Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MAKANAN empat keraton Mataraman di Solo dan Yogyakarta sebenarnya banyak memiliki kemiripan. Menu seperti selat, bistik, dan nasi golong bisa ditemui di keempat tempat itu. Perbedaan terjadi pada detail rasanya. Hal itu sangat dipengaruhi oleh lidah para raja.
Bale Raos
Jalan Magangan Kulon Nomor 1, Yogyakarta Jalan Suryo Nomor 15, Jakarta Selatan
LETAKNYA benar-benar di dalam dinding keraton. Tepatnya di samping pintu keluar wisatawan. Restoran ini merupakan pelengkap kunjungan ke keraton karena ada banyak makanan yang didasarkan pada resep keraton, tapi sepertinya dimodifikasi agar terlihat dan terasa lebih modern.
Di antara masakan andalan mereka adalah Bebek Suwar Suwir, yaitu daging bebek dengan saus parutan kedondong. Konon, makanan ini diciptakan oleh koki istana keturunan Belanda pada masa Hamengku Buwono IX. Kegemaran HB IX lainnya adalah Ser Ces, ragam sayuran yang dimasak dengan susu dan lada. Biasanya dihidangkan sebagai pendamping bistik. Ada juga Sanggar, yang dibuat dari irisan daging sapi yang dipanggang dengan saputan dan dijepit dengan bambu.
Selain di Yogyakarta, Bale Raos ada di Jakarta.
Omah Sinten
Jalan Diponegoro 34-54, Ngarsopuro, Solo, Jawa Tengah
BERADA tepat di depan Pura Mangkunegaran, restoran ini seolah-olah ingin menyatakan "kedekatannya" dengan makanan istana. Restoran yang didirikan oleh Slamet Raharjo—bukan aktor, melainkan pemerhati budaya Solo—ini memang menyediakan banyak menu yang awalnya hanya berada di balik tembok istana, baik Pura Mangkunegaran maupun Keraton Kasunanan.
Ada sate pentul dari daging giling yang disukai Pakubuwono X, makaroni sekutel ala Pakubuwono XII, sop buntuk keraton, sop jagung Pakubuwono XI, pecel ndeso yang digemari Mangkunegara I, nasi golong (kepal), garang asem bumbung (dimasukkan ke bambu), dan beberapa makanan khas Solo lain. "Di waktu-waktu tertentu, kami juga membuat makanan seperti jenang suran, yang memang hanya keluar di bulan Sura," kata Lea Meliana dari Omah Sinten.
Meski menyajikan makanan khas istana, Omah Sinten—yang artinya rumah siapa—tidak menerapkan resep asli dari keraton 100 persen. Ada sejumlah penyesuaian agar makanan lebih terasa kompleks dan memenuhi standar penyajian modern. Penggunaan bumbu juga lebih berani.
Gadri Resto
Jalan Rotowijayan Nomor 5, Yogyakarta
RESTORAN ini menempel pada Keraton Yogyakarta. Dulu adalah rumah Hamengku Buwono IX di masa kecil. Pemiliknya adalah Bendoro Raden Ayu Nuraida, istri Gusti Bendoro Pangeran Haryo Joyokusumo (almarhum), yang merupakan adik HB X. Dia juga membukukan 100 resep masakan keraton dalam buku berjudul Warisan Kuliner Keraton Yogyakarta. Karena itu, tak sulit baginya menyajikan masakan khas keraton, termasuk makanan yang hanya muncul saat upacara tertentu. "Seperti Nasi Blawong. Itu hanya disajikan saat peringatan tingalan Dalem (ulang tahun Sultan). Sejak HB I hingga sekarang," kata Nuraida.
Disebut Nasi Blawong karena diletakkan di atas piring besar yang berwarna biru (blauw dalam bahasa Belanda). Nasinya berwarna merah karena diberi aneka rempah digunakan saat menanak. Lauknya adalah ayam goreng bacem, telur pindang, dan daging lombok kethok dari daging sapi. Daging itu dipotong-potong seukuran dadu dan diberi bumbu kecap. "Yang membuat gurih itu bawang merahnya yang utuh," ujar Nuraida.
Sambil makan, pengunjung bisa mendengarkan gamelan secara langsung, bukan diputar dari cakram padat.
Royal Dinner Mangkunegaran
Pura Mangkunegaran, Solo, Jawa Tengah
MEMILIKI khazanah kuliner yang cukup kaya rupanya tidak disia-siakan oleh Pura Mangkunegaran. Mereka acap menggelar makan malam untuk pengunjung pura. Menunya adalah makanan-makanan kegemaran para raja, seperti nasi liwet favorit Mangkunegara IV, timlo Solo Mangkunegara VII, sambal goreng bledeg Mangkunegara VIII, garang asem bumbung Mangkunegara VI, lodoh pindang Mangkunegara III, puding tape Mangkunegara VII, nasi golong pecel pitik Mangkunegara I, dan selat Solo Mangkunegara IV.
Para undangan akan makan ditemani sejumlah anggota keluarga istana. "Kadang ada penampilan tari setelah makan malam," kata Roy Halilintar, yang mengelola acara ini. Sayangnya, acara ini tidak rutin. "Hanya akan dilakukan jika ada rombongan yang memesan. Minimal 30 orang," ujar Roy. Untuk melakukan registrasi pun belum praktis. Mereka hanya bisa dihubungi lewat halaman Facebook.
Glosarium
Jenang Suran.
Jenang suran adalah bubur yang hanya dimasak di Pura Mangkunegaran pada tanggal 10 Sura atau Muharam. Ada delapan jenis lauk yang wajib ada di dalamnya. Plus jenang, maka ada sembilan bagian. Makanan untuk ritual memang wajib berjumlah ganjil.
Jenang:
Bukan berarti dodol, melainkan bubur. Menurut hasil riset Yayasan Jenang Indonesia, dulu ada sekitar 20 varian jenang. Yang dikenal masyarakat pada saat ini hanya separuhnya. Bahkan kebanyakan masyarakat juga sudah tak tahu lagi makna filosofis di balik jenang yang mereka santap di pasar tradisional.
Suran:
Berarti Sura atau Muharam, bulan pertama dalam kalender Islam dan Jawa. Kata Sura diambil dari Asyura atau 10 Muharam, salah satu tanggal terhormat dalam Islam. "Jenang suran biasanya dibuat pada tanggal 10," tutur Sutarni. Kami meminta dia membuat bubur itu pada tanggal 1 agar kami dapat merasakannya sebelum pulang ke Jakarta.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo