Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TUMPUKAN kitab dan buku menyesaki deretan rak kayu di perpustakaan sekaligus ruang kerja Irwan Masduqi di Pondok Pesantren Assalafiyah Mlangi, Sleman, Yogyakarta. Ratusan kitab itu diperoleh Irwan antara lain dari Mesir, Libanon, dan Iran. âSaya banyak menghabiskan waktu di sini membaca berbagai kitab Islam klasik, modern, dan kontemporer, baik kanan maupun kiri,â ujar Irwan saat ditemui Tempo pada Rabu, 15 Juli lalu.
Koleksi kitabnya berasal dari berbagai aliran, dari moderat, liberal, kiri, hingga kanan atau garis keras. Misalnya karya pemikir Islam Nasr Hamid Abu Zayd, profesor Universitas Kairo yang menguraikan Islam kiri atau sosialis; kitab Naz'ah Madiyah fi al-Falsafah al-Arabiyah al-Islamiyah tentang Marxisme karya jurnalis dan kritikus sastra asal Libanon, Husayn Muruwah; serta kitab Maâalim fi ath-Thariq karya Sayyid Quthb, ulama kelompok kanan Al-Ikhwan al-Muslimun di Mesir.
Irwan membaca Maâalim fi ath-Thariq ketika berusia 16 tahun. Pada 1999, saat tahun kedua bersekolah di Pesantren Lirboyo, Kediri, Jawa Timur, Irwan menyelundupkan kitab tersebut, yang diperolehnya dari kakak kelasnya yang kuliah di Mesir. Menurut Irwan, kitab berbahasa Arab itu dilarang di Lirboyo karena dianggap bertentangan dengan pemahaman kalangan tradisional.
Kitab itu, kata Irwan, merupakan pustaka yang juga dibaca pelaku peledakan bom Bali 2002, Imam Samudra. Buku itu juga menjadi rujukan Letnan Khaled al-Istanbauly, anggota kelompok Islam fundamentalis yang menembak mati Presiden Mesir Anwar Sadat pada Oktober 1981. Irwan mengatakan kitab itu berisi ajaran jahiliah modern berupa sistem demokrasi. âKalau menelan mentah-mentah kitab itu, pembacanya bisa menjadi radikal,â ujar Irwan.
Setelah membaca buku itu, Irwan sempat terobsesi mendirikan negara Islam. Namun dia juga bertanya-tanya, kenapa para ulama setuju dengan konsep Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Pancasila meski ada kitab yang menyatakan konsep itu tak sesuai dengan ajaran Islam. Irwan lalu membaca referensi lain, seperti konsep republik Islam dari filsuf Al-Farabi hingga pemikir Ibnu Taimiyahâterkenal dengan pernyataan bahwa seorang pemimpin nonmuslim yang adil lebih baik daripada pemimpin muslim yang tidak adil. âSaya tahu mana yang paling sesuai dengan hati nurani dan nilai-nilai kemanusiaan,â tutur Irwan.
Teman sebangku Irwan saat di Pesantren Lirboyo, Fahrul Ihsan, mengatakan Irwan memang mempelajari berbagai kitab. Bahkan, menurut dia, Irwan pernah memasukkan buku-buku dari luar pesantren secara ilegal, misalnya buku-buku teologi karangan penulis nonmuslim. âDia mempelajari berbagai pemikiran Islam dan gagasan liar,â ujar Fahrul.
Perlahan, pemikiran Irwan mulai terbuka dan moderat saat tahun keempat di Lirboyo. Sikap itu juga menguat saat dia kuliah di Universitas Al-Azhar, Mesir. Literaturnya pun makin luas. Ia juga kerap ingat sabda Nabi Muhammad, âkhairul umur ausatuhaâ, yang artinya âsebaik-baiknya perkara adalah yang di tengahâ. âDitambah kiai di pesantren dan guru di Al-Azhar serta keluarga saya moderat semua,â ujarnya.
Menurut Irwan, khazanah pemikiran Islam sangatlah luas. Dia meyakini mereka yang menyelami ajaran Islam dengan benar tak semestinya menjadi fanatik. Apalagi, kata dia, ajaran Islam bersoal keadilan, kesetaraan, kemanusiaan, dan menghargai perbedaan.
Bermodal referensi yang beraneka ragam, Irwan pun memilih menyuarakan toleransi setiap waktu. Mahasiswa program doktoral hukum Islam di Universitas Islam Indonesia ini acap diundang berbicara tentang toleransi di forum internasional. Pada 2011, bersama tokoh Muhammadiyah, Habib Hirzin, Irwan ikut membicarakan perdamaian Rohingya dengan pemuka Buddha asal Myanmar, Biksu Sandida.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo