Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Kode Beras dan Sepotong Gorong-gorong

Menurut polisi, Pepi Fernando mengaku merancang bom buku dan Serpong. Bersama teman-temannya, dua kali ia hendak menyerang iring-iringan Presiden Yudhoyono. Bergerak tanpa pemimpin, tak terhubung dengan jaringan lain, dan belajar dari Internet. Inilah generasi baru teroris di Tanah Air.

2 Mei 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BAGI Pepi Fernando, Gereja Christ Cathedral di Kompleks Summarecon Serpong, Tangerang Selatan, Banten, sungguh menarik hati. Gereja Protestan ini berdiri megah, mampu menampung 3.000-an anggota jemaat. Di gorong-gorong depan gereja, melintas pipa gas—terlihat dari patok-patok penanda berwarna kuning. Jalur gas terlihat menyeberangi Sungai Cisadane, di sebelah kanan gereja.

Di terik siang akhir pekan pada awal April lalu, Pepi—dicokok polisi Kamis dua pekan lalu karena dituding memimpin jaringan penebar teror bom buku—dan temannya sejak kuliah di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, Hendi Suhartono alias Jokaw, mengamati-amati gereja. Berboncengan menggunakan Yamaha Mio dari rumah Jokaw di Gunung Sindur, Bogor—sekitar 20 kilometer menuju Serpong—mereka menyigi target pengeboman. ”Nama gereja saya peroleh dari Internet,” kata Pepi kepada polisi seperti dikisahkan sumber Tempo.

Siang itu juga, Pepi, 32 tahun, memastikan waktu serangan: pukul 09.00 WIB pada Jumat Agung. Masih tiga pekan lagi dari Sabtu siang itu. Ia tahu, ribuan anggota jemaat akan mengikuti kebaktian pada peringatan wafat Isa Almasih itu. Sesuai dengan jadwal, kebaktian dimulai pukul 10.00, tapi jemaat mulai berdatangan sejam sebelumnya.

Persiapan serangan dilakukan. Tiga hari setelah survei, Pepi datang lagi ke rumah Jokaw. Di tempat ini sering pula berkumpul rekan mereka: Febri Hermawan alias Awi alias Toge, Riki Riyanto alias Ibenk, dan Ade Guntur alias Sagod. Pepi mulai merakit dua bom, menggunakan pipa berdiameter 15-20 sentimeter dan panjang 50 sentimeter. Bahan bom sudah disiapkan di rumah Jokaw, seperti potasium nitrat, potasium perklorat, bubuk arang, juga belerang.

Tiap kali kelompok berkumpul, Pepi meminta kawan-kawannya membawa bahan-bahan itu. ”Bawa beras 5 kilo ke rumah Jokaw tapi jangan sampai kena razia polisi,” begitu ia memberi kode kepada rekan-rekannya. Beras yang ia maksudkan adalah bubuk potasium.

Bom belum sempurna dirakit, rangkaian elektroniknya belum dipasang. Pepi lalu membawa rakitan ke Serpong, dan menyimpannya tak jauh dari ujung gorong-gorong di tepi Cisadane, sekitar 200 meter dari gereja. ”Maksudnya, saya akan membawa secara bertahap,” kata Pepi ketika diperiksa polisi.

Pada hari-hari selanjutnya, Pepi membikin komponen lain. Sepekan setelah menyimpan ”tabungan” pertama, masih bersama Jokaw, ia kembali ke Serpong. Kali ini mereka menjinjing satu rangkaian elektronik dan 12 kilogram karbit. Pada Sabtu malam, 16 April—sepekan sebelum hari-H—Pepi membawa dua bom dan tiga telepon seluler: LG warna putih, Flexi hitam, dan Nokia 3315 tanpa kulit.

Siang harinya, Pepi memberi kode kepada anggota kelompoknya: ”Kita mancing nanti malam.” Itu sebabnya, kelompok ini menenteng joran, senar, dan kail. Dua ransel dan dua kardus pun mereka angkut. Mengenakan masker dan senter kepala, Pepi bersama tiga orang masuk gorong-gorong. Satu orang berjaga di mulut gorong-gorong, sembari melempar kail ke sungai.

Di dalam gorong-gorong, Pepi cs menyelesaikan rakitan. Lima bom siap diledakkan. Tiga bom ditaruh tepat di bawah pos keamanan gerbang masuk gereja, disetel meledak pada Jumat, 22 April, pukul 09.00 WIB. Sisanya ditaruh 50-100 meter dari sana, dengan setelan waktu yang sama. Di antara kedua titik digantungkan dua ransel berisi karbit dengan berat total satu kuintal.

Sebuah bom kecil dilekatkan pada ransel berisi karbit, disetel meledak pukul 08.50. Ledakannya dimaksudkan untuk memutus tali gantungan ransel, membuat karbit nyemplung ke air. Pepi memperkirakan, dalam 10 menit karbit akan larut dan menyublim menjadi gas. Dipicu ledakan dua bom, sepuluh menit kemudian, ia berharap terjadi ledakan gas dahsyat. Pekerjaan berakhir sekitar pukul 03.00 Ahad.

Pepi tidak tahu, polisi sebenarnya tak jauh dari mereka.

l l l

SERANGAN Serpong bukan proyek pertama Pepi. Pada Februari, di sebuah warung Internet di Pondok Kopi, Jakarta Timur, ia menjelajahi dunia maya. Menggunakan Google, ia mencari alamat seseorang bernama Erianto Anas. Ia geram oleh tulisan-tulisan Erianto di Internet, yang dianggapnya menghina Islam.

Berulang kali diketikkan namanya di Google, alamat Erianto tak ditemukan. Pepi lantas mengetik nama lain: Ahmad Dhani, Japto Soerjosoemarno, Gories Mere, dan Ulil Abshar-Abdalla. Musikus Dhani, Ketua Pemuda Pancasila Japto, Kepala Badan Nasional Narkotika Gories, dan mantan Koordinator Jaringan Islam Liberal Ulil, menurut Pepi kepada polisi, merupakan ”simbol musuh Islam”. Ia menyiapkan kado istimewa: bom buku.

Pepi menghubungi Irman Kamaluddin alias Firman alias Abu Azzam, yang bekerja sebagai desainer grafis di CV Prapatan Kini Mandiri, usaha percetakan di Bekasi. Ia meminta Firman merancang lima sampul buku, yang disesuaikan dengan target. Pepi mengusulkan judul buku untuk Ulil: Atas Dosa-dosa Mereka terhadap Islam dan Kaum Muslimin, Mereka Harus Dibunuh.

Firman menentukan tiga judul lainnya: Yahudi Militan untuk Dhani, Pesta Narkoba di Kalangan Pejabat Negara buat Gories, dan Masih Adakah Pancasila bagi Japto. Satu sampul lagi, berjudul Tentang Yesus, yang rencananya dikirim untuk seorang pendeta di Sulawesi Utara, juga dirancang Firman. Setelah dirakit menjadi bom, pada awal Maret buku tersebut dikirim ke alamat tujuan. Menurut Pepi kepada polisi, semua paket dikirim lewat Kantor Pos Leuwiliang, Bogor. Tapi, menurut resepsionis Komunitas Utan Kayu, tempat bom untuk Ulil dikirim pada 15 Maret, pengantar paket ”tak selayaknya tukang pos atau kurir”.

Bom buku untuk Ulil meledak setelah seorang perwira polisi berusaha menjinakkannya. Bom untuk Gories, Japto, dan Dhani gagal meletus karena semua segera waspada akibat ledakan di Utan Kayu. Adapun bom untuk pendeta di Sulawesi Utara urung dikirim karena, menurut Pepi, jaraknya terlalu jauh.

Pepi lalu menyiapkan bom lain. Ia mengusung pipa dari rumah Muhammad Syarif alias Aip di Ciputat, Tangerang, dan membawanya ke rumah Awi di Bekasi. Di sana, dari sore hingga sekitar pukul 03.00, ia berkutat merangkai bom. Ia menulis pada cangkang paket: ”Isi: Bom”. Kepada polisi, Pepi mengatakan tulisan itu dibuat agar paket tak dibuka orang yang menemukan.

Ia membidik target kakap: Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Pepi menyatakan geram lantaran Yudhoyono tak mengindahkan Surat Ulama kepada Penguasa, buku yang ditulis pemimpin Jamaah Ansharut Tauhid, Abu Bakar Ba’asyir. Yudhoyono, kata dia, tidak menerapkan hukum Islam dan akan dijadikan sasaran pengeboman. Pada Agustus 2010, ia pernah mencoba menyerang rombongan Yudhoyono dengan menaruh bom di Cawang, Jakarta Timur, tapi gagal.

Dari media massa, Pepi tahu Yudhoyono biasanya berangkat dari rumah pribadinya di Puri Cikeas, Bogor, sekitar pukul 09.00. Rencananya, bom akan diledakkan dari jarak jauh ketika Yudhoyono melintas. Alat kontrol dibuat dari telepon seluler Nokia 3100. Pagi-pagi buta, selesai merakit bom, Pepi membonceng Awi seraya memangku bom setebal 15 sentimeter dan panjang 30-40 sentimeter.

Mereka melaju menuju Cikeas. Keduanya melihat mobil polisi diparkir tak jauh dari perempatan Cikeas, beberapa ratus meter dari kediaman Yudhoyono. Takut tepergok, keduanya balik arah menuju Cileungsi. Mereka masuk Kota Wisata Cibubur, kompleks perumahan tak jauh dari Puri Cikeas. Bom lantas diletakkan begitu saja di bawah pohon, dekat gardu listrik. Dua hari kemudian, bom ditemukan petugas kebersihan. Sebelum dijinakkan Gegana, bom meledak.

l l l

POLISI semula tak menduga teror bom buku dilancarkan kelompok Pepi. Hari-hari pertama setelah bom meledak di Utan Kayu, polisi menemui jalan gelap. Tapi penyidikan bom Ritz-Carlton, Jakarta, dua tahun lalu membawa manfaat. Jejak Syaefudin Zuhri, tersangka pengeboman itu, di sekitar kompleks Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Ciputat, membuka pintu ke arah Pepi. Ia lulus dari kampus itu pada 2001.

Detasemen Khusus 88 Antiteror segera menguntit Pepi dan kawan-kawannya. Tapi mereka masih mencari simpul yang menghubungkan kelompok ini dengan jaringan teror lama. Pepi, Jokaw, Maulana, Awi, dan Aip memang pernah mengaji kepada Abu Kholis, pemimpin Negara Islam Indonesia wilayah Sumatera. Tapi tak ditemukan persentuhan Pepi dengan tokoh-tokoh semacam Abdullah Sunata, yang pekan lalu dihukum 10 tahun dalam perkara terorisme.

Polisi menyamar rupa-rupa untuk mengamati kelompok Pepi dari dekat. Di antaranya menyewa kamar di sebelah anggota kelompok di Pondok Kopi. Polisi akhirnya mengetahui kelompok Pepi sedang merencanakan pengeboman lebih besar. Mereka curiga terhadap kode ”mancing” yang disampaikan Pepi pada Sabtu siang, 16 April. Itu sebabnya, semua anggota kelompok diikuti sampai ke Serpong.

Polisi baru yakin ada bom ditanam di bawah Gereja Christ Cathedral pada Ahad siang. ”Kami menemukan benda kecil tapi berarti besar,” kata seorang polisi. Benda itu kardus masker, kardus senter kepala, dan stiker baterai Nokia 3100. Kardus masker dan senter kepala menunjukkan seseorang baru saja menjelajahi gorong-gorong. Adapun stiker baterai merupakan petunjuk yang mengaitkannya dengan bom buku. Sumber arus bom berasal dari baterai berjenis sama: litium 3,7 volt. ”Bomb signature-nya sama, pelakunya kemungkinan besar sama,” katanya. Siang harinya, polisi masuk gorong-gorong lewat ujung di tepi Cisadane.

Asluddin Hatjani, pengacara yang mendampingi para tersangka, tak membantah atau membenarkan informasi soal pengakuan Pepi kepada polisi itu. ”Saat diinterogasi polisi, Pepi memang mengaku merencanakan bom buku dan Serpong,” katanya. Adapun soal rencana penyerangan iring-iringan rombongan Yudhoyono, Asluddin mengatakan, ”Yang itu saya belum tahu.” Kepala Bagian Penerangan Umum Markas Besar Kepolisian RI Komisaris Besar Boy Rafli Amar juga mengatakan tak mengetahui pengakuan Pepi soal bom untuk Presiden.

Meski sudah memastikan kelompok Pepi di balik teror, polisi tak buru-buru menangkap mereka. Tapi, sejak Ahad itu, polisi mengamati gerak-gerik anggota jaringan. Pada Senin esok harinya, Pepi dan Jokaw berangkat ke Banda Aceh, mengunjungi Muhammad Fadil, kawan kuliah mereka. Tak disadari keduanya, di dalam pesawat yang sama, sejumlah polisi ikut terbang.

Baru pada Kamis subuh, sehari sebelum bom disetel meledak, anggota kelompok ditangkap. Pagi itu, polisi juga mulai mengangkat rangkaian bom yang dipasang di gorong-gorong. Meski telah mengetahui keberadaan rangkaian bom itu, menurut seorang polisi, mereka baru mengangkatnya setelah semua titik dipetakan. ”Tanpa memastikan posisi seluruh bom, kami tak berani mengangkatnya. Terlalu berbahaya,” kata sumber itu.

l l l

PEPI tidak dikenal sebagai ”mahasiswa radikal” semasa kuliah. ”Di kampus, ia tak aktif di organisasi apa pun,” ujar Tubagus Ace Hasan Sadzily, tetangga tempat kosnya di Sanggar Rahayu, Ciputat, pada 2000-2002. ”Kami sering bermain gaple di kos.”

Ace juga mengatakan jarang melihat Pepi salat ketika itu. Selepas lulus dari jurusan pendidikan Islam fakultas tarbiyah, Pepi menikmati pekerjaannya sebagai wartawan di sejumlah media hiburan. Mungkin karena pekerjaan lamanya ini, ia sadar publikasi. Menurut polisi, ia menawarkan liputan eksklusif untuk satu stasiun televisi internasional pada saat ledakan.

Pepi mengatakan belajar merakit bom dari Google dan YouTube. Kepada penyidik, ia mengaku, jika peledakan bom di Gereja Christ Cathedral berhasil, ia merencanakan ”proyek” lebih besar: meledakkan Hotel JW Marriott dan Ritz-Carlton di Mega Kuningan, Jakarta. Tapi petualangannya berakhir di Serpong.

Anton Septian

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus