Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SUARA seperti gending muncul tatkala kelompok Gangsadewa asal Yogyakarta itu menabuh empat bilah fosil batu andesit dan batu api dari Gua Tabuhan, Pacitan, Jawa Timur, yang ditata di atas selembar spons. Bunyi seperti rintik hujan, klintingan sapi, angin yang mendesir, hingga lesus kemudian muncul bersahutan dari batu-batu yang digantung dan ditaruh pada tampah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Nada-nada tinggi keluar dari batu-batu Gunung Merapi yang bergelantungan. Enam musikus memukul, menggesek, menggoyang, menggaruk, mengetuk, dan mengadu batu beragam jenis yang berbeda ukuran hingga menghasilkan bunyi dengan nada tak beraturan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sabtu malam, 4 Juli lalu, komponis asal Madura, Jawa Timur, Memet Chairul Slamet, secara daring (online) melalui aplikasi Zoom mengajak penonton berimajinasi kembali ke kehidupan kuno. Panggung dibuat seperti dalam sebuah gua stalaktit dan stalagmit. Selama 90 menit, pengajar Program Studi Penciptaan Musik Institut Seni Indonesia Yogyakarta ini menyuguhkan tiga repertoar dalam pentas bertajuk The Sound of Primitive tersebut.
Pentas Memet mengolah musik eksperimental dari hasil penelitiannya menelusuri Gua Tabuhan. “Riset itu bagian dari disertasi berjudul ‘Musik Batu’ yang saya selesaikan selama tujuh tahun,” kata Memet saat ditemui di rumahnya di Gang Sadewa, Jalan Suryodiningratan, Kota Yogyakarta, Senin, 6 Juli lalu. Di rumah itulah Memet menyimpan aneka batu yang dia mainkan. Dia mengumpulkan batu dari Gunung Merapi; perajin asal Muntilan, Jawa Tengah; dan penjual batu di gua Pacitan. Batu yang dibawa dari Pacitan, menurut dia, berumur ribuan tahun. Informasi tentang umur batu itu ia dapatkan dari akademikus geologi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Taufik, dan penduduk sekitar gua Pacitan.
Penjelajahan Memet ke Gua Tabuhan, yang menjadi kawasan konservasi geopark, menghasilkan temuan musik akustik dengan nada-nada pentatonik yang dimainkan kelompok musik untuk menghibur pengunjung. Cara memainkannya dengan memukul stalaktit di bagian atas batu yang kualitas bunyinya lebih baik dari sisi lain. Bunyi yang dihasilkan dipengaruhi oleh rongga-rongga dalam stalaktit. Rongga tersebut merupakan sumber resonansi alam yang membentuk gelombang bunyi di sekitarnya. Gaung yang dihasilkan dari resonansi tersebut menambah warna, karakter, atau kualitas bunyi yang diproduksi.
Keindahan stalaktit, stalagmit, warna bebatuan, dan musik yang mirip pentatonik gamelan itulah yang mengilhami Memet menciptakan pertunjukan musik batu secara daring di tengah pagebluk virus corona. Memet menyuguhkan konser musik batu tanpa nada. “Konsep musik batu membebaskan bunyi sesuai dengan kodratnya. Biarkan alam berbunyi sebagaimana mestinya,” katanya. Batu sebagai medium seni yang miskin resonansi membuat Memet tertantang untuk mengatasinya. Dia mengakalinya dengan cara menggantung batu seperti seni instalasi dan menata fosil batu di atas spons.
Melalui pertunjukan musik batu, Memet mengajak penonton merenung dan kembali kepada alam. Sepanjang 15 menit, para musikus yang mengenakan kostum berwarna putih dengan selempang cokelat memperagakan gerakan mengulek di batu cobek dan menampi beras beriringan dengan suara sinden. Kostum dengan warna tanah ini dipilih untuk menunjang suasana primitif dengan sorot cahaya lampu. Suasana itu menggambarkan pentingnya batu dalam sejarah peradaban manusia. Batu mendukung kehidupan manusia, misalnya untuk kegiatan rumah tangga dan pembangunan rumah. Batu juga merekam jejak peradaban manusia yang punya nilai filosofi dan spiritual.
Bukan sekali ini Memet menyajikan konser batu. Pada 2011, ia tampil dalam pertunjukan bertajuk Menunggu Batu Bernyanyi di Bentara Budaya Jakarta. Dia menyebutkan saat itu pertunjukannya masih mencari bentuk dan belum tertata secara komposisi. Sedangkan pertunjukan virtual kali ini, menurut dia, bertolak dari disertasi dengan konsep riset yang jelas dan terukur secara ilmu pengetahuan. Musik batu kreasi lelaki 62 tahun ini membetot perhatian komponis kontemporer lulusan Kyoto University, Jepang, Makoto Nomura. Pemimpin kelompok musik ensambel Dajare Music Communication yang berdomisili di Kota Senju ini dikenal sebagai musikus yang gemar mengeksplorasi musik dari benda tak lazim, yakni genting dan air toilet, sebagai wujud pemberontakannya terhadap musik Jepang yang mapan.
Memet bersama Gangsadewa berkolaborasi dengan Nomura di tengah pertunjukan musik virtual itu. Nomura memainkan piano dan pianika. Masalahnya, suara piano Nomura tidak begitu jelas terdengar. Memet menyambutnya dengan memainkan ocarina—alat musik tiup kuno yang menghasilkan suara musik suling—dari batu.
Komponis asal Madura, Memet Chairul Slamet mementaskan tiga repertoar dalam tajuk The Sound of Primitive, di Jogjakarta, 4 Juli 2020. Dokumentasi Memet Chairul Slamet
Kolaborasi dua pemusik nyeleneh ini bukan yang pertama. Memet dan Nomura sering bekerja sama dengan Tokyo University of the Arts dan tampil sepanggung di Indonesia. Memet pernah diundang ke Jepang untuk memimpin pertunjukan beragam instrumen musik etnis dalam orkestra musik Jepang pada 2013. Saat itu ada 1.010 orang yang menyuguhkan musik tradisi di Senju. Pada akhir Mei tahun ini, seharusnya dua komponis itu menggelar konser kolosal dengan 1.010 musikus di Senju. Tapi jadwal pentas itu diundur menjadi pada Oktober mendatang karena pandemi.
Sayangnya, kolaborasi malam itu tidak berjalan lancar karena kendala teknis teknologi. Bahkan Nomura mengirim pesan melalui kolom pesan atau chat dalam Zoom: “Video piano saya belum diputar. Apa yang terjadi? Jika Anda tidak bisa mendapatkannya, saya bisa memutar video dari sini.”
Penyelenggara konser virtual yang dimulai pada pukul 19.00 itu kurang matang membuat persiapan teknis teknologi sehingga muncul berbagai gangguan pada penonton. Konser yang dipromotori GM Production dengan pemesanan tiket melalui http://tiketapasaja.com tersebut tidak berjalan mulus. Konser ini dibuat dengan melibatkan penonton dalam interaksi melalui Zoom.
Penonton kesulitan masuk melalui tiket elektronik yang sudah dipesan secara online. Penonton harus menunggu hingga setengah jam untuk bisa mengakses alamat Zoom. “Kami salah ngasih alamat Zoom dan mengumumkan secara berantai,” kata Sales Director GM Production Yurry Apreto.
Konser daring itu sepi penonton, hanya ada sekitar 20 orang yang menyaksikan melalui Zoom. Jumlah tiket yang terjual hanya 35. Yurry menyebutkan pertunjukan musik virtual yang menggunakan medium tidak lazim itu bertujuan mengedukasi publik agar adaptif terhadap teknologi di masa pandemi.
Persoalan teknis ini bahkan membuat Memet, yang sudah bersiap berpentas di panggung yang ditata di studio GM Production di Kampung Nologaten, Sleman, Darah Istimewa Yogyakarta, berjibaku untuk menyapa koleganya yang kesulitan masuk ke Zoom. “Masalah teknologi. Jaringan Zoom tidak semudah itu karena orang belum biasa,” ucapnya.
SHINTA MAHARANI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo