Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hedi Hinzler, 72 tahun, adalah ahli Jawa kuno yang pernah mengajar di Universitas Leiden, Belanda. Hinzler tidak hanya berkutat dalam tumpukan buku, tapi juga pandai mendalang, mahir menabuh gamelan Bali, dan menjadi juru masak yang ingin tahu apa makanan orang pada zaman dulu. Kontributor Tempo di Amsterdam, Joss Wibisono, mewawancarainya soal makanan orang Jawa kuno.
Seperti apa makanan Jawa sebelum kedatangan Eropa?
Dalam pelbagai prasasti dari akhir abad ke-9 dan tulisan bahasa Jawa kuno dari abad ke-10, bisa dibaca catatan-catatan singkat tentang makanan dan minuman. Misalnya, para penguasa dilaporkan menggelar pelbagai pesta dengan jamuan makan. Dalam kesempatan itu, raja mengizinkan hadirin makan hidangannya, yang disebut rajamangsa. Santapan itu terdiri atas nasi dan daging istimewa, biasanya daging binatang yang sudah dimandulkan karena dagingnya lebih lunak.
Apakah ada makanan yang dilarang sebelum kedatangan Islam?
Dalam Negarakertagama (karangan Mpu Prapanca, tentang Kerajaan Majapahit) tertera bahwa di beberapa wilayah Jawa Timur orang menyukai makanan dari katak, cacing, keledai, dan anjing. Raja Hayam Wuruk tak mempermasalahkan itu saat jamuan. Tapi, dalam Nitisastra (kitab kebijakan hidup dari India), tertera larangan makan tikus, katak, anjing, ular, ulat, dan cacing. Nitisastra sangat dipengaruhi tradisi India, sedangkan Negarakertagama ditulis di Jawa dan berkisar tentang situasi Jawa. Dari pelbagai contoh ini bisa ditarik kesimpulan bahwa di Jawa kuno sebenarnya tidak berlaku larangan ketat untuk mengkonsumsi binatang. Pilihan setiap orang justru dihargai.
Apakah sudah ada tempe dan tahu?
Kedelai berasal dari Tiongkok Utara. Sebelum tahun 1500, di Nusantara tidak ada kedelai. Menurut Serat Centhini (1815), pada awal abad ke-19, orang Jawa sudah membuat banyak tempe.
Di masa lalu, rasa apa yang dominan dalam makanan Jawa?
Rasa asin, asam, dan manis memang sudah terkenal dan tertera pada banyak prasasti. Ketika Rama pulang dari pengasingan, dia disuguhi santan kental bergula yang disebut wuduk. Manis yang enak, kata Rama. Pedas yang waktu itu disebut trikatuka juga dianggap enak. Lemper yang terbuat dari ketan dan berwarna kuning karena kunyit juga dianggap enak. Dodol yang bernama dwadwal, terbuat dari durian, banyak dipuji dalam kisah Ramayana.
Bagaimana dengan tumpeng?
Nasi tumpeng merupakan sesajen kepada dewata. Bentuknya yang kerucut juga melambangkan lingga. Khususnya pada perayaan tahunan bagi Dewa Brahma dibuat annalinga (anna adalah bahasa Sanskerta untuk nasi). Pada kunjungan seorang raja atau ratu ke desa tertentu, kepada mereka dipersembahkan tumpeng sekul dengan lauk-pauk berupa lima jenis daging. Ini bisa dibaca dalam Kakawin Arjunawijaya yang ditulis sesudah 1365.
Kita berpindah ke zaman modern, masa Mataram Islam (abad ke-18 sampai 1945). Kenapa makanan asli keraton banyak yang mengadopsi makanan Belanda?
Dari dulu, menyantap hidangan asing itu adalah chic alias bergengsi. Di mana pun di dunia, kalangan kelas atas selalu merupakan pihak pertama yang mendatangkan hal-hal khusus di atas meja makan mereka. Merekalah yang merupakan trendsetter. Mereka juga sering menerima tamu asing dan tak enggan pamer bahwa tahu kecenderungan internasional dengan menghidangkan makanan asing. Mereka jugalah yang mengecap pendidikan di luar negeri dan ketika pulang membawa lauk atau rasa baru dari luar negeri. Di Sriwedari, Solo, pada 1970-an, orang bisa memesan makanan Belanda hutspot.
Apakah hal ini tercatat?
Dalam buku tentang masakan favorit para bangsawan keraton Kesultanan Yogyakarta, saya menjumpai resep bistik komplet (daging sapi) yang merupakan masakan favorit Hamengku Buwono IX. Biasa dihidangkan pada setiap hari Minggu pukul 10 pagi. Bumbunya termasuk banyak: bawang merah, lada, pala, garam, gula jawa, kecap, dan cuka. Selain itu, ada kentang yang diimpor, kemudian selada yang terdiri atas wortel, buncis, dan tomat yang diberi mentega.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo