Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Selama digarap bersama TNI AD, program cetak sawah menelan biaya Rp 3,38 triliun.
BPK menemukan berbagai masalah dalam pemeriksaan periode 2015-2017.
Salah satu temuan auditor adalah kelebihan pembayaran sewa alat sebesar Rp 68,65 miliar.
JAKARTA – Bergabungnya TNI dalam program cetak sawah Kementerian Pertanian pada era Menteri Andi Amran Sulaiman tidak pernah sepi kritik. Dalam program perluasan area tanam itu, Amran menggandeng TNI Angkatan Darat lewat nota kesepahaman yang diteken bersama Kepala Staf TNI Angkatan Darat pada 2015 serta Panglima TNI pada 2016-2017.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pegiat Komite Pendayagunaan Petani dan Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia, Khudori, menduga Kementerian Pertanian mengajak institusi militer untuk mengatasi kendala di lapangan. Sebab, tak jarang proyek pengadaan lahan, termasuk untuk sawah baru, ditolak masyarakat. “Tapi apakah TNI punya kapasitas mencetak sawah?” ucapnya kepada Tempo, kemarin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dia menilai kritik terhadap pelibatan TNI wajar karena, dengan anggaran yang besar, realisasi program tersebut tak sesuai dengan harapan. Selama digarap bersama TNI AD, program cetak sawah menelan biaya Rp 377 miliar pada 2015, Rp 2,05 triliun pada 2016, dan Rp 1 triliun pada 2017. Badan Pemeriksa Keuangan pun menemukan berbagai masalah dalam pemeriksaan periode 2015-2017.
Berdasarkan laporan hasil pemeriksaan yang dirilis pada Februari tahun lalu, terdapat temuan masalah di tahap perencanaan cetak sawah yang membuat peningkatan produksi tak tercapai. Program itu pun dihentikan Kementerian Pertanian pada 2017. Salah satu temuan auditor adalah kelebihan pembayaran sewa alat perluasan sawah sebesar Rp 68,65 miliar.
Kelebihan itu terdapat pada Direktorat Zeni AD, Kodam II/Sriwijaya dan korem di bawahnya, Kodam XII/Tanjungpura dan korem di bawahnya, serta Kodam XVI/Pattimura dan korem di bawahnya. Khusus pada Direktorat Zeni AD, hasil pemeriksaan BPK mendapati kelebihan pembayaran sebesar Rp 32,5 miliar.
Contohnya adalah pada pekerjaan di Sulawesi Selatan periode 2015-2017. Berdasarkan dokumen pertanggungjawaban diketahui bahwa alat yang ditagihkan sewanya terdiri atas buldozer, ekskavator, dan traktor. Sedangkan berdasarkan konfirmasi di lapangan, alat yang digunakan hanya buldozer dan ekskavator.
Kegiatan penanaman padi perdana pada perluasan cetak sawah baru hasil kesepakatan kerja sama (KKS) antara Kementerian Pertanian dan TNI AD di Desa Peureupok, Kecamatan Syamtalira Aron, Kabupaten Aceh Utara, Provinsi Aceh, 21 September 2016. ANTARA/Rahmad
Ada juga kontrak pekerjaan di 1.656 hektare sawah senilai Rp 25,2 miliar yang tak dilaksanakan serta pemborosan akibat pencetakan di lokasi yang tak disurvei senilai Rp 1,76 miliar. Kontrak pekerjaan yang tidak diselesaikan itu didapati dari hasil pemeriksaan secara uji petik di Lampung, Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, Sulawesi Utara, Sumatera Selatan, dan Kepulauan Bangka Belitung.
Pemeriksaan dilakukan BPK dengan membandingkan kondisi lahan sebelum dan sesudah pelaksanaan pekerjaan berdasarkan data citra satelit Google Earth. Di beberapa lokasi, seperti di Desa Sungai Badak, Kabupaten Mesuji, Lampung, yang ditargetkan seluas 490 hektare, hingga tanggal pelaksanaan pekerjaan masih berupa lahan terbuka alias tidak mengalami perubahan.
Ada juga temuan pendapatan bunga yang digunakan untuk merehabilitasi rumah dinas ataupun sarana di lingkungan markas militer. Contohnya ialah pendapatan bunga pada 110 rekening penampungan milik Direktorat Zeni AD yang belum disetorkan ke kas negara senilai Rp 2,5 miliar. Uang tersebut langsung digunakan untuk perbaikan sarana Direktorat Zeni.
Temuan lainnya adalah penambahan jumlah penerima honor, yang di antaranya terjadi pada Kodam XII/Tanjungpura. BPK mengatakan terdapat peningkatan jumlah personel yang menerima honor dari seharusnya 339 orang berdasarkan surat perintah menjadi 878 orang. Peningkatan tersebut terjadi, menurut Kodam Tanjungpura, karena TNI AD tidak membentuk satuan tugas khusus pelaksanaan pekerjaan cetak sawah. Akibatnya, personel pelaksana bisa berganti-ganti.
Honor petani yang tak sesuai dengan kontrak pun masuk catatan BPK. Temuan itu dibuktikan pula lewat penelusuran Tempo di Kecamatan Martapura Barat, Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan. Bendahara Kelompok Tani Sepakat Desa Sungai Batang di kecamatan itu, Zuhaimi, mengatakan sempat dijanjikan honor Rp 150 ribu per hari selama sebulan. Namun, setelah pekerjaan beres, pembayaran belum tuntas.
“Masih ada Rp 1,5 juta yang belum dibayarkan,” ujar Zuhaimi. Dia menambahkan, pekerjaan cetak sawah di desa tersebut terhitung gagal karena terganjal masalah keasaman air rawa lebak dan tanah yang rusak.
Pada Juni 2017, anggota Ombudsman Republik Indonesia, Ahmad Alamsyah Saragih, menilai posisi TNI di program cetak sawah tak sesuai dengan peran dan fungsi tentara. Alih-alih memperkuat pertahanan negara, tentara malah ikut penyuluhan, pembangunan infrastruktur, pencetakan sawah, pendistribusian alat mesin pertanian, dan penyerapan hasil produksi. Hingga berita ini ditulis, Alamsyah belum merespons pertanyaan baru dari Tempo.
Ketika dihubungi Tempo, Kepala Pusat Penerangan Markas Besar TNI Achmad Riad hanya berujar pendek, “Maaf, itu program lama. Saya tidak mengikuti.” Tempo belum mendapat respons dari Dinas Penerangan TNI AD. Adapun Direktur Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian Kementerian Pertanian, Sarwo Edhy, menyatakan telah menindaklanjuti rekomendasi BPK. "Kalau ada pemeriksaan, langsung kami tanggapi dengan bukti-bukti."
ROBBY IRFANY | DIANANTA SUMEDI| VINDRY FLORENTIN | YOHANES PASKALIS
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo