Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Komisi Nasional Perempuan menemukan ada 450 kebijakan diskriminatif yang berlaku di Indonesia. Sebanyak 56 persen dari kebijakan tersebut, mayoritas merugikan kaum perempuan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Komisioner Komnas Perempuan Mariah Ulfah Anshor menyebut, terdapat lima kategori kebijakan diskriminatif, yaitu (1) kriminalisasi terhadap perempuan yang mengatur mengenai ketertiban umum, pornografi, dan lain-lain; (2) pengaturan kontrol tubuh yang mengatur pembatasan/pemaksaan busana atas ajaran salah satu agama; (3) pengaturan pembatasan agama yang khususnya ditujukan kepada kelompok minoritas; (4) pengaturan kehidupan beragama berupa pemaksaan melakukan aktivitas ibadah berdasarkan ajaran pemahaman tertentu; dan (5) pengaturan tenaga kerja, misalnya buruh migran yang harus minta izin kepada suami dan ketiadaan perlindungan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Menurut saya salah satu upaya paling krusial yang bisa mengubah peraturan daerah diskriminatif ini adalah mengenali cara diskriminasi bekerja,” kata Ulfah, Senin, 28 Oktober 2024.
Tanpa mengenali diskriminasi bekerja, peraturan daerah, kata dia, mungkin saja diganti, direvisi, atau dicabut, tetapi cara pandangnya belum tuntas. Terutama terkait ideologi. Dia mengatakan seringkali ideologi menjadi landasan yang melahirkan peraturan daerah diskriminatif.
“Kemudian dari ideologi lahir sebuah aksi yang secara langsung maupun tidak langsung melakukan pembatasan atau pengabaian hak-hak warga negara. Lalu dari aksi tersebut ada itikad, baik yang memiliki niat/tujuan aksi ataupun tidak. Akibatnya ada kebijakan diskriminatif,” jelas dia.
Ulfah mengungkapkan setidaknya ada 292 kebijakan yang dinilai diskriminatif yang masih berlaku, sebagai besar terdiri dari:
1. Ketertiban Umum/Sosial (prostitusi, pelacuran, gelandangan, dan penyakit masyarakat) sebanyak 101 kebijakan;
2. Pengaturan busana/kontrol tubuh perempuan sebanyak 52 kebijakan;
3. Larangan Ahmadiyah sebanyak 32 kebijakan;
4. Qanun Aceh sebanyak 14 kebijakan;
5. Kewajiban Baca Tulis Al-Quran sebanyak 60 kebijakan;
6. Ketahanan Keluarga sebanyak 20 kebijakan;
7. Kebebasan Beragama/Pengaturan Kehidupan Beragama sebanyak 11 kebijakan;
8. Adminduk sebanyak 1 kebijakan; dan
9. Tenaga Kerja sebanyak 1 kebijakan.
Analis Kebijakan Ahli Muda Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Roni Pratomo Yudistian, mengatakan pihaknya juga menganalisis produk hukum daerah dari sisi hak asasi manusia. Analisis itu menggunakan produk hukum daerah yang diduga diskriminatif yang tercantum dalam Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 16 Tahun 2024.
Peraturan tersebut, kata dia, menjadi rambu-rambu bagi perancang peraturan perundangan, baik di pusat maupun daerah. Kementerian Hukum dan HAM, lanjutnya, juga memperhatikan hak kelompok rentan, termasuk perempuan.
“Kami memperhatikan prinsip persamaan substantif dan nondiskriminasi. Kami telah mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 53 Tahun 2021 tentang Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia Tahun 2021-2025 yang menitikberatkan pada 4 kelompok sasaran, salah satunya perempuan,” kata Roni.
Namun, pemahaman antara pusat dan daerah, kata Roni, masih terdapat perbedaan. Oleh karena itu, dia berharap langkah ke depan akan dilakukan bimbingan teknis untuk perancang dan analis hukum agar penyusunan dan analisis draft produk hukum daerah lebih berperspektif hak asasi manusia.