Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Berawal dari gedung tua di kawasan Senen, Jakarta, Tempo tumbuh menjadi media independen.
Menjadi komunitas yang memiliki nilai-nilai sama dalam menjalankan tugas jurnalisme.
Terus beradaptasi dengan perkembangan dunia digital untuk menyebarkan konten berkualitas.
Majalah Tempo lahir dari gagasan mengenai independensi. Tak mudah untuk menegakkannya. Tapi itulah yang terus menjadi tantangan media ini sejak lahir dari sebuah gedung tua di kawasan Pasar Senen, Jakarta Pusat, pada 1971. Zaman bergerak cepat. Tantangan makin berat. Ketika disrupsi teknologi digital terjadi, Tempo pun harus beradaptasi. Apa yang terjadi di dapur redaksi?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TIM investigasi majalah Tempo yang tengah menelisik akal-akalan pengusaha memperoleh izin usaha perkebunan sawit di hutan Boven Digoel, Papua, mendapat titik terang soal liputan mereka pada November 2018. Anggota tim itu, Riky Ferdianto, berhasil membujuk pemilik perusahaan yang mengantongi izin tersebut, yang kebetulan sama-sama orang Minang, untuk bertemu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Riky dan seorang rekannya menjumpai si pengusaha di sebuah kantor di kawasan Sudirman, Jakarta Pusat. Di pengujung pembicaraan, sang pengusaha memanggil anak buahnya untuk mengambil uang. Dia memasukkannya ke amplop kertas cokelat dan meminta Riky membawa uang tersebut. Riky menolak, tapi pengusaha itu tetap memaksa dengan beragam alasan. Salah satunya: dia menganggap Riky sebagai adik.
Bujuk rayu pengusaha itu terpotong waktu salat Magrib. Mereka pun menunaikan salat berjemaah dan si pengusaha menjadi imamnya. Saat beranjak pulang, Riky kaget karena tasnya terasa berat. Ternyata pengusaha itu diam-diam menyelipkan uang tersebut di sana. Riky akhirnya pamit sambil menyerahkan kembali uang tersebut. Sempat terjadi perdebatan saat Riky berjalan keluar dari kantor karena pengusaha itu berkeras memberikan uangnya.
Tak ingin terjebak keributan lebih panjang, Riky memutuskan membawanya. Mereka langsung meluncur ke kantor dan melaporkan amplop cokelat tersebut kepada Redaktur Pelaksana Investigasi Bagja Hidayat. “Amplop dibuka, isinya Rp 25 juta,” kata Riky. Uang tersebut juga dilaporkan kepada anggota redaksi lain saat rapat redaksi sebelum diserahkan ke sekretariat Tempo untuk dikembalikan kepada pengusaha itu.
Dari kiri: Harjoko Trisnadi, Eric Samola, Ali Sadikin (Gubernur DKI Jakarta), Goenawan Mohamad, Ir. Ciputra, dan rekan dalam acara peringatan ulang tahun TEMPO dan selamatan kantor baru di Proyek Senen, Jakarta, 1977./TEMPO/ Eddy Herwanto
Laporan investigasi hasil kolaborasi Tempo dengan sejumlah media tentang perkebunan sawit seluas 280 ribu hektare itu terbit di majalah Tempo edisi 26 November-2 Desember 2018. Nama perusahaan si pengusaha pun tertera di sana. Beberapa waktu setelah duit tersebut dipulangkan, Riky mendapat pesan lewat aplikasi WhatsApp dari pengusaha itu. “Intinya dia kecewa kenapa duitnya dibalikin,” ujar Riky.
Menolak sogokan seperti itu sering dilakukan Riky dan anggota redaksi Tempo lain. Hal ini menjadi bagian dari upaya redaksi menjaga nilai-nilai Tempo soal independensi dan kejujuran serta menegakkan etika jurnalistik. Beberapa jurnalis malah pernah berhadapan dengan suap yang nilainya fantastis, yang sayangnya tak semua bisa kami ungkap di sini.
Setiap media memiliki dan mengembangkan identitasnya masing-masing. Tempo tumbuh dengan menjaga prinsip independensi yang sudah disematkan sejak edisi perdana majalah berita itu terbit pada 6 Maret 1971. Prinsip itu pula yang membuat jurnalis Tempo bisa leluasa menjalin hubungan dengan narasumber tapi tetap menjaga jarak.
Independensi menjadi identitas penting dalam ikhtiar Tempo selama setengah abad mengumpulkan informasi dan menyajikan berita. Direktur Utama PT Tempo Inti Media Toriq Hadad mengatakan Tempo adalah komunitas jurnalis yang berpandangan bahwa amplop dan jurnalisme tak bisa berjalan seiring. “Kalau mengambil berarti curang, (jurnalis telah) mengambil manfaat lain dari hubungannya dengan narasumber,” kata mantan Pemimpin Redaksi Majalah Tempo itu.
Fondasi independensi Tempo sudah dicantumkan dalam pengantar edisi pertama majalah Tempo yang ditulis Goenawan Mohamad, pemimpin redaksi kala itu. Tempo, menurut Goenawan, tidak menganut asas jurnalisme yang memihak satu golongan. Tugas pers bukan menyebarkan prasangka dan menimbulkan kebencian, tapi mengkomunikasikan saling pengertian. “Jurnalisme majalah ini bukanlah jurnalisme untuk memaki atau mencibirkan bibir, juga tidak dimaksudkan untuk menjilat atau menghamba,” tulisnya.
Menyambut ulang tahun Tempo ke-50, redaksi kali ini kembali membuat laporan khusus Kecap Dapur yang menyajikan cerita dari dapur Tempo. Laporan kali ini disusun oleh para jurnalis milenial Tempo, yang sebagian besar bergabung dalam 10 tahun terakhir, untuk membagikan kisah tentang identitas media yang mereka warisi dari para anggota redaksi sebelumnya.
Selain mengulas cerita dan pengalaman anggota redaksi, Kecap Dapur ini khusus membahas hal-hal yang pada akhirnya membentuk Tempo dan membuatnya tetap bertahan selama setengah abad. “Kami ingin berbagi pandangan bagaimana Tempo membuat Tempo dan diharapkan ini bisa menjadi panduan bagi yang lain,” ujar Pemimpin Redaksi Majalah Tempo Wahyu Dhyatmika.
Gedung Tempo Media Group di Jalan Palmerah Barat, Grogol Utara, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, Kamis, 15 Maret 2018./TEMPO/Subekti
Kelahiran Tempo dirintis oleh sekelompok wartawan dari berbagai media. Mereka berkolaborasi dengan sejumlah pengusaha. Memiliki sumber daya besar dan kenalan para pesohor, para jurnalis Tempo sudah mematok independensi sebagai harga mati. “Redaksi punya otonomi khusus, direksi atau pemegang saham tak bisa ikut campur urusan redaksi,” kata Harjoko Trisnadi, bekas wartawan majalah Djaja yang ikut mendirikan Tempo.
Majalah Tempo juga memilih bentuk jurnalisme naratif sebagai cirinya. Gaya laporan yang mengandalkan teknik bercerita atau story telling ini dinilai dapat membuat sebuah tulisan menjadi enak dibaca dan perlu. Ini didukung pula oleh kemampuan sebagian jurnalis angkatan pertama yang memiliki latar belakang sastrawan. Model penulisan seperti ini juga dipilih agar Tempo tak terjebak dengan penggunaan bahasa Indonesia yang kaku dan formal.
Majalah Tempo belakangan ini juga sering diidentikkan dengan jurnalisme investigatif. Media ini berkali-kali membongkar berbagai kasus korupsi, penyelundupan, pelanggaran hak asasi manusia, perdagangan orang, pemalsuan lukisan, hingga perusakan lingkungan. Sebelum Tempo dibredel, jurnalisnya sebenarnya telah beberapa kali melakukan investigasi dan menyajikannya kepada pembaca. Namun rubrik Investigasi, sebagai wadah utama hasil investigasi, baru dikukuhkan setelah Tempo terbit kembali pada 1998.
Sedikit media yang mau melakukan investigasi karena biayanya mahal, waktunya lama, dan risikonya besar. Namun Tempo tetap memilih jalan yang berat ini dengan segala risikonya. Dalam perkembangannya, Tempo juga menjalin kerja sama dengan berbagai media dan lembaga yang sama-sama berkomitmen di bidang jurnalisme investigatif.
Salah satu yang menarik perhatian publik ketika majalah Tempo terbit adalah gambar sampulnya. Tim desain dan ilustrator berkreasi menerjemahkan laporan Tempo ke bahasa visual semenarik mungkin. Pujian dan kritik datang silih berganti menanggapi sampul Tempo, yang beberapa kali telah memicu kontroversi.
Meskipun dikenal sebagai media yang sarat berita politik dan ekonomi, Tempo juga memberikan ruang bagi peristiwa kesenian. Bahkan media ini beberapa kali mengangkat laporan tentang seni sebagai laporan utamanya. Tak berhenti pada berita seni, Tempo juga menggagas pemilihan tokoh seni, termasuk tokoh dari dunia perfilman.
Ketika disrupsi teknologi digital terjadi dan memorak-porandakan bisnis media konvensional, Tempo turut terkena imbasnya. Perkembangan media digital adalah suatu keniscayaan dan Tempo harus pula menghadapinya.
Sebetulnya Tempo sudah berkecimpung di ranah digital sejak hampir tiga dekade lalu. Ketika majalah Tempo dilarang terbit, redaksi media ini kemudian meluncurkan situs berita Tempo Interaktif sebagai media alternatif pada 1996. Kini Tempo terus beradaptasi dalam mengarungi dunia digital yang bergerak cepat. “Transformasi digital Tempo menjadi penting agar konten-kontennya bisa menjangkau pembaca digital yang seluas-luasnya,” kata Wahyu Dhyatmika.
Lima puluh tahun berlalu. Banyak jurnalis Tempo yang datang dan pergi. Namun nilai dan berbagai ciri yang membentuk identitas Tempo tetap hidup dan dipertahankan oleh para jurnalis generasi berikutnya. Hal inilah yang membuat Harjoko bangga bahwa Tempo, yang dulu dia bangun bersama kawan-kawannya di sebuah gedung tua di kawasan Pasar Senen, Jakarta Pusat, masih bisa mempertahankan identitasnya. “Memang mahal sekali menjaga independensi dan nilai-nilai Tempo lainnya, tapi inilah yang membuatnya berbeda dan kita harus berani mempertahankannya,” ujarnya.
Pembaca, 50 tahun adalah usia yang cukup panjang bagi media ini. Banyak hal yang terjadi dan banyak hal pula yang perlu terus dipelajari. Pada momen ini, kami ingin berbagi cerita tentang perjalanan tersebut. Kami membuka pintu dapur kami dan mengajak Anda menengok bagaimana awak redaksi bekerja sejak media ini terbit pertama kali hingga kini.
Selamat membaca!
Tim Kecap Dapur 50 Tahun Tempo
Penanggung Jawab: Iwan Kurniawan
Pemimpin Proyek: Gabriel Wahyu Titiyoga
Penulis: Agung Sedayu, Gabriel Wahyu Titiyoga, Moyang Kasih Dewimerdeka, Nur Alfiyah, Raymundus Rikang, Riky Ferdianto
Penyunting: Bagja Hidayat, Iwan Kurniawan, Mustafa Silalahi, Nurdin Kalim, Sapto Yunus, Stefanus Teguh Pramono
Penyunting Bahasa: Edy Sembodo, Hardian Putra Pratama, Iyan Bastian
Periset Foto: Gunawan Wicaksono, Jati Mahatmaji, Ratih Purnama
Desainer: Djunaedi, Munzir Fadly
Digital: Rio Ari Seno, Riyan R Akbar
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo