Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
As'ad Said Ali menjawab sungkan sewaktu Presiden Joko Widodo menanyakan calon yang tepat untuk memimpin Badan Intelijen Negara. Alih-alih mengajukan diri, Wakil Ketua Umum Nahdlatul Ulama ini menyorongkan satu dari enam deputi yang kini memimpin lembaga telik sandi itu.
"Saya kan santri Jawa," kata As'ad kepada Tempo, tiga pekan lalu, di kantornya di bilangan Tebet, Jakarta Selatan. Ia menutup rapat jati diri calon yang diajukannya. "Nanti dia geer," ujar mantan Wakil Kepala BIN itu.
As'ad lantas menceritakan pembicaraan dengan Presiden selama sekitar 30 menit di Istana Merdeka seusai salat Jumat, tiga hari sebelum pelantikan Kabinet Kerja. Menurut dia, Presiden Jokowi lebih banyak meminta pendapat mengenai peran Kementerian Agama, Kementerian Dalam Negeri, dan Kementerian Pendidikan dalam merawat keberagaman.
Obrolan soal BIN baru dilakukan pada saat akhir. "Cuma delapan menit." Kepada Presiden, As'ad menyampaikan pendapatnya mengenai organisasi dan metode kerja BIN. Menurut dia, organisasinya mesti ramping, bukan seperti birokrasi. Tak perlu ada deputi dan direktur seperti sekarang, tapi "desk" diperbanyak sesuai dengan keahlian dan kebutuhan di level bawah.
Tibalah pertanyaan Presiden mengenai calon bos BIN pengganti Marciano Norman. "Saya bilang, 'Pak, saya sudah pensiun. Mending pilih dari internal'," tutur As'ad. Tapi bukan berarti dia menampik kalau Presiden menunjuknya. "Jabatan itu amanah. Kalau ditunjuk, wajib dilaksanakan."
As'ad kerap disebut masuk daftar calon Kepala BIN. Menurut sejumlah orang di lingkaran Jokowi dan elite Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, As'ad dinilai lebih senior di BIN ketimbang calon lain. Mantan Kepala BIN Jenderal Purnawirawan A.M. Hendropriyono yang menyorongkan namanya kepada Jokowi. "Pak Hendro mengatakan ke Jokowi bahwa saya cocoknya di BIN," ucap As'ad.
Ketua Umum NU Said Aqil Siroj juga mengajukan As'ad. "Selain pernah terjun di Timur Tengah, Pak As'ad sembilan setengah tahun menjadi Wakil Kepala BIN," ujarnya awal November lalu. Sedangkan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri, menurut orang dekatnya, pernah meminta pria kelahiran Kudus, Jawa Tengah, 65 tahun silam itu membantu Jokowi.
As'ad menjadi Wakil Kepala BIN sepanjang 2001-2010, mendampingi tiga Kepala BIN, yakni Arie J. Kumaat, Hendropriyono, dan Syamsir Siregar. Dia pensiun pada 2010 bersamaan dengan lengsernya Syamsir, yang digantikan oleh Marciano. As'ad lalu menjabat Wakil Ketua Umum NU dan menjadi anggota Dewan Pengarah Tim Sukses Joko Widodo-Jusuf Kalla. Dia bekerja di Badan Koordinasi Intelijen Negara—kini BIN—sejak 1975 selepas lulus dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada.
As'ad sempat disorot pada waktu pengusutan kasus pembunuhan aktivis Munir. Ia disebut mengeluarkan surat kepada Direktur Utama Garuda Indra Setiawan, yang diduga menjadi jalan bagi Pollycarpus Budihari Priyanto, terpidana perkara itu, menjalankan misi pembunuhan.
Rival As'ad adalah para purnawirawan jenderal militer. Ada mantan Kepala Badan Intelijen Strategis (Bais) Marsekal Madya Purnawirawan Ian Santoso Perdanakusuma, mantan Wakil Menteri Pertahanan Letnan Jenderal Purnawirawan Sjafrie Sjamsoeddin, mantan Wakil Panglima TNI Jenderal Purnawirawan Fahrul Rozi, dan mantan Gubernur Jakarta Sutiyoso.
Sjafrie Sjamsoeddin, 62 tahun, lulus Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia pada 1974—seangkatan dengan Menteri Pertahanan Jenderal Purnawirawan Ryamizard Ryacudu. "Posisi itu bukan sembarangan, makanya saya tak mau komentar," katanya kepada Indra Wijaya dari Tempo.
Ryamizard santer dikabarkan di kalangan PDIP mendukung Ian Santoso Perdanakusuma, 68 tahun. Putra pahlawan dirgantara Halim Perdanakusuma ini juga duduk di barisan perwira tinggi dalam tim pemenangan Jokowi-JK. Sedangkan Fahrul, 67 tahun, diajukan oleh Jenderal Purnawirawan Luhut Binsar Panjaitan. Tapi Luhut membantah mengajukan sejumlah nama kepada Presiden.
Seorang pensiunan jenderal yang dekat dengan Presiden Jokowi mengatakan Letnan Jenderal Purnawirawan Sutiyoso, yang juga Ketua Umum Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia, muncul dalam pembicaraan di pertemuan koalisi partai-partai pendukung Jokowi. Sutiyoso tak mau disebut melobi koalisi dan Jokowi. "Kalau tidak dipilih, saya akan mencari tantangan lain. Berbisnis mungkin," ujarnya Rabu pekan lalu.
Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Tedjo Edhy Purdijatno membenarkan kabar munculnya nama-nama itu. Belakangan, dia menyebut nama Mayor Jenderal Purnawirawan Tubagus Hasanuddin, 62 tahun, Sekretaris Militer Presiden Mega. Lulusan Akabri 1974 ini anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari PDIP. "Saya tak melobi," kata Hasanuddin, Rabu pekan lalu.
Menurut Tedjo, para calon itu bisa menguat tapi juga bisa amblas. Boleh jadi muncul nama baru. "Yang jelas, Presiden memikirkan rekam jejak," ujarnya. Urusan rekam jejak bisa menggilas As'ad.
PDIP tetap khawatir. Maka dimunculkan alternatif calon yang lebih muda, yakni mantan Kepala Staf TNI Angkatan Darat Jenderal Budiman dan Wakil Kepala BIN Mayor Jenderal Purnawirawan Erfi Triassunu. Keduanya alumnus Akabri 1978, seangkatan dengan Marciano Norman. Disebut pula nama Kepala Lembaga Sandi Negara Mayor Jenderal Djoko Setiadi, lulusan Akabri 1980.
Menurut petinggi PDIP, BIN membutuhkan tokoh muda dengan paradigma intelijen yang baru. Tokoh ini juga mesti benar-benar ahli di bidang intelijen. "Muncullah figur Erfi," katanya.
Erfi, 58 tahun, menjadi Wakil Kepala BIN sejak Mei 2014 setelah menjabat Deputi II Bidang Dalam Negeri. Dia pernah menjabat Wakil Asisten Operasi Komando Pasukan Khusus (Kopassus) TNI Angkatan Darat, kemudian Asisten Operasi Kopassus hingga 1998. Lantas ia menjadi dosen di Sekolah Staf Komando Angkatan Darat. Kariernya berlanjut di Bais, Panglima Komando Daerah Militer XVII Cenderawasih di Papua, Staf Khusus Kepala Staf Angkatan Darat, sebelum aktif di BIN. Namun Erfi menolak diwawancarai. "Saya tak mau berkomentar," ucapnya Selasa pekan lalu.
Wakil Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto mengatakan belum mengetahui calon yang akan diajukan partainya. Tapi, menurut dia, nama-nama tadi memang beredar. Partainya, menurut dia, menyerahkan sepenuhnya kepada Jokowi.
Sekretaris Kabinet Andi Widjajanto menjelaskan, siapa pun yang dipilih oleh Presiden, akan dimintakan pertimbangan DPR sesuai dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2011 tentang Intelijen Negara. "Presiden akan menyerahkan satu nama," katanya. Namun nama calon diajukan jika tak ada lagi perpecahan di DPR antara fraksi-fraksi pendukung Jokowi dan pendukung Prabowo Subianto.
Anggota Komisi Pertahanan DPR, Mahfudz Siddiq, justru meminta Presiden tak tergesa-gesa mengganti Kepala BIN. "Karena kondisi DPR seperti ini," ujarnya Rabu pekan lalu. Politikus Partai Keadilan Sejahtera ini menuturkan, pertimbangan Dewan bersifat mengikat, tapi keputusan tetap di tangan Presiden Jokowi.
Jobpie Sugiharto, Agustina Widiarsi, Muhammad Muyiddin, Ananda Teresia, Mitra Tarigan, Nuriman Jayabuana
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo