Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Penggunaan clodi alias popok kain bisa menghemat biaya sekitar Rp 3 juta.
Pengguna membuktikan bahwa clodi bisa digunakan untuk perjalanan dengan durasi lama.
Penggunaan popok kain butuh kesepakatan suami-istri, diikuti pembagian tugas.
SUDAH tiga tahun terakhir Dewi Indriyani dan Dimas Prasetya menerapkan zero waste dalam kehidupan rumah tangga. Penerapan gaya hidup nol sampah ini salah satunya lewat penggunaan popok kain yang bisa dicuci ulang atau cloth diaper (clodi) pada kedua anak pasangan suami-istri asal Tangerang tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada 2018, Dewi dan Dimas mulai memakaikan clodi pada anak pertama mereka ketika usianya menjelang satu tahun. Namun tak mudah beralih dari popok bayi sekali pakai. Apalagi jika bepergian ke mal, mereka harus segera mengganti popok apabila sang anak sudah buang air. “Karena terbiasa instan pakai popok sekali pakai. Tapi masa transisinya tidak lama, sih. Akhirnya sampai anak kedua nyaman saja pakai popok kain,” ujar Dewi kepada Tempo, Selasa, 31 Mei 2022.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Clodi berbeda dengan popok kain bertali yang biasanya dipakaikan pada bayi baru lahir. Clodi berbentuk seperti diaper, tapi terbuat dari kain dan memiliki lapisan antiair untuk menampung pipis anak.
Anak kedua Dewi Indriyani dan Dimas Prasetya menggunakan popok kain. Dokumumentasi Pribadi
Dewi menuturkan, kelebihan clodi adalah bisa dipakai berulang kali hingga turun-temurun. Bahkan, dari 30 potong clodi yang dimiliki Dewi, kebanyakan adalah barang-barang preloved. Biasanya, warga Tangerang ini mencari clodi bekas di komunitas. Harga popok kain tangan kedua tersebut bisa setengah harga clodi baru, yaitu kisaran Rp 20-30 ribu per potong.
Selain bisa dipakai berulang kali, penggunaan clodi bisa menghemat pengeluaran rumah tangga. Dewi memberi simulasi hitungan sederhana, dengan asumsi pemakaian diaper selama sebulan sebanyak tiga pak untuk anak hingga usia 3 tahun. Satu pak diaper bisa berisi 40 lembar, dengan harga Rp 40 ribu. Artinya, biaya yang dikeluarkan selama satu bulan untuk diaper adalah Rp 120 ribu. Jika tiga tahun, menjadi sekitar Rp 4,3 juta.
Adapun untuk clodi, Dewi menghitung minimal kebutuhannya adalah satu lusin atau 12 potong, dengan harga baru di kisaran Rp 66 ribu. Totalnya menjadi sekitar Rp 1,6 juta. Selisih biaya antara diaper dan clodi menjadi Rp 2,7 juta. “Ini kalau beli popok kain baru. Kalau seperti saya, yang lebih banyak dari lungsuran dan preloved, kalau dikalkulasi bisa lebih murah,” ucap mom influencer berusia 35 tahun ini.
Penggunaan popok kain juga membuat Dewi kian peduli akan kesehatan kulit anak-anaknya. Popok harus rajin diganti ketika anaknya buang air. Seperti halnya popok sekali pakai, popok kain yang sudah basah dan tidak diganti selama berjam-jam juga bisa menimbulkan ruam maupun alergi pada kulit anak.
Peran pasangan berpengaruh besar dalam konsistensi menggunakan clodi. Dewi mengaku tak akan sanggup memakaikan clodi pada anaknya apabila tidak ada komitmen dari suami. Mereka akhirnya berbagi tugas. Misalnya Dewi membasuh anak ketika buang air, sementara Dimas yang mencuci popok. “Kalau tidak kompak, akan jadi masalah untuk hubungan suami-istri. Tapi karena sudah ada komitmen, ya, sudah, ayo,” kata dia.
Satu motivasi terbesar Dewi bisa konsisten dengan clodi setelah ia menyaksikan tayangan dokumenter tentang limbah popok sekali pakai. Ia baru mengetahui bahwa sampah diaper sebagian besar tidak dikelola dengan baik. Kemungkinan terburuknya, kata dia, malah bisa berakhir di sungai dan mencemarkan lingkungan.
Kecemasan Dewi memang sangat beralasan. Ecological Observation and Wetland Conservation (Ecoton) menemukan sampah popok sekali pakai di berbagai daerah di Indonesia. Di seantero Jawa, Ecoton mendapati sampah popok tersebar di 37 kota. Sampah popok terbanyak mereka temukan di Sungai Brantas, Jawa Timur. Menurut riset Ecoton, di sungai itu, sampah popok mencapai 37 persen, 42 persen sampah plastik, dan sisanya sampah organik. Mereka memperkirakan setidaknya ada sejuta popok yang dibuang ke Sungai Brantas tiap hari.
Prigi Arisandi menemukan sampah popok sekali pakai di Aceh Besar, 2 Juni 2022. Dokumentasi Pribadi.
Di Sumatera, mereka menemukan sampah popok itu di Aceh, Lampung, Bengkulu, Sumatera Barat, dan Sumatera Utara. Direktur Ecoton, Prigi Arisandi, menyebutkan problem utamanya adalah sampah popok sekali pakai tidak terkelola. Apalagi, kata dia, sistem layanan sampah di Sumatera kurang dari 30 persen. “Artinya, 70 persen masyarakat membuang sampah sembarangan. Bisa di sungai hingga lahan terbuka,” kata Prigi.
Sesuai dengan Undang-Undang Pengelolaan Sampah, pengelolaan sampah popok semestinya melibatkan produsen. Salah satunya dengan menyediakan tempat sampah khusus popok. Sebab, 50-60 persen popok merupakan plastik atau bahan sulit diurai. “Kalau bicara plastik, ya, lama di alam akan terfragmentasi jadi mikroplastik,” ujar Prigi, yang kini sedang melakukan misi Ekspedisi Sungai Nusantara bersama pegiat lingkungan Amiruddin.
Prigi menjelaskan, mikroplastik sangat berbahaya apabila masuk ke tubuh manusia lewat rantai makanan. Karena dapat mengganggu hormon serta menimbulkan obesitas, gangguan reproduksi, hingga gangguan insulin. Apalagi, dari temuan Ecoton, rata-rata sampah popok dibuang ke sungai dan dimakan ikan. Senyawa-senyawa yang terdapat dalam popok sekali pakai, seperti dioksin, ptalat, dan TBT, merupakan senyawa pengganggu hormon.
Agar tidak semakin mencemari lingkungan, Prigi menilai pemerintah harus membuat standar popok. Bahan baku, misalnya, harus dari selulosa agar bisa dijadikan media tanam. Pihaknya juga terus melakukan edukasi kepada ibu-ibu muda untuk menggunakan popok kain atau clodi. “Karena popok sekali pakai mengganggu kesehatan genital anak. Bayangkan, kotoran menempel di genital anak bayi, maka dimungkinkan bakteri akan kembali menginfeksi ke organ kelamin.”
Popok Kain Bisa untuk Perjalanan Jauh dan Stylish
AFINA Yanur punya pengalaman unik dengan popok kain. Ia menaklukkan rasa takut yang umum dirasakan para orang tua bila memakaikan popok kain pada anak, yakni repot mengganti popok saat menempuh perjalanan jauh atau berdurasi lama.
Akhir Maret lalu, perempuan yang akrab disapa Pinut ini mengajak putranya, Channakya, menempuh perjalanan empat jam dari kota ke sebuah dusun terpencil di Jombang. Ia hanya memakaikan clodi pada sang anak yang baru berusia 4 bulan itu. Padahal, di usia segitu, frekuensi bayi buang air besar (BAB) masih cukup sering. Terlebih, daya serap clodi tidak sebaik popok sekali pakai.
Selama perjalanan, Pinut tidak tahu bahwa Channakya sudah buang air besar di popoknya. Begitu tiba di lokasi dan mengecek kondisi popoknya, perempuan berusia 32 tahun ini terperangah melihat kotoran sang bayi. “Aku buka, lha, dia BAB. Harusnya bayi normal, kan, risi. Ternyata clodi bisa, kok, awet perjalanan lama,” kata Pinut.
Afina Yanur mengajak Channakya ke dusun terpencil di Jombang pada 25-27 Maret 2022. Channakya menempuh perjalanan 4 jam dengan popok kain. Dokumentasi Pribadi
Pinut memakaikan popok kain sejak usia Channakya baru 2-3 pekan. Pada pekan pertama, putra pertamanya itu masih menggunakan diaper. Sesekali dipakaikan popok kain bertali supaya kulitnya tidak ruam. Pinut saat itu baru melahirkan Channakya secara caesar. Sehingga ia masih belum sanggup jika harus mencuci dan mengganti clodi.
Ada beberapa alasan yang membuat Pinut memilih clodi untuk sang anak. Sebelum menikah, ia sudah berkomitmen untuk menjaga bumi. Salah satunya menggunakan menstrual pad berbahan dasar kain. Warga Jombang ini menilai bahwa sampah diaper tidak ada habisnya. Sehingga, sejak dini, Pinut berusaha menerapkan gaya hidup zero waste pada bayinya.
Di lain kesempatan, Pinut juga mengedukasi masyarakat di kampung mengenai clodi. Misalnya, ketika sedang ada kegiatan bersama komunitasnya, Badala Nusantara, ada saja ibu-ibu yang bertanya perihal popok yang dikenakan anaknya. “Secara tidak langsung jadi edukasi. Kami kerja sama juga dengan merek clodi lokal. Kami bawa untuk bagikan gratis ketika ibu-ibu ada yang minat,” ucapnya.
Kebiasaan menggunakan pembalut kain juga diterapkan Erlya Hafidzotul Masyuroh sejak 2015. Perempuan berusia 28 tahun itu prihatin dengan sampah pembalut sekali pakai yang selalu mengisi tong sampah di lingkungan tempat tinggalnya. Sejak saat itu, warga Cilacap, Jawa Tengah, ini berjanji, kelak jika punya anak, akan menggunakan popok yang dapat dicuci dan dipakai ulang. Komitmen itu ia jalani setelah melahirkan putra pertamanya, Kafka, pada Oktober 2021.
“Sejak usia 7 hari dipakaikan (clodi). Malah saya mikirnya, sejak lahir saja langsung tak pakein, tapi tali pusarnya belum puput, jadi pakai popok kain biasa (yang bertali),” kata Erlya.
Putra dari Erlya Hafidzotul Masykuroh menggunakan popok kain sejak usia 7 hari. Dokumentasi Pribadi
Erlya pernah sekali menggunakan diaper. Itu pun terpaksa karena stok clodi habis karena belum kering akibat musim hujan. Namun kulit sang anak justru menjadi iritasi. Sejak saat itu, ia menambah koleksi clodi dan totalnya kini ada 18 potong. “Tadinya ada 22, cuma yang empat sudah tidak muat karena khusus new born.”
Selain menjaga kulit bayi agar tidak iritasi, Erlya menilai penggunaan clodi bisa menghemat uang belanjanya. Ia jadi tidak perlu terus-terusan membeli diaper setiap bulan. Sehari-hari, Erlya bisa 6-7 kali mengganti popok anaknya. Popok yang sudah kotor akan dikumpulkan dan dicuci pada sore hari oleh suaminya.
Selain itu, desain clodi yang memiliki motif bervariasi dan lucu-lucu menambah penampilan putranya menjadi semakin menggemaskan. “Senang aja lihat di mata. Enggak pakai celana pun sudah seperti pakai celana. Stylish. Jadi pingin beli-beli lagi.”
FRISKI RIANA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo