Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dodi Ambardi*
Banyak kalangan menilai Kabinet Kerja yang disusun Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla bukanlah tim impian, yakni kabinet yang diisi orang-orang terbaik di bidangnya. Sebagian besar menteri tidak dikenal sebagai sosok yang visioner dalam hal pemikiran, sebagian lain membawa beban politik masa silam yang agak gelap, dan sebagian lagi memiliki reputasi yang tidak meyakinkan untuk menakhodai kementerian.
Penilaian semacam ini diperoleh dari penjumlahan reputasi individual para menteri. Kementerian, pendeknya, diperlakukan sebagai unit kerja terpisah yang masing-masing berdiri sendiri. Ramalan kinerja pemerintahan masa depan dengan demikian adalah ramalan yang berbasis kinerja perseorangan atau per kementerian.
Dari kacamata politik, para menteri yang berasal dari partai juga tidak mewakili kekuatan politik mayoritas di parlemen. Maka, kalau kelak pemerintah mengalami benturan dengan Dewan Perwakilan Rakyat, tim kabinet yang disokong hanya PDIP, PKB, NasDem, Hanura, dan PPP itu tidak bisa memberi garansi kemenangan numerik. Masuk akal jika banyak kalangan yang menyikapi tim kabinet besutan Jokowi dan Kalla secara pesimistis atas prospek kinerja ataupun peluang politiknya kelak.
Tapi kita mungkin perlu meluaskan perhatian dengan menimbang eksperimentasi politik yang sedang dijalankan Jokowi dan Kalla dalam membangun arsitektur baru pemerintahan—bukan sekadar arsitektur kabinet. Eksperimentasi itu melibatkan redefinisi kantor kepresidenan beserta fungsinya, redefinisi kementerian beserta tugas-tugasnya, dan reorganisasi sistem komando pemerintahan. Jika eksperimentasi ini berhasil, secara hipotetik prospek kinerja pemerintahan Jokowi dan Kalla sesungguhnya tidak segelap yang selama ini diperkirakan banyak orang. Mari kita lihat lapis-lapis eksperimentasi politik mereka.
Reorganisasi pemerintahan baru ini berdurasi bulanan, dan proses ini ditargetkan selesai pada Februari 2015. Pada tenggat ini, penggunaan anggaran kementerian berbasis Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan bisa dieksekusi untuk membiayai kebijakan dan program unggulan pemerintah baru tersebut. Tenggat lain, penunjukan kepala staf kepresidenan paling lambat diputuskan 15 Januari. Sedangkan penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah 2015-2019 akan dibahas dalam sidang kabinet pada Desember 2014. Rangkaian tenggat ini mengindikasikan bahwa penyusunan kabinet sebenarnya hanya sebagian dari keseluruhan eksperimentasi politik itu.
Pokok eksperimentasi organisasi pemerintahan itu terlihat dari rekayasa organisasi kantor kepresidenan. Kantor ini mengalami ekspansi dalam hal cakupan tugas dan fungsinya—atau yang dalam bahasa birokrasi pemerintahan dikenal dengan "tusi" atau "tupoksi". Tidak sekadar berkutat pada urusan administrasi dan protokoler, kantor kepresidenan yang baru merangkum dan menyatukan empat lembaga sekaligus, yaitu Sekretariat Negara, Sekretariat Kabinet, Bappenas, dan Staf Kepresidenan. Sekadar perbandingan, kantor kepresidenan Amerika Serikat yang berada di Sayap Barat Gedung Putih merangkum lebih dari 20 kantor dengan urusan sektoral yang berlainan, dan dari sana pemikiran dan komando pemerintahan presiden bermula dan berjalan.
Integrasi Setneg dan Setkab di bawah kantor kepresidenan akan mengefisienkan pengelolaan pemerintahan. Integrasi Bappenas memberi indikasi lain bahwa badan ini akan membantu presiden memberikan arah kebijakan umum untuk membawa Indonesia sepanjang lima tahun mendatang. Ringkasnya, Joko Widodo dan Jusuf Kalla meredefinisi fungsi kantor kepresidenan untuk menjadi markas komando sekaligus think tank bagi presiden.
Ekspansi kantor kepresidenan ini membawa konsekuensi penting. Otak pemerintahan kini beralih ke kantor kepresidenan, sementara kementerian hanya merumuskan kebijakan operasional yang bersumber dari induk kebijakan yang disusun di kantor kepresidenan. Target pencapaian kementerian dengan demikian juga menginduk pada target pemerintahan yang ditetapkan di kantor kepresidenan. Sebagaimana diungkapkan Joko Widodo di berbagai media, presiden adalah chief executive yang bertanggung jawab langsung untuk mengambil arah kebijakan pemerintahan. Otonomi kementerian dikurangi dan dialihkan ke kantor kepresidenan. Dengan desain pemerintahan semacam ini, kualifikasi menteri yang telah terpilih justru cocok belaka. Mereka tidak ditargetkan memiliki pemikiran visioner untuk menarik gerbong Indonesia.
Kalau dilihat komposisinya, dari 34 menteri di Kabinet Kerja, 14 menteri berasal dari partai dan 20 kalangan profesional. Dari 20 kaum profesional ini, 11 di antaranya adalah komisaris perusahaan atau pemilik perusahaan atau eksekutif perusahaan. Dua lainnya adalah eksekutif puncak perguruan tinggi. Mereka adalah personel yang terbiasa mengeksekusi kebijakan sektoral di lapangan. Kinerja kabinet ini dengan demikian seharusnya dilihat sebagai sebuah tim. Kinerja mereka akan bergantung pada kemampuan kantor kepresidenan merumuskan visi dan target kerja dan memberikan arahan kebijakan ke kementerian. Dengan kata lain, ukuran keberhasilan mereka ditentukan oleh kejernihan kantor kepresidenan menyusun prioritas tujuan dan target pemerintahan selama lima tahun ke depan.
Katakanlah proses reorganisasi pemerintahan ini berhasil dan restrukturisasi garis komando pemerintahan berjalan mulus, seberapa besar peluang pemerintahan ini sukses secara politik dalam lima tahun ke depan?
Pada gilirannya, pemerintahan baru ini harus memasuki gelanggang politik sehari-hari di mana presiden, wakil presiden, dan para menteri harus berhadapan dengan DPR. Problem pokok yang dihadapi pemerintah Joko Widodo adalah minimnya dukungan partai koalisi yang mendukung pemerintahan. Meskipun secara nominal kita menganut sistem presidensial, pada prakteknya sejak empat kali amendemen Undang-Undang Dasar 1945, porsi kekuasaan DPR semakin menggelembung. Postur kewenangan presiden di Indonesia pun semakin mirip dengan postur kewenangan perdana menteri di sistem parlementer, yang tindakan dan kebijakannya harus mendapat persetujuan parlemen.
Perkembangan mutakhir, Koalisi Merah Putih pro-Prabowo Subianto memamerkan kekuatannya. Revisi Undang-Undang MD3 mematahkan tradisi politik yang sudah lama berjalan. Pemenang pemilu kini tak secara otomatis mendapat jatah menjadi Ketua DPR. Tradisi pembagian ketua komisi DPR secara proporsional sekarang dibuang, digantikan oleh perebutan posisi ketua komisi melalui mekanisme voting secara paket.
Dengan kekuatan numerik, koalisi pro-Prabowo secara politik bisa mengganjal pemerintah Joko Widodo dan Jusuf Kalla dengan mempersempit rentang opsi kebijakan yang bisa dipilih presiden dan wakil presiden. Ini proses politik normal belaka, tapi bisa menyulitkan berjalannya roda pemerintahan baru. Melalui hak legislasi—sebagaimana pengubahan pemilihan kepala daerah secara langsung ke pemilihan melalui DPRD—koalisi pro-Prabowo selalu memiliki peluang untuk meranjau pemerintahan. Melalui hak anggaran, koalisi ini bisa menyetujui atau membatalkan kebijakan unggulan pemerintah atau memenggal pembiayaan program-program andalan pemerintah. Dari mana peluang politik pemerintah Joko Widodo dan Jusuf Kalla bisa muncul?
Peluang itu justru terletak pada rasionalitas yang selama ini mendasari tindakan politikus koalisi pro-Prabowo. Klaim awal mereka kuat ketika menyatakan bahwa mereka mewakili pemilih mayoritas, yakni 58 persen dari total suara yang dikumpulkan partai-partai anggota koalisi pro-Prabowo. Tapi level dukungan politik dari publik ini akan berubah sejalan dengan ambilan posisi mereka terhadap kebijakan-kebijakan yang diambil pemerintah Joko Widodo dan Jusuf Kalla. Jika koalisi pro-Prabowo mengganjal pemerintah sekarang, sementara dukungan publik mengalir deras ke pemerintah, mereka niscaya akan mengubah posisinya. Langkah rekonsiliatori yang dilakukan oleh ikon utama koalisi, Prabowo, sebagaimana pernah dinyatakannya di media massa, terjadi sebagian karena merosotnya dukungan publik terhadapnya. Logika yang sama bisa berlaku untuk koalisi ini.
Karena itu, pertaruhan pemerintah Joko Widodo dan Jusuf Kalla terletak pada keberhasilan eksperimentasi politik kantor kepresidenan itu: sejauh mana Presiden dan tim kantor kepresidenan bisa memenangi hati publik dengan menyusun prioritas kebijakan yang meyakinkan yang bersumber dari Nawa Cita dan janji kampanye serta pada saat yang sama mengeksekusinya dengan rantai komando yang lebih efisien. Kurang dari itu, eksperimentasi politik Jokowi dan Kalla tak lebih dari gerak yang serabutan.
*) Dosen di Fisipol Universitas Gadjah Mada, Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo