Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Gerimis meng-akhiri tugas memasak Imelda Napitupulu di Pantai Bulbul, Balige, Toba Samosir, sore itu. Matahari pun sudah tak terlihat. Pantai yang saat siang terang-benderang itu berubah jadi gelap. Tak ada satu pun lampu di salah satu tepi Danau Toba itu. Hanya dua obor bambu yang meneranginya, tapi kemudian ikut padam terciprat air hujan yang turun di awal November.
Tak ingin kebasahan, Imelda berlari-lari kecil menuju warung kopi yang berjarak sekitar 100 meter dari pantai. Ia meninggalkan meja masak dan anglo yang masih ada bara arang di dalamnya. Sebelum beranjak, ia menutup wajan besar yang tercogok di atas anglo dengan daun pisang.
Di dalamnya ada tiga kilogram arsik ikan mas hasil racikannya sejak sore tadi. Saya dan seorang teman dari Medan yang sudah lama menonton aksi perempuan 42 tahun itu bersiap ikut berlari ke arah warung. Namun Imelda mencegah kami—juru foto Tony Hartawan dan saya. "Tolong angkat wajannya ke warung," katanya.
Arsik ikan mas sangat populer bagi suku Batak dan suku lain di Sumatera Utara. Di permukiman suku Mandailing, seperti di Kota Padang Sidempuan, makanan ini biasa disebut ikan mas sinyarnyar. Di setiap acara adat, arsik ikan mas dihidangkan sebagai simbol kesejahteraan dan persaudaraan karena selalu disantap bersama-sama.
Arsik berarti kering. Cara memasaknya, ikan mas direbus bersama seluruh bumbu sekaligus hingga airnya mengering. Itu sebabnya arsik lebih baik dimasak di atas anglo atau tungku kayu bakar. Dimasak perlahan sampai airnya tandas, seluruh bumbu pun meresap ke dalam daging ikan.
Sebelum hujan, hampir dua jam Imelda memasak di tepi pantai di sisi tenggara Danau Toba itu. "Perempuan Batak harus bisa memasak arsik agar bisa menyenangkan keluarga," ujar Imelda. Pada 4 November lalu, Imelda memasaknya untuk menyenangkan Sebastian Hutabarat, suaminya, yang ingin menjamu tetamu.
Untuk memasak arsik itu, sehari sebelumnya, Imelda dan Sebastian mengajak kami membeli bahan-bahan makanan di Pajak Balige. Di sana, pasar disebut pajak. Berbelanja di Balige seperti berwisata. Pasar yang dibangun pada 1932 itu berada persis di tengah ibu kota Kabupaten Toba Samosir ini.
Dulunya bangunan itu digunakan sebagai tempat pementasan budaya Batak. Itu sebabnya pajak tersebut punya bentuk arsitektur yang unik: terdiri atas tujuh balerong, atau kubah rumah tradisional, dengan tujuh ornamen yang berbeda. Tiang-tiang besinya masih terawat dengan baik. Di bawahnya, para pedagang—semuanya perempuan—menjual bahan kebutuhan sehari-hari, termasuk bumbu khas Batak, seperti andaliman, bawang Batak, dan asam mebo.
Orang Batak, kata Sebastian, gemar berpesta meskipun untuk hal-hal kecil, seperti penyambutan tamu di Pantai Bulbul itu. Tiap momen dalam kehidupan orang Batak dirayakan dengan berpesta. Dari bayi yang lahir sampai orang yang meninggal dirayakan dengan mengundang kerabat. "Itu sebabnya ragam makanan di suku Batak sangat banyak," ujarnya.
Ragam makanan itu disatukan oleh andaliman, yang juga dikenal sebagai "merica Batak". Nama latinnya Zanthoxylum acanthopodium. Bentuknya seperti merica, tapi basah dan hijau. Hampir semua masakan Batak menggunakan andaliman. "Makanan dari daerah lain tidak ada yang menggunakan andaliman," kata William Wongso, tokoh kuliner Nusantara.
Selain arsik ikan mas yang sedang dimasak Imelda itu, masakan yang populer di suku Batak adalah ayam natinombur dan ikan naniura (sashimi ala Batak), ikan napinadar, sambal tuktuk, serta sayur daun ubi tumbuk. Semuanya menggunakan andaliman.
Andaliman adalah benang merah yang menyatukan beragam suku Batak. Penggunaannya hampir merata di tiap suku di Sumatera Utara. Sementara orang Batak Toba menyebutnya andaliman, suku Mandailing menyebutnya sinyarnyar. Suku Karo dan Dairi menamainya tuba. Bahkan, di perbatasan antara Karo dan Aceh, andaliman juga digunakan. Penduduk di sana menyebutnya empan.
Rasa penasaran akan andaliman ini membawa kami ke sisi lain Danau Toba, sehari setelah perjamuan di Bulbul. Kami ingin mendatangi ladang andaliman di Desa Aek Natolu Jaya, Lumban Julu, Toba Samosir. Ladang itu berada di balik perbukitan yang cantik dan berudara dingin. Untuk menuju ke sana, kami harus berjalan kaki sepanjang dua kilometer di jalan setapak yang berlumpur dan mendaki.
Di sebelah kiri kami tebing, di kanan kami ladang jagung yang dua bulan lagi akan dipanen. Jika punya dengkul kuat, Anda bisa memanjat hingga lima jam, dan akan terlihat pemandangan Danau Toba dari atas bukit.
Andaliman tumbuh tak seperti tanaman budi daya. Pohon ini tumbuh secara alami. "Kami lempar saja bijinya ke tanah, tunggu tahun depan baru jadi bibit," ujar Saut Siahaan, 74 tahun, salah seorang petani. Itu sebabnya pohon andaliman tumbuh liar dan tak banyak. Pohon andaliman milik Saut kini hanya tinggal empat batang. Sisanya tergusur oleh ladang jagung.
Jumlahnya yang sedikit dan permintaan yang selalu tinggi membuat harga andaliman mudah melonjak. Ke pengepul, Saut menjual satu kilogram andaliman dengan harga Rp 250 ribu. Di pasar, bila sedang langka, sekilogram andaliman mencapai harga Rp 500 ribu. Saut mengatakan dia hanya dua kali setahun bisa memanen. Dari satu pohon, ia bisa mendapat 4-6 kilogram andaliman.
Meski mahal, andaliman tak akan diganti oleh bumbu lain. "Rasanya malah aneh kalau pedasnya digantikan cabai atau merica," kata Imelda. "Rasa pedas andaliman bisa bikin orang bersemangat," ujar Mostar Simangunsong, salah satu tamu Sebastian.
Rasa pedas andaliman membikin lidah bergetar, kemudian kelu. Sensasi itu dihasilkan oleh semacam toksin berbentuk minyak yang bernama hydroxy alpha sanshool. Kami mencoba memakan andaliman mentah-mentah. Pedasnya lebih terasa. Aroma napas pun menjadi segar seperti setelah mengulum permen mentol.
Pedas yang menggetarkan ini juga dikenal dalam budaya kuliner Sichuan, Cina. Mereka menamainya ma la. "Bahasa Inggrisnya numb hot, pedas yang bikin baal," kata William. Menurut dia, masakan Sichuan harus terdiri atas lima rasa: asam, manis, asin, pedas, dan ma la. Untuk mendapatkan rasa ma la itu, mereka memakai andaliman, yang dalam bahasa Inggris populer disebut Sichuan pepper atau lada Sichuan.
Indra Halim, 36 tahun, yang menekuni dunia kuliner di Medan, kurang setuju jika andaliman disamakan dengan Sichuan pepper. Ia pernah menguji langsung perbedaan masakan keduanya di Sichuan. "Pedasnya berbeda," ujarnya. Andaliman memiliki pedas yang membuat lidah kebas, seperti wasabi, sementara Sichuan pepper pedas seperti cabai rawit.
Menurut William, perbedaan bentuk keduanya disebabkan oleh cara pemanenannya. Andaliman dipetik dan dikonsumsi saat masih hijau. Sedangkan Sichuan pepper dibiarkan hingga merekah dan mengering, baru dijadikan bumbu. "Pengaruh tanah dan udara membuat bentuk keduanya sedikit berbeda. Andaliman jadi lebih kecil. Tapi keduanya bisa dikatakan sama," ucap William.
Masalahnya kemudian adalah siapa yang memakai lebih dulu. Orang-orang Cina datang membawa Sichuan pepper ke Indonesia seperti orang Spanyol membawa cabai, atau andaliman diimpor oleh orang Cina yang datang ke Nusantara.
Sejumlah orang—tokoh Batak, para dosen, bahkan tokoh agama—yang kami tanyai soal ini tak bisa menjawabnya. "Tak pernah ada referensi yang mencatat asal-muasal andaliman di suku Batak," ujar tokoh agama Malim di Balige, Monang Naipospos. Marandus Siahaan, yang dikenal sebagai pionir pembibitan di Taman Eden, Toba Samosir, juga tak paham. "Pohon andaliman sejak dulu tumbuh begitu saja di tiap rumah," katanya.
Saut si pemilik kebun andaliman punya pernyataan lebih menarik: "Tak mungkin andaliman dari Cina, karena di daerah Batak sejak dulu jarang sekali ada orang Cina." Berabad lalu, orang Cina memang hanya berhenti di daerah pesisir seperti Medan. Itu pun yang datang adalah orang-orang dari suku Hakka, Hokkian, dan Tio Ciu. "Tidak ada orang Sichuan yang tinggal turun-temurun di Indonesia," ujar William. Ini karena secara geografis Sichuan berada di tengah dataran Cina, hingga keinginan mereka untuk merantau tak sekuat ketiga suku tersebut.
Berbeda dengan orang Sichuan yang memakai Sichuan pepper dalam setiap masakan, orang Hakka, Hokkian, dan Tio Ciu amat jarang memakainya. Menurut Indra, asimilasilah yang kemudian membuat orang Cina di Indonesia memakai andaliman atau lada Sichuan.
Sementara suku Karo punya babi panggang atau BPK berbumbu andaliman, masyarakat Cina di Medan punya makanan sejenis yang bernama sam can, yaitu irisan daging babi yang bisa dipanggang atau digoreng. Sam can mengadopsi sensasi pedas BPK dengan sama-sama menggunakan andaliman. "Sebelumnya, Hokkian dan Hakka tidak pernah mengenal andaliman di makanannya," katanya.
Dulu tidak banyak orang Cina yang menyukai sensasi pedas, tapi kini sudah mulai banyak. Andi Cholson, pemilik Restoran Kumango di Jalan Kumango, Medan, menyajikan sambal andaliman racikannya sendiri sebagai pendamping makanan Cina. Isinya perpaduan cabai, bawang, dan andaliman yang disiram kecap manis. Dijamin pedas, sambal itu juga bisa dinikmati untuk kuah ayam goreng. "Ini sambal halal yang bisa dinikmati semua golongan," ujarnya.
Seperti andaliman, Danau Toba adalah pengikat orang Batak. Menurut legenda, danau ini muncul dari genangan air mata seorang ibu yang dulunya ikan di sungai. Ia menangis setelah suaminya, Pak Toba, memukul anaknya yang bernama Samosir.
Faktanya, danau itu terjadi setelah ada ledakan gunung berapi mahadahsyat 74 ribu tahun lalu. Kawah gunung atau kaldera itu kemudian menampung air dan membentuk danau terbesar se-Asia Tenggara ini, dengan luas 1.130 kilometer persegi dan bagian terdalam 529 meter. Penelitian mutakhir bahkan menyebutkan di bawah danau yang kini menjadi tempat hidup berbagai jenis ikan air tawar itu masih terkandung magma.
Ledakan itu menjadikan tanahnya subur. Kesuburan tanah dan ketersediaan air itulah yang mengundang migrasi manusia ke sekitar danau ini. Inilah asal-muasal nenek moyang suku Batak. Ada yang menyebut mereka berasal dari suku Mansyuria (Manchuria) di Cina. Sebab, ada nama Danau Toba Tartar di pegunungan Tibet. Ada pula yang menyebutnya dari Thailand, Myanmar, bahkan India Timur. "Semuanya masih misteri, tidak ada asal-usul yang pasti," kata Monang. Yang pasti, orang Batak tidak datang dari langit lewat meteor, seperti yang diceritakan dalam legenda.
Selain kesuburan, keindahan adalah daya tarik Toba. Setiap sudut di Kabupaten Toba Samosir, Simalungun, Samosir, dan daerah lain yang berdekatan dengan Danau Toba memiliki pemandangan alam pepohonan hijau, perbukitan, dan udara yang dingin. Dari perbukitan di Desa Silaen di Toba Samosir, misalnya, tampak sawah terasering menghampar. Di ujung pemandangan, terlihat hamparan Danau Toba.
Pantai Bulbul adalah salah satu sudut Toba yang cantik. Dalam dua tahun terakhir, pantai itu bersolek. Disebut pantai karena di sana tepi danaunya landai dan berpasir. Airnya pun berombak, bening, dan dingin. Bulbul berasal dari kata "buluh" atau bambu. Dulunya daerah itu dikenal sebagai hutan bambu.
Sebastian, suami Imelda, salah satu pengusaha yang getol mempromosikan pantai itu. "Di sini masyarakat mengelola sendiri pantainya," kata pria 45 tahun itu. Balige memang tengah sekuat tenaga menyedot sebanyak mungkin pengunjung. Jarak tempuhnya yang jauh, 6-8 jam dari Kota Medan, membuat kota kelahiran orang terkenal berdarah Batak, seperti Luhut B. Panjaitan, Hotman Paris Hutapea, dan T.B. Silalahi, itu tertinggal dibanding Parapat, Simalungun, yang selalu dipadati turis.
Dua hari sebelumnya, pantai itu dipenuhi ratusan anggota paguyuban marga Simangunsong se-Nusantara. Sebagian dari mereka masih menginap di rumah-rumah penduduk di sekitar pantai.
Sebastian meminta Imelda memasak ikan mas untuk menjamu sebagian tamu tersebut. Ada 15 orang yang berkumpul di warung kopi tempat kami berteduh. Mereka sabar menanti Imelda selesai memasak. Kebanyakan dari mereka teman Sebastian. Mostar Simangunsong, 72 tahun, salah satunya. Pria yang gemar memakai pet ini tinggal di Pulogadung, Jakarta Timur. Tubuhnya yang masih terlihat segar lincah ke sana-sini mengajak berbincang pengunjung di warung itu sambil menanti hidangan.
Mulutnya tak henti mengisap rokok sambil sesekali menyesap kopi. Ia banyak bercerita tentang pahitnya kehidupan Jakarta. Saat merantau, ia melakoni sejumlah profesi—dari musikus hingga tukang tambal ban—untuk bertahan menghadapi kejamnya Jakarta, "Makan di pinggir danau mengembalikan memori saya saat masih tinggal di Balige," katanya.
Sebagai orang yang dituakan, Mostar pertama kali menerima piring yang sudah berisi nasi putih. Ia mengambil potongan kepala ikan, yang kemudian dia suapkan bersama nasi putih ke mulutnya. "Wuih, bergetar lidah ini kena pedas andaliman," ujarnya dengan suara kencang. Tamu lain tertawa.
Mereka pun bersahut-sahutan dalam bahasa Batak dengan suara lantang. Mirip sandiwara dari radio dengan volume yang disetel pol. Sambil makan, mereka terus mengobrol tentang berbagai hal, dari soal kerabat sampai makanan yang mereka santap. Seorang perempuan berkali-kali mengomentari bumbu andaliman yang kurang banyak karena rasanya belum terlalu pedas. Sebastian dan Imelda tak ambil pusing terhadap komentar itu. "Ini pesta," ujar Sebastian.
"Toe mangan lopus butong. Horas!" kata seorang perempuan lain. Mari makan sampai kenyang. Horas!
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo