Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Korban Kekerasan Seksual Bercerita

Korban kekerasan ataupun pelecehan seksual bisa mengalami depresi berkepanjangan. Akibatnya, kehidupan pribadi dan sosial mereka terganggu. Sudah saatnya para penyintas kekerasan dan pelecehan seksual bersuara.

15 September 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Korban kekerasan ataupun pelecehan seksual bisa mengalami depresi berkepanjangan. Akibatnya, kehidupan pribadi dan sosial mereka terganggu. Sudah saatnya para penyintas kekerasan dan pelecehan seksual bersuara.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pengalaman buruk di masa kecil itu begitu membekas di benak Rhesya. Semasa kecil, ia berkali-kali dilecehkan oleh ayah tirinya. Rhesya kecil tak bisa berbuat apa-apa. Ia hanya bisa memendam rasa marah, jijik, dan takutnya sendiri. Semua itu disimpannya sampai ia duduk di bangku kuliah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Peristiwa yang terjadi berpuluh tahun silam atas mempengaruhi jiwa Rhesya. Semasa duduk di sekolah menengah pertama (SMP) dan atas (SMA), dia mengaku kerap melamun sendiri dan tertutup kepada orang lain. "Sering kali saya tidak masuk kelas dan hanya berdiam diri di perpustakaan sekolah," ujarnya kepada Tempo, Kamis lalu. Teman-temannya khawatir dan merasa aneh terhadap sikap Rhesya, tapi ia tak mau bercerita.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Rhesya, yang tak mau menyebutkan nama lengkap dan usianya, adalah penyintas kekerasan seksual yang kini aktif mendampingi para penyintas lain di komunitas Lentera Sintas. Karyawan swasta ini meluangkan waktu di tengah kesibukannya untuk memberikan semangat kepada perempuan lain yang mengalami nasib serupa dengannya.

Kamis lalu, saat bertemu dengan Tempo, Rhesya baru saja mendampingi beberapa perempuan korban kekerasan seksual yang berbagi cerita. Pertemuan tersebut dilakukan tertutup demi menjaga kenyamanan dan kerahasiaan identitas para korban. "Tidak semua penyintas ingin diketahui kisahnya," ucapnya.

Sesi pertemuan untuk berbagi cerita antar-penyintas kekerasan seksual menjadi agenda bulanan yang rutin digelar Rhesya bersama komunitas Lentera Sintas. Komunitas yang berdiri sejak 2011 ini memang berfokus mendampingi para korban kekerasan ataupun pelecehan seksual. Berbagi cerita dan pengalaman diyakini menjadi salah satu cara untuk memulihkan trauma dan depresi yang diderita korban.

Rhesya menyebutkan setiap korban kekerasan seksual pasti menyimpan luka dan trauma mendalam yang membuat kehidupan pribadi dan sosialnya terganggu. Bentuk trauma itu bermacam-macam, ada yang menjadi takut tidur sendiri, takut bepergian seorang diri, hingga enggan bersosialisasi dengan orang lain. Kondisi ini juga bisa mengganggu kesehatan mental. Korban bisa mengalami depresi hingga muncul keinginan untuk bunuh diri.

Depresi dan ketakutan semacam itu dialami Rhesya hingga kuliah. Bahkan perkuliahannya sempat terganggu dan ia harus drop out dari kampusnya. Penyebabnya, saat bimbingan skripsi, Rhesya mendapatkan dosen pembimbing yang mengingatkannya pada sosok ayah tirinya. "Saya sering mangkir bimbingan skripsi, jadi tidak pernah selesai."

Rhesya sebetulnya sempat menceritakan masalah ini kepada ibu kandungnya. Sayangnya, sang ibu tak memberikan solusi apa-apa. Malah, saat Rhesya kuliah, ayah tirinya, yang sempat pergi meninggalkan dia dan ibunya, kembali ke rumah. Rhesya memilih minggat dari rumahnya karena merasa tidak aman.

Saat kuliah untuk kedua kalinya, trauma itu masih ada. Rhesya kembali mendapatkan dosen pembimbing skripsi yang seusia dengan ayah tirinya. "Saya teringat lagi sosok ayah tiri saya." Beruntung, kali itu Rhesya sudah berkenalan dengan kelompok Lentera Sintas, yang peduli terhadap orang-orang seperti Rhesya.

Di komunitas Lentera, ia mulai terbuka menceritakan masa kecilnya yang kelam. "Di sini saya menemukan teman-teman yang punya nasib sama." Mereka, menurut Rhesya, saling memberikan semangat dan motivasi agar para korban bangkit dari kesedihan dan menjalani hidup lebih baik. "Waktu itu mereka mendorong saya agar menghadapi ketakutan saya bertemu dengan dosen pembimbing, supaya skripsi cepat selesai dan lulus."

Sejak 2011 sampai sekarang, sudah puluhan kali sesi sharing antar-penyintas kekerasan seksual dilakukan Lentera. Jika dihitung, menurut pendiri Lentera Sintas, Wulan Danoekoesoemo, sudah ada sekitar 200 orang korban yang mengikuti program ini. Latar belakangnya bermacam-macam, ada yang ibu rumah tangga, pekerja kantoran, anak-anak berusia di bawah 10 tahun, sampai orang yang berusia 60 tahun.

Menurut Wulan, pemulihan trauma pada para korban tidak bisa disamaratakan. "Ada yang kasusnya sangat berat, pernah jadi korban pemerkosaan dan depresi hingga ingin bunuh diri. Tapi, setelah sering mengikuti sesi sharing, dia bisa bangkit dengan cepat," kata Wulan. "Sebaliknya, ada pula korban pelecehan di kendaraan umum yang menyimpan trauma berkepanjangan dan sulit bangkit."

Wulan menjelaskan, proses pemulihan trauma pada korban sangat bergantung pada lingkungan sekitarnya. Seorang korban kekerasan seksual bisa bangkit karena didukung oleh keluarga terdekat. Tapi korban lainnya bisa sangat menderita jika orang-orang di sekitar korban malah bersikap sebaliknya. "Tidak jarang korban pelecehan atau pemerkosaan justru balik disalahkan oleh orang-orang sekitarnya."

Trauma berkepanjangan semacam ini dialami oleh Sari, seorang karyawan swasta di Jakarta yang sehari-hari menggunakan transportasi umum. Pada 2015, ia pernah dilecehkan saat pulang larut malam menggunakan kereta rel listrik. Perempuan yang tinggal di Depok, Jawa Barat, ini terbiasa turun di Stasiun Pondok Cina.

Suatu hari, Sari terpaksa pulang larut dan memakai kereta terakhir. Di stasiun tujuan, Sari menggunakan toilet umum untuk buang air. Karena situasi saat itu sudah sepi, Sari hanya seorang diri di toilet perempuan. Ketika itu, Sari mendengar ada seseorang yang masuk ke bilik toilet di sebelahnya. Waktu itu, menurut dia, dari celah bawah toilet, Sari melihat sosok yang masuk adalah seorang laki-laki yang menggunakan sepatu bot. "Dari pantulan air di lantai juga terlihat sosok laki-laki."

Sari panik karena sosok itu seperti sedang mengintip ke arah bilik yang ditempatinya. Karena panik dan takut, Sari tak bisa berbuat apa-apa. "Apalagi waktu itu stasiun sudah kosong, Takutnya, kalau saya berteriak, pelaku malah nekat."

Meski terkesan "ringan", kejadian yang dialami Sari termasuk kategori pelecehan seksual. Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) merilis daftar yang berisi 15 poin bentuk kekerasan dan pelecehan seksual. Aksi mengintip termasuk pelecehan karena dilakukan tanpa persetujuan dari orang yang menjadi korban.

Selain itu, bentuk lain pelecehan adalah sentuhan fisik dan nonfisik dengan sasaran organ seksual korban. Contoh lain adalah siulan menggoda, main mata, ucapan dan lelucon bernuansa seksual, serta tindakan menunjukkan materi pornografi ke orang lain. "Belum banyak orang yang tahu dan sadar soal ini," kata Wulan. "Malah sebagian orang menganggap hal-hal semacam ini wajar atau dianggap sebagai bentuk candaan."

Padahal hal-hal semacam itu bisa menimbulkan ketidaknyamanan pada korban. Sari, misalnya, gara-gara pernah diintip, sampai sekarang mengalami trauma jika harus menggunakan toilet umum. "Kalaupun terpaksa, saya harus minta ditemani orang lain," tuturnya. Kondisi ini jelas mengganggu kehidupan sehari-harinya. Sari, yang biasa naik dan turun kereta di Stasiun Pondok Cina, memilih turun di stasiun yang lebih jauh dari kediamannya. "Karena sampai sekarang saya merasa tidak aman kalau lewat situ."

Sari sebetulnya sempat mencoba menceritakan pengalaman itu kepada orang lain. Sebagian temannya bersimpati dan memberikan dukungan kepadanya. "Tapi ada juga yang justru menyalahkan, kenapa saya pulang malam, kenapa saya buang air di toilet umum." Tudingan semacam inilah yang malah membuat Sari makin down.

Untuk mengantisipasi aksi pelecehan serupa atau lainnya terulang, Sari kini mempersenjatai diri dengan stun gun atau tongkat elektrik yang bisa mengeluarkan listrik bertegangan tinggi untuk melumpuhkan orang yang berniat jahat. "Sekarang saya ke mana-mana bawa alat ini buat jaga-jaga."

Mempersenjatai diri menjadi cara sebagian perempuan untuk menjaga rasa aman dan nyaman dirinya sendiri saat berada di ruang publik. "Kondisi ini seharusnya tidak terjadi kalau ada pihak berwenang bisa memberikan jaminan keamanan," ujar Wulan. Tapi yang terjadi saat ini justru terbalik. Perempuan seperti Sari yang dilecehkan di tempat umum malah menghadapi kesulitan saat ingin melapor ke polisi. "Yang ada malah disuruh visum, diminta mengumpulkan saksi dan bukti… pelaku keburu kabur."

Pemerintah daerah di Indonesia, menurut Wulan, seharusnya mencontoh Pemerintah Kota Paris, Prancis, yang sejak akhir tahun lalu menerbitkan aturan baru. Aturan ini memungkinkan seorang pelaku pelecehan seksual di tempat umum mendapat denda sebesar 90-750 euro (Rp 1,3-12,9 juta) di tempat. Seperti dikutip dari France 24, jumlah denda disesuaikan dengan bentuk pelecehan. Paling rendah untuk siulan atau panggilan godaan (catcalling) dan tertinggi untuk pelecehan fisik.

Adapun di Indonesia, kasus pelecehan dan kekerasan seksual sudah dianggap mengkhawatirkan. Komnas Perempuan melaporkan, pada 2017 jumlahnya mencapai 348.446 kasus. Jumlah ini naik satu setengah kali lipat dari tahun sebelumnya.

Komisioner Komnas Perempuan, Mariana Amiruddin, dalam konferensi pers laporan tahunan Komnas Perempuan beberapa waktu lalu, mengatakan peningkatan kasus yang tercatat itu bukan berarti jumlah kasus kekerasan dan pelecehan meningkat. "Tapi karena para korban sekarang banyak yang berani melapor sehingga kasus-kasusnya tercatat."

Mariana mengatakan, di luar kasus yang tercatat, tentu masih banyak kasus kekerasan yang tidak dilaporkan. Ibarat puncak gunung es, angka yang dilaporkan Komnas Perempuan hanyalah bagian yang terlihat di atas permukaan. Komnas Perempuan juga mencatat, sepanjang 2017, ada beberapa tren kejahatan dan kekerasan seksual yang berkembang, yakni kejahatan berbasis cyber dan inses.

Salah satu kejahatan seksual berbasis cyber yang jadi sorotan publik terjadi pada Juni lalu, saat penyanyi Via Vallen mendapatkan pesan pelecehan seksual di akun Instagramnya. Kasus ini terungkap karena Via mengunggah sendiri cuplikan pesan itu di Insta Story akunnya. Diduga, pengirim pesan cabul itu adalah seorang pemain sepak bola asing di Tanah Air.

Kekerasan berbasis cyber terjadi ketika pelaku menggunakan teknologi untuk menarik calon korbannya ke dalam situasi kekerasan. Hampir sama jumlahnya dengan rekrutmen online adalah kasus cyber harassment berupa pengiriman teks mengancam, menakuti, menyakiti, dan mengganggu korban. "Kekerasan terhadap perempuan makin beragam, tapi sistem pencegahan dan penanganannya masih lambat," ujar Mariana. PRAGA UTAMA

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus