Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Bangkit Setelah Suami Wafat

Ratna Ulfatul Fuadiyah semula membenci kata “gender”. Kini dakwahnya soal kesetaraan hak perempuan.

25 Juli 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ratna (tengah jilbab abu-abu) bersama dengan anak didiknya saat melakukan pengajian rutin di Purworejo, Jawa Tengah, 18 Juli 2020. TEMPO/Yovita Amalia

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TANGIS Ratna Ulfatul Fuadiyah pecah pada Juni 2016. Taufiq Hidayat, suaminya, meninggal karena leukemia. Peristiwa ini membuat aktivitas dakwah Ratna terhenti. Ia menyelesaikan masa idahnya sambil berpikir ulang mengenai hidupnya, anak-anaknya, juga majelis taklimnya di tempat ia tinggal: Purworejo, Jawa Tengah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ratna gamang. Jika meneruskan majelis taklim, ia khawatir tak bisa menafkahi tiga anaknya. Gaji peninggalan suaminya yang berprofesi dosen di Sekolah Tinggi Ilmu Agama Islam NU Purworejo hanya cukup untuk membayar tagihan listrik. Sanak saudara di Malang, Jawa Timur, meminta Ratna pulang kampung. “Tapi saya enggak mungkin pulang. Apa yang sudah saya tanam di sini akan hilang,” kata Ratna, 39 tahun.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Selepas masa idah, tepatnya pada November, ia meyakinkan diri untuk belajar mengendarai sepeda motor, hal yang sebelumnya dianggap berlebihan. Ratna mengenang peristiwa ini sebagai hal yang menandai lompatan besar dalam perjalanannya berdakwah. “Saya pertama kali belajar pakai motor matic. Jalan cuma 20 kilometer per jam,” ujarnya. Dengan sepeda motor matic yang dipacu pelan inilah ia kembali berdakwah.

Ratna mengembangkan majelis taklim sejak 2007, tahun ketika ia dan suaminya memutuskan pindah ke Borokulon di Purworejo dari Mlangi, daerah yang dikenal sebagai kampung santri, di Yogyakarta, dua tahun setelah menikah. Tapi Taufiq memberinya sejumlah rambu.

Taufiq tak mengizinkan Ratna mengisi pengajian di luar rumah, bahkan sekadar hadir menemaninya mengisi forum laki-laki. “Kalau suami mengisi ceramah di masjid, saya dengarkan lewat pengeras suara dari rumah,” kata Ratna. Ia hanya diizinkan berceramah kepada ibu-ibu di rumahnya, sembari mengajar anak-anak mengaji.

Selepas kematian Taufiq, Ratna pelan-pelan mengubur aturan itu. “Saya harus bangkit,” tuturnya. Semua rencana yang ia rancang selama masa idah mulai dijalankan. Mula-mula Ratna kembali mengaktifkan pengajian di majelis taklim yang diasuh suaminya. Ia juga rutin mengisi pengajian rutin bapak-bapak di sekitar kompleks perumahan, seperti selapanan dan setiap Ahad Kliwon.

Memasuki 2017, Ratna mulai mengisi pengajian umum. Mimbar dakwahnya meluas, tak lagi hanya di dalam rumah—yang ambruk baru-baru ini karena tersapu badai lesus. Namanya mulai dikenal luas sebagai salah satu pemuka agama dari Purworejo. Ratna kerap diundang mengisi pengajian di kabupaten tetangga.

Amunisi kembali menekuni jalan dakwah ia siapkan bersama Rahima, aktivis lembaga swadaya masyarakat lokal yang berfokus pada peningkatan kesadaran tentang Islam, gender, dan hak-hak perempuan. Rahima pula yang mengubah cara pandang Ratna tentang kesetaraan gender. “Saya tadinya sangat antipati dengan kesetaraan gender, bahkan dengan kata ‘gender’ itu benci sekali,” ujar Ratna.

Berkaca pada pengalamannya, ia lebih berhati-hati ketika menyebut kesetaraan laki-laki dan perempuan dalam kajian fikih perempuan. Ia juga kerap mengingatkan jemaahnya jika ada berita pemerkosaan yang menyedot perhatian, bahwa pemerkosaan tidak ada kaitannya dengan baju yang dipakai perempuan. Dengan demikian, jemaah tidak mudah beropini menghakimi korban pemerkosaan.

Tokoh Nahdlatul Ulama setempat yang juga Ketua Takmir Masjid At-Taqwa, Saridin, mengatakan Ratna telah dikenal sebagai pedakwah yang ulet. Menurut dia, semula masyarakat lebih mengenal suaminya. Namun, tiga tahun belakangan, Ratna terbukti tak kalah piawai, bahkan lebih unggul dibanding Taufiq. “Dakwah modern membuat anak-anak dan remaja mau kembali mengaji,” kata Saridin, 64 tahun.

Menurut Ratna, seiring dengan bertambah lapang wawasannya, ia menjadi makin toleran dan matang dalam memperjuangkan hak-hak perempuan. Bahkan ia beberapa kali diundang mengisi materi tentang pendidikan seks buat anak-anak. “Sekarang saya malah antipati kepada orang yang antipati terhadap gender,” ujarnya, lalu terkekeh.



Ratna Ulfatul Fuadiyah

(Pendiri Majelis Taklim Wal Quran Nur Iman dan Majelis Taklim Arrohmah)

Tempat dan tanggal lahir: Malang, 20 Desember 1981

Pendidikan:
• Pondok Pesantren Darul Ulum, Jombang (1999)
• Universitas Islam Sunan Kalijaga, Jurusan Tafsir Hadis, Fakultas Ushuluddin, Yogyakarta (2005)

Buku: 
• Mendidik tanpa Pamrih Kisah Para Pejuang Pendidikan Islam, Jakarta, Kementerian Agama RI (2015)

Prestasi:
• Penyuluh agama terbaik se-Jawa Tengah (2019)
• Penyuluh agama terbaik kedua se-Jawa Tengah (2018)

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Dini Pramita

Dini Pramita

Dini Pramita saat ini adalah reporter investigasi. Fokus pada isu sosial, kemanusiaan, dan lingkungan.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus