ini pendapatan terkecil di Nusa Tenggara Barat,” ujarnya. Jika ditambah pendapatan dari sektor tambang, penghasilan per kapita masyarakat memang mencapai Rp 8 juta sebulan atau Rp 103 juta setahun. ”Tapi itu pendapatan semu,” ujar Musyafirin.

Masyarakat Nusa Tenggara Barat, khususnya di Sumbawa Barat, bisa lebih sejahtera bila penerimaan dividen Newmont optimal. Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat, Kabupaten Sumbawa Barat, dan Kabupaten Sumbawa secara langsung punya 6 persen saham Newmont Nusa Tenggara. Sayangnya, jatah dividen US$ 30 juta (sekitar Rp 300 miliar) belum bisa diterima karena saham dijaminkan kepada kreditor selama dua tahun sampai 2012.

Kini masyarakat hanya berharap kepada pemerintah pusat. Perusahaan Investasi Pemerintah akan membeli tujuh persen saham Newmont Nusa Tenggara. Menteri Keuangan Agus Martowardojo sesumbar, ”Bukan hanya masyarakat Nusa Tenggara Barat yang akan mendapat manfaat pembelian itu, tapi juga semua masyarakat Indonesia.” Masyarakat di Pulau Lombok tentu paling awal akan menagih janji Agus.

Fery Firmansyah, Supriyantho Khafid (Mataram)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus