Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MALAM kedua Idul Adha 2012, para santri Pondok Pesantren Assalafiyah Mlangi, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, mengubah penampilan mereka. Ada yang menjadi ulama, ada pula yang menjadi pendeta dan rabi Yahudi. Mengambil tempat di halaman Masjid Patok Negoro Mlangi, para santri yang diasuh oleh Irwan Masduqi itu mengikuti lomba teater yang diadakan kelompok pemuda di kawasan tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Saking seriusnya berakting, santri yang berperan sebagai pendeta membawa salib kayu yang mereka buat sendiri. “Kami ingin mementaskan sejarah kurban juga terjadi di agama selain Islam,” kata Irwan menceritakan peristiwa itu pada Rabu, 15 Juli lalu. Para juri yang berasal dari Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama dan Fatayat NU memenangkan lakon yang dibawakan para santri Assalafiyah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Namun, malam itu, foto mereka membawa salib beredar di jagat maya. Buntutnya, pesantren diserang sejumlah orang. Dengan tenang, Irwan memberi penjelasan soal pesan damai yang terkandung dalam pementasan para santri.
Direktur Ma'had Aly pondok pesantren Kebon Jambu Al Islamy, Babakan Ciwaringin, Cirebon, Jawa Barat, KH Marzuki Wahid MA, saat mengajar mahasantri tingkat akhir, 17 Juli 2020./TEMPO/Prima Mulia
Meski ditekan sana-sini, Irwan tak berhenti menyuarakan toleransi. Lulusan Al-Azhar University, Kairo, Mesir, itu menggandeng pemuda dan tokoh agama lain untuk melawan intoleransi. Dia percaya intoleransi tak mungkin diselesaikan oleh dirinya sendiri, tapi juga harus melibatkan orang lain, termasuk mereka yang berbeda kepercayaan.
Pembaca, menjelang Idul Adha 2020, Tempo membuat liputan khusus tentang para ustad dan ustazah yang memiliki peran seperti Irwan Masduqi. Sosok mereka menjadi vital di tengah menjamurnya intoleransi dan diskriminasi di Tanah Air. Tak jarang intoleransi itu justru disulut oleh sebagian pemuka agama yang dengan mudah melabeli orang atau kelompok lain yang berbeda keyakinan. Manakala hubungan antarumat beragama terganggu, sebagian dari mereka juga memilih diam. Pada akhirnya sikap diam itu ikut menyuburkan intoleransi dan diskriminasi.
Peran para ustad dan ustazah dalam menyebarkan Islam yang damai dan penuh kasih juga makin penting karena sebagian orang yang berperan dalam pembentukan karakter justru punya kecenderungan bersikap intoleran. Survei Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, pada 2018 menunjukkan 56,9 persen dari 2.237 guru muslim di taman kanak-kanak hingga sekolah menengah atas masuk kategori intoleran. Lebih dari separuhnya menolak nonmuslim mendirikan sekolah berbasis agama.
Pada pertengahan April lalu, awak redaksi majalah ini memulai diskusi untuk mengangkat cerita para ustad dan ustazah yang mengembangkan toleransi dan kesetaraan. Kami meyakini ada banyak guru dan pedakwah di negeri ini yang secara konsisten mengajarkan Islam rahmatan lil’alamin. Sangat mungkin mereka bekerja dalam diam di berbagai pelosok kampung dan jauh dari ingar-bingar pemberitaan.
Tim liputan khusus menggelar diskusi dengan sejumlah peneliti di berbagai lembaga, seperti Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, Jaringan Gusdurian, Maarif Institute, Pusat Pendidikan dan Informasi tentang Islam, Pusat Studi Al-Quran, serta Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LLPM) Universitas Islam Negeri Jakarta. Dari mereka, kami mendapatkan berbagai informasi soal karya para pedakwah di pelosok daerah yang memperjuangkan toleransi.
Peneliti LPPM Universitas Islam Negeri Jakarta, Dadi Darmadi, mengatakan para pedakwah moderat di daerah kerap berhadapan langsung dengan gerakan intoleransi dan radikalisme yang telah menyebar ke berbagai penjuru. Senada dengan Dadi, peneliti Maarif Institute, Deni Murdiani, mengatakan para ustad lokal sesungguhnya memiliki dampak besar terhadap komunitas dan lingkungan di sekitarnya. “Peran mereka sangat penting di tengah maraknya penceramah yang menebarkan sikap intoleran,” ucap Deni.
Kami juga berdiskusi dengan Pera Sopiriyanti, Direktur Rahima, lembaga yang berfokus pada pendidikan dan keislaman untuk kesetaraan dan keadilan gender. Menurut Pera, ada banyak ustazah yang memperjuangkan hak-hak perempuan yang sering disepelekan dalam hal keagamaan. “Ulama perempuan bisa memberikan pemahaman bahwa Islam sesungguhnya menempatkan perempuan sebagai manusia yang memiliki harkat dan martabat sebagaimana laki-laki dan sama di hadapan Tuhan,” ujar Pera.
Dari lembaga-lembaga itu dan hasil pencarian mandiri, tim mendapatkan lebih dari seratus nama. Kami mencoba menelusuri jejak mereka melalui dunia maya. Kami juga menyaksikan atau mendengarkan dakwah mereka yang menyebar di media lokal ataupun media sosial. Kami pun mengerahkan koresponden di daerah untuk menelusuri jejak dan karya mereka.
Hasil penelusuran itu kami diskusikan kembali sebelum melakukan verifikasi ke komunitas dan lingkungan mereka. Di tengah pagebluk corona, proses verifikasi menjadi tantangan tersendiri. Wartawan Tempo, Karana Wijaya, harus menembus daerah merah untuk sampai di Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah. Kepergiannya sempat tertunda karena akses yang tertutup.
Melalui proses itu, tim liputan khusus mendapatkan enam ustad dan ustazah yang konsisten memperjuangkan toleransi dan kesetaraan. Dari ujung Sumatera, Umi Hanisah menjadi perempuan pertama yang mendirikan dan memimpin pesantren. Menampung anak-anak korban kekerasan seksual dan kekerasan rumah tangga, Hanisah pernah diusir dari pesantren yang dibangunnya.
Diskusi redaksi Majalah Tempo dengan Dadi Darmadi, peneliti Pusat Pengkajian Islam, Universitas Islam Indonesia Syarif Hidayatullah, Jakarta, di Palmerah, 18 Juni 2020. TEMPO/ Gunawan Wicaksono
Ustazah lain adalah Najmatul Millah, pemimpin yayasan yang menaungi Pondok Pesantren Nurul Jadid Al-Islami di Sukowono, Kabupaten Jember, Jawa Timur. Mencegah santri perempuan menikah dini, ia kerap menerima amukan dari orang tua karena dianggap mempengaruhi anak-anak mereka agar menolak dinikahkan. Di Banyuurip, Purworejo, Jawa Tengah, Ratna Ulfatul Fuadiyah memberdayakan komunitas yang dibangunnya melalui infak produktif. Rumahnya pernah didatangi lintah darat yang tak lagi mendapat keuntungan.
Di Ciwaringin, Cirebon, Jawa Barat, Marzuki Wahid juga gencar menyuarakan kesetaraan perempuan. Ia menuai cibiran ketika menyatakan pemaksaan hubungan seksual oleh suami merupakan bentuk pemerkosaan terhadap istri. Sedangkan di Kotawaringin Timur, dosen Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan Muhammadiyah, Alivermana Wiguna, berjibaku menghalau gerakan radikal di kampusnya. Sama seperti Irwan Masduqi, pengasuh Pondok Pesantren Assalafiyah Mlangi, Alivermana mendidik murid-muridnya untuk menghargai keberagaman agama dan suku.
Pembaca, kami tak menihilkan enam orang itu memiliki berbagai kekurangan. Kami pun tak menutup kemungkinan ada banyak ustad dan ustazah lain di luar sana yang juga memperjuangkan toleransi dan tak masuk pantauan kami. Namun enam ustazah dan ustad itu bisa menjadi contoh bagaimana Islam bisa menjadi rahmat tak hanya bagi pengikutnya, tapi juga mereka yang berbeda keyakinan.
Penanggung jawab: Stefanus Pramono
Kepala proyek: Devy Ernis
Penulis: Aisha Shaidra, Devy Ernis, Dini Pramita, Hussein Abri Dongoran, Gabriel Wahyu Titiyoga, Moyang Kasih Dewimerdeka
Penyunting: Agoeng Wijaya, Anton Septian, Bagja Hidayat, Dody Hidayat, Nurdin Kalim, Stefanus Pramono
Penyumbang bahan: David Priya Sidharta (Jember), Iil Askar Mondza (Meulaboh), Iqbal T. Lazuardi (Cirebon), Karana Wijaya (Kotawaringin Timur), Pito Agustin Rudiana (Purworejo), Shinta Maharani (Yogyakarta)
Periset foto: Gunawan Wicaksono, Jati Mahatmaji, Ratih Purnama Ningsih
Penyunting bahasa: Hardian Putra Pratama, Iyan Bastian, Uu Suhardi
Desainer: Aji Yuliarto, Eko Punto Pambudi, Gatot Pandego
Digital: Imam Riyadi, Rio Ari Seno, Riyan R Akbar
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo