Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
HANISAH masih murid setingkat kelas II sekolah menengah pertama ketika melakukan gebrakan yang mengguncang kemapanan sistem yang membedakan posisi laki-laki dan perempuan. Saat itu, ia dan santri perempuan lain harus belajar di kelas dalam kondisi berbatas tirai pemisah dengan guru laki-laki mereka. Hanisah menyaksikan proses belajar itu sama sekali tak efektif karena para santri di balik tirai malah tidur atau bahkan meninggalkan kelas begitu saja, sementara guru tetap asyik sendiri mengajar. Sering kali hanya Hanisah sendiri yang bertahan di kelas hingga akhir. Suatu hari kegelisahannya memuncak, lalu dia tarik tirai itu hingga terbuka lebar. Gurunya marah besar, tapi Hanisah menjawab sambil menunjuk teman-temannya yang terlelap, “Coba Teungku (panggilan guru) lihat sendiri siapa yang sedang Teungku ajar.”
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Akibat tindakannya tersebut, Hanisah dipanggil oleh pimpinan pesantren. Dia saat itu pun menyatakan pembelaannya. “Guru mengajar tapi tak ada yang mendengar. Kalau alasan dipisah karena takut ada yang jatuh cinta, bukan guru namanya jika tak bisa menahan diri sama murid,” tutur pendiri Dayah Diniyah Darussalam Meulaboh ini mengingat kembali peristiwa itu saat dihubungi Tempo, Rabu, 22 Juli lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ternyata pimpinan pesantren malah tergerak oleh tindakan Hanisah. Sejak saat itu, tak ada lagi tirai pemisah di ruang kelas pesantren. Beberapa pesantren lain kemudian mengikuti langkah ini. Momen tersebut pun menjadi pijakan awal Hanisah untuk terus menyuarakan hak-hak kaumnya dan menentang aturan yang membatasi gerak perempuan.
Pada 2009, misalnya, Hanisah memprotes Bupati Aceh Barat yang melarang perempuan mengenakan celana panjang, yang ditegaskan lewat Peraturan Bupati Nomor 5 Tahun 2010 tentang Penegakan Syariat Islam dalam Pemakaian Busana Islami di Aceh Barat. Aturan ini ditegakkan polisi Wilayatul Hisbah dengan razia dan memotong celana panjang yang dikenakan warga perempuan. Umi Hanisah—panggilan Hanisah—lantas mendatangi kantor Wilayatul Hisbah dan kantor bupati untuk memprotes aturan ini. “Perempuan-perempuan Aceh sejak zaman Cut Nyak Dien sudah turun bekerja sampai berperang. Kalau cuma boleh pakai rok, bagaimana bisa beraktivitas? Masak, kayak Umi ini pergi menderes karet malah pakai gamis? Susahlah lari kalau nampak ular,” ujarnya mengkritik penerapan perda syariat saat itu.
Hanisah juga bergerak untuk membangun kekuatan kaum perempuan Aceh. Pada 2005, dia menginisiasi berdirinya Forum Ulama Perempuan (FUP) Aceh Barat, yang kemudian berkembang menjadi forum provinsi beranggotakan hampir 400 pedakwah perempuan. Bersama forum ini, Hanisah mendorong terbentuknya Majelis Yassin di tiap kampung yang terdiri atas warga perempuan dan ibu rumah tangga. Dalam pengajian rutin tiga bulan sekali, penceramah anggota FUP akan menyelipkan ilmu untuk memberdayakan perempuan Aceh. “Kami masukkan sedikit-sedikit tentang politik perempuan dan perspektif lain dalam membaca ayat tentang poligami dan KDRT (kekerasan dalam rumah tangga),” katanya.
Selain berkecimpung di FUP, Hanisah aktif di Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh Barat. Dia satu-satunya perempuan di antara 25 anggota MPU. “Perempuan yang ikut pemilihan untuk MPU Aceh Barat ada sepuluh orang, tapi hanya saya yang terpilih. Padahal kami menargetkan setidaknya tiga orang,” ujar Hanisah.
Sendirian mewakili kelompoknya tak membuat Umi patah semangat. Sedapat mungkin dia selalu lantang menolak saat anggota MPU lain memuluskan dukungan untuk tindakan poligami atau menikah dini. “Kalau di forum susah, kadang saya harus melakukan pendekatan kepada anggota lain di luar,” kata Hanisah. “Saya ajak diskusi agar tak setengah-setengah membaca ayat tentang poligami. Alhamdulillah, beberapa dapat berubah sikap.”
Ketua MPU Aceh Barat Teungku Abdurrani Adian membenarkan jika Umi Hanisah dianggap punya karisma berbeda. “Beliau punya pendapat tegas dan selalu memberi argumen yang kuat sehingga bisa diterima anggota lain. Umi juga hampir tidak pernah absen dari rapat-rapat MPU yang digelar empat kali sebulan,” tutur Abdurrani.
Sebagai Sekretaris Komisi C MPU, yang menangani bidang dakwah keluarga, Hanisah saat ini sedang berupaya mencari solusi atas tingginya kasus kekerasan dalam rumah tangga di wilayah tersebut. Dia membuka diri untuk menerima pengaduan kasus KDRT dari perempuan dan anak-anak, meski hanya ia sendiri yang dapat turun tangan untuk menangani. “Saya sedang mengusulkan ada divisi perempuan supaya dapat berfokus menangani urusan perempuan dan bisa bekerja sama juga dengan pemerintah daerah dan kepolisian,” kata Umi Hanisah.
MOYANG KASIH DEWI MERDEKA, IIL ASKAR MONDZA (MEULABOH)
Hanisah, SAg
Tempat dan tanggal lahir: Peunia, Meulaboh, Aceh, 3 Juli 1968
Pendidikan:
• Pesantren Darussalam Labuhan Haji, Aceh Selatan
• Sekolah Tinggi Agama Islam Meulaboh
Jabatan:
• Pemimpin Dayah Diniyah Darussalam, Kaway XVI, Meulaboh
• Pendiri Forum Ulama Perempuan Meulaboh
• Sekretaris Komisi C Majelis Permusyawaratan Ulama Aceh Barat
Prestasi:
• Pemenang Perempuan Aceh Award 2010
•Ashoka Fellow 2013
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo