Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DUA tempayan besar berisi air dan botol sabun cair adalah hal pertama yang menyambut pengunjung pameran di Galerikertas, Depok, Jawa Barat. Tertera pengingat untuk mencuci tangan lebih dulu setidaknya selama 20 detik sebelum masuk ruang pamer dan mengenakan masker. Setelah melewati pintu, ada meja penerima tamu yang dilengkapi dengan cairan pembersih tangan, termometer, dan sebuah formulir asesmen kesehatan diri. Lembar itu berisi daftar pertanyaan, seperti “Apakah pernah memiliki riwayat kontak erat dengan orang yang dinyatakan ODP, PDP, atau konfirm Covid-19?” dan “Apakah pernah mengalami demam/batuk/sesak dalam 14 hari terakhir?” yang setelah dijumlahkan skornya akan menentukan apakah pengunjung boleh masuk melihat pameran atau harus balik kanan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jika lolos dalam tahap ini, barulah pengunjung dapat menikmati karya-karya gambar Hanafi yang sedang dipamerkan di galeri itu mulai 5 Juli lalu. Itu pun dibatasi hanya sembilan pengunjung yang dapat masuk dalam waktu bersamaan. Pengunjung pun harus menjaga jarak saat menyimak karya yang ditandai dengan lingkaran-lingkaran putih di lantai. Setelah satu jam, ruangan dikosongkan untuk disemprot disinfektan sebelum menerima kelompok pengunjung selanjutnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ini pertama kalinya Galerikertas kembali berkegiatan setelah hampir empat bulan menuruti aturan pembatasan sosial. Boleh jadi juga ini agenda seni luring (offline) pertama di tengah pandemi Covid-19 yang masih belum reda. Setelah tiga bulan lebih karya seni hanya bisa diamati dari layar gawai, pameran ini memberikan kesegaran yang layak dialami meski harus mematuhi sejumlah batasan.
Salah satu karya Hanafi di Galerikertas di Depok, Jawa Barat, 8 Juli 2020. Tempo/Nurdiansah
Menurut kurator Heru Joni Putra, pameran bertajuk “60 Tahun dalam Studio” yang bertepatan dengan peringatan enam dekade usia Hanafi ini disiapkan dengan penuh antisipasi. Selain berkomunikasi dengan kepolisian, dinas terkait, hingga pengurus rukun tetangga, Heru terus memantau berita teranyar untuk memastikan berjalannya rencana. “Kami harus siap dengan rencana yang dapat berubah sewaktu-waktu. Misalkan ada kasus baru, kami harus segera batalkan,” ujar Heru saat ditemui di Galerikertas, awal pekan lalu.
Dapat diduga, karya dalam pameran ini berkaitan dengan bagaimana Hanafi menanggapi pandemi. Terdapat 65 gambar yang dibuat di atas kertas berwarna cokelat seukuran halaman buku. Memang, semua gambar itu dibuat Hanafi dalam buku catatannya. Pada setiap gambar ada sedikit celah vertikal di bagian tengah tanda dua halaman dijadikan satu.
Meski semua karya dipamerkan tanpa keterangan judul, beberapa di antaranya jelas sekali menangkap situasi wabah dan keterbatasan berinteraksi. Misalnya pada gambar kuas roller tertutup masker dengan catatan dalam tulisan tangan Hanafi yang berbunyi “The lockdown period is extended until further notice.”. Atau gambar sikat yang terlepas bulunya dalam jarak renggang dengan tulisan “Belajar, bekerja, berjauhan...”.
Ada pengulangan obyek dalam gambar-gambar Hanafi yang mewakili apa yang sedang membuatnya risau. Kuas roller cukup banyak muncul. Selain roller terbalut masker, ada roller yang terbakar, mandek saat sedang menyapukan cat, dan lain-lain. Hanafi mengungkapkan, roller, yang merupakan alat utamanya dalam melukis, banyak dia gambar pada masa-masa awal isolasi. “Saya membayangkan tak bisa lagi bekerja sehingga roller menjadi personifikasi saya yang merasa terjebak,” katanya.
Yang juga muncul berulang adalah gambar tembok, ranjang-ranjang rumah sakit, serta jagung, yang dapat dimaknai sebagai harapan bahwa situasi tak menentu ini dapat berakhir segera. “Seperti pepatah, seumur jagung, yang artinya kesementaraan atau kefanaan,” ucapnya.
Namun ada juga gambar-gambar abstrak yang tak dapat langsung ditangkap maksudnya—memang tak perlu juga. Pada gambar-gambar seperti ini, menurut Heru, Hanafi sedang menuangkan lapis-lapis perasaan berlawanan, seperti kebahagiaan, kecemasan, dan kegelapan, yang muncul bersamaan. Hal yang boleh jadi sedang dirasakan semua orang akibat pagebluk ini.
Tak banyak warna yang dipakai Hanafi dalam gambar-gambarnya. Selain warna cokelat kertas, lebih banyak hitam dan biru langit yang tampak. Pemilihan ini ternyata tak lepas dari situasi pandemi juga. Toko suplai alat lukis Hanafi tutup. Dia tak hendak berkeliaran memburu cat dan alat lukis. Maka gambar cukup dibuat dengan warna-warna tinta yang tersisa di studionya. Kepaduan estetika tak lagi menjadi kebutuhan utama Hanafi saat ini. Baginya, yang lebih penting dalam karya kali ini adalah mencatat momen-momen perasaan selama masa pandemi. “Saya menggambar di lembar-lembar buku agar tidak kehilangan sentuhan kemanusiaan yang mencengangkan ini,” tutur Hanafi dalam secarik catatan yang turut dipamerkan.
Pelukis Hanafi. Tempo/Nurdiansah
Hanafi sebenarnya telah merencanakan pameran monumental untuk merayakan ulang tahunnya sebelum wabah merebak. Seperti pameran peringatan sebelumnya, Hanafi ingin menggelar acara di gedung yang dapat dikunjungi lebih banyak orang. Tentu dengan membawa karya yang menjadi ciri khasnya, yakni lukisan di kanvas-kanvas besar. Kita masih ingat lukisan selebar 38 meter yang menutupi tiga perempat dinding Galeri Salihara yang dibawa Hanafi untuk seri pameran “Migrasi Kolong Meja”. Namun pandemi mengubah kerja keseniannya. “Saat pandemi, ketertarikan saya tidak lagi pada kanvas,” ucapnya.
Dia merasa bekerja di atas kanvas besar membutuhkan energi dan perhatian yang besar juga, yang dapat membuatnya terisolasi dari dunia luar. “Tak elok rasanya bekerja di medium besar dan tak mempedulikan situasi di sekitar,” kata Hanafi.
Maka Hanafi beralih menggambar dalam buku catatan, yang tak membutuhkan waktu lama dan tak menyita perhatiannya. Hanafi, yang biasa mengerjakan lukisan dengan sapuan besar penuh energi, kini bermain dengan garis-garis halus di atas kertas. Pada hari-hari tertentu, dia dapat membuat tiga gambar sehari dalam bukunya. Gambar-gambar itu ia kerjakan di meja makan, biasanya selepas mendiskusikan berita pagi yang selalu berisi kabar pandemi. Total ada 90-an gambar yang dibuat Hanafi selama berdiam di rumah.
Meski memperingati ulang tahun Hanafi, fokus utama pameran ini bukanlah sang seniman. Pameran gambar Hanafi menjadi pemantik untuk serangkaian program lokakarya dan pameran yang ditujukan kepada seniman muda. Karena itu juga Hanafi dan timnya menilai agenda ini patut dilaksanakan segera agar pendidikan kesenian dapat terus berjalan meski pandemi melanda. “Semangat Galerikertas adalah mempertemukan perupa maestro dengan perupa muda,” ujar Heru.
MOYANG KASIH DEWIMERDEKA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo