SEJAK Marco Polo maupun Ibn Battutah berangkat dari kampung
halaman masing-masing -- di Venesia dan Maroko -- untuk
perjalanan menuju Timur Jauh, di waktu yang hampir bersamaan di
abad XIV, pesona kota-kota besar Asia menggoda para penghuni
dunia sebelah barat. Berlayar ke timur menyeberangi Samudra
India, dan ke barat melintasi Pasifik, para petualang Iberia di
abad XVI kemudian menaklukkan Manila dan Malaka, dalam usaha
mencari sutra dan rempah-rempah Timur. Inggris dan Belanda
kemudian mengikuti jejak itu. Maka berdirilah bandar-bandar
niaga Eropa di Bombay, Calcutta, dan Batavia. Ditengok dari ibu
kota pedalaman seperti Delhi, Beijing, dan Yogyakarta,
bandar-bandar itu mulanya tampak kecil, tak berdaya, bergayut di
tepi wilayah kerajaan yang luas.
Tapi tatkala perdagangan Eropa lewat samudera menjadi kebutuhan
bagi kerajaan-kerajaan teritorial abad XIX, pelabuhan-pelabuhan
kecil tadi berkembang cepat menjadi kota-kota besar Asia. Pada
pergantian abad, Calcutta-Inggris sudah mengalahkan
Delhi-Mughal, Shanghai yang imperialis sudah meninggalkan
Beijing-Manchu, dan Saigon meredupkan pamor Hue kebanggaan
Dinasti Nguyen. Kota-kota besar Asia akhirnya menjadi ahli waris
wajah kolonialisme Eropa.
Dan pada akhir 1940-an koloni-koloni Barat di Asia satu demi
satu mencapai kemerdekaannya. Para ahli di Barat segera diancam
kekhawatiran akan nasib kota-kota kolonial yang tua itu.
Mungkinkah gerangan negara-negara Asia yang baru merdeka
menghancurkan kota-kota tersebut, karena menganggapnya lambang
dominasi Barat? Atau barangkali kota-kota itu sendiri mengubah
diri, melayani kebutuhan tuannya yang baru? Dan, andai kota-kota
itu bertahan, mampukah negara-negara Asia yang muda mengu rus
dan membiayai permukiman yang menuntut banyak ongkos itu ?
Untuk kota-kotatua Indocina peninggalan Prancis, transisi dari
kolonialisme ke sosialisme jauh lebih pelik ketimbang sekadar
mengganti nama Saigon menjadi Kota Ho Chi Minh. Di Hanoi, para
birokrat komunis memasuki kantor-kantor bekas penjajah mereka.
Kehidupan pun berjalan terus, penuh disiplin dan hambar.
Saigon punya riwayat lain. Dihumbalangkan perang berlarut-larut,
penuh GI selama bertahun-tahun, kota yang paling dipengaruhi
Amerika itu tiba-tiba memasuki "zaman sosialisme".
Lain pula halnya dengan Phnom Penh. Di bawah kekuasaan Pol Pot,
kota ini menjadi pusat penolakan terhadap "Barat". Hampir
seluruh penduduknya di kirim ke pedalaman . Sedang para
remajanya diperintahkan menghancurkan setiap pertanda urbanitas
Barat: mata uang, listrik, mobil, bahkan sekolah.
Syahdan Alfred W. McCoy, doktor Sejarah Asia Tenggara lulusan
Universitas Yale, yang kini mengajar di Universitas New South
Wales, Sidney, meninjau ketiga kota itu tahun lalu, dan
menuliskan pengalamannya di majalah Journey di Australia. Tidak
sembarang orang boleh berkunjung ke tiga kota itu, dan orang
bisa pula merasakan bentuk hubungan sejarawan ini dengan
kalangan mereka lewat oleh-olehnya yang kami susun kembali
berikut ini.
Mula-mula Hanoi. Ibu kota Vietnam ini bagai museum teknologi
urban abad XIX. Kereta api uap, trem, sepeda, kipas angin yang
bergayut di langi-langit bangunan, dan gedung-gedung rendah,
hadir di mana-mana. Berbeda dengan pencakar langit berdinding
kaca yang bisa dilihat di Sidney, atau Singapura, jalan raya
Hanoi dihiasi gedung tiga tingkat, yang acap kali lebih rendah
ketimbang pohon peneduh jalan yang ditanam orang-orang Prancis
pada 1890-an.
Kota ini terletak di bagian Vietnam yang berpenduduk padat, di
delta Sungai Merah, sekitar 100 km dari Teluk Tonkin. Ketika
pasukan Prancis di bawah Kapten Henri Riviere menaklukkan
bentengnya, 1882, Hanoi hanyalah sebuah kota regional yang
kecil, hampir tidak berarti.
Pada 1898, Hanoi menjadi ibu kota Indocina-Prancis. Para
insinyur kolonial segera membenahinya, membangun bulevard yang
lapang dan licin, serta menciptakan taman di sekeliling tasiknya
yang permai. Beberapa generasi arsitek kolonial lantas
mengembangkan kota ini dalam gaya Prancis, lengkap dengan
kantor-kantor pemerintahan.
Jalan-jalan raya dipagari tembok, seperti bersambung dengan atap
perumahan berwarna hijau teduh. Bahkan pada hari yang paling
gerah di bulan Agustus, pemandangan ke atap-atap rumah
menimbulkan suasana sejuk.
Di persimpangan-persimpangan terdapat rumah jaga polisi, dari
beton bercat putih. Dari tempat inilah petugas keamanan Hanoi,
yang menggunakan topi model kolonial berbintang merah itu,
mengatur kesibukan lalu lintas sepeda pada jamjam yang hiruk. Di
beberapa bagian. jalan masih terdapat perlindungan beton, tempat
para penembak senapan mesin Prancis dulu bersiap menunggu
serbuan pasukan komunis Vietnam.
Ke utara, dekat ke sungai, ketenangan gaya Prancis itu berganti
dengan arsitektur kacau balau model Cina, mengitari Pasar Dong
Xuan, chinatown Hanoi. Aksara dan simbol geometri Cina tampak di
mana-mana. Di sini bangunan umumnya bertingkat tiga. Lantai satu
digunakan sebagai kedai, lantai dua untuk tempat tinggal, dan
lantai tiga di jadi kan 'pekarangan'. Jalanan dalam kompleks ini
sempit berliku-liku.
Hanya tiga bangunan yang tingginya melebihi pepohonan peneduh
jalan. Yang pertama Gedung Opera Hanoi, dengan gaya neo-Barok,
tiruan bangunan yang sama di Paris. Gedung ini tampak menonjol
di bekas wilayah bisnis zaman kejayaan penguasa Prancis itu.
Masih digunakan untuk konser, dan pada sutu ketika
diselenggarakan acara resital oleh para mahasiswa Konservatori
Musik Hanoi.
Program pertunjukan tersebut meliputi beberapa balada
revolusioner, Ave Maria, dan Old Man River. Kendati tangga
pualam dan lantai kayu gedung opera ini memberi suasana anggun
dan teduh, kipas angin yang bergayut di langit-langit ternyata
tidak bisa mengatasi keringat yang membasahi baju penonton.
Di bagian kota yang berseberangan, terdapatlah bangunan
"realisme sosialis" terbuat dari pualam merah jambu, tempat
jenazah Ho Chi Minh yang sudah diawetkan terbaring kaku.
Bangunan ini berdekatan dengan bekas istana gubernur jenderal
Prancis. Mausoleum ini telah menjadi tempat keramat nasional,
menyaingi tempat suci lain yang juga bergedung tinggi --
Katedral Katolik.
Setiap pagi, para petani dan anak sekolah antre untuk ziarah ke
mausoleum Ho Chi Minh. Mereka berbaris dengan takzim, seperti
tak habis-habisnya, kemudian mendaki anak tangga yang berlapis
karpet putih, dan memasuki ruangan dengan sistem pendingin yang
paling sejuk di seluruh Hanoi.
Dengan pemanfaatan teknik Soviet yang telah berhasil mengawetkan
mayat Lenin selama lebih dari 60 tahun di bawah kaca di Lapangan
Merah Moskow, jasad Ho Chi Minh terbaring mengenakan busana
khakinya yang terkenal itu, berselimutkan bendera Vietnam dan
Uni Soviet. Terasa aneh juga bila kita memasuki gedung ini
diantar gadis pemandu wisata yang keborjuis-borjuisan, bercelana
Levi's, dan mengoceh tentang "invasi Vietnam ke Kamboja". Tetapi
begitu memasuki ruang jenazah, guide itu membungkam dan berlagak
serius.
Ia tetap bersungguh-sungguh ketika memasuki bekas tempattinggal
Ho yang berkamar satu, di belakang bekas istana gubernur
jenderal itu. Pemimpin Vietnam ini tampaknya memang hidup dalam
gaya yang benar-benar spartan. "Di sinilah," kata pemandu wisata
itu, "Paman Ho menerima para anggota kabinet dan anak-anak
Vietnam." Kesan dari mausoleum dan "rumah Paman Ho" itu ternyata
membekas agak dalam pada diri pemandu tadi. Sekitar tengah hari,
barulah ia bisa sinis kembali.
Sepeda menyelamatkan Hanoi dari polusi, seperti yang ditanggung
Manila maupun Bangkok. Terletak di bawah tanggul yang menahan
hempasan Sungai Merah, Hanoi dibangun di dataran rata, sehingga
menjadi kota yang menyenangkan untuk para pengendara sepeda. Di
kota ini sepeda menjadi raja. Kendaraan bermotor dipandang
sebagai perusuh yang tidak mengenal sopan.
Pada jam sibuk, jalanan tetap sunyi dengan ribuan sepeda
berpencaran di seluruh bulevard. Peraturan lalu lintas
dilaksanakan dengan saksama. Di sana-sini kelihatan polisi
menyetop dan mencatat nama pengendara sepeda yang melanggar
aturan.
Polisi sendiri berpatroli dengan sepeda. Kader komunis senior
mengayuh sepedanya ke kantor. Dan anak muda berpacaran di atas
sepeda. Bahkan peranan taksi digantikan oleh trishaw yang
dikayuh.
Di sepanjang jalan mudah dijumpai bengkel sepeda, yang
memberikan pelayanan mulai menambal ban sampai meluruskan
batangan yang bengkok karena tabrakan. Bila di Indonesia dulu
simbol status penduduk adalah sepeda Raleigh, di Hanoi sepeda
Peugeot buatan Prancis. Di kota dengan sejuta penduduk dan
sepeda ini, mobil betul-betul digunakan untuk urusan yang sangat
penting. Kadang-kadang, keserasian panorama sepeda itu diusik
oleh konvoi kecil sedan Volga berwarna hitam -- iring-iringan
mobil pejabat.
Revolusi Vietnam mencapai kemenangannya di atas sepeda. Tidak
percaya? Pada saat gawat dalam pertempuran melawan Prancis di
Dien Bien Phu, 1954, adalah brigade sepeda kaum tani yang
mensuplai tentara selama berbulan-bulan di daerah barat laut
yang berbukit-bukit. Beras peluru meriam, mortir, dan manusia
maju ke medan perang berkendaraan sepeda.
Untuk para anggota Politbiro dan kaum tani, sepeda merupakan
pemenuhan janji revolusi. Nguyen Co Tach, menteri luar negeri
Vietnam yang berambut perak, sekali waktu bercerita. "Sebagai
bocah di kampung yang berdekatan dengan Teluk Tonkin," katanya,
"ambisi saya yang paling besar ialah memiliki sepeda."
Konon di dusun Co Tach, dahulu, satu-satunya sepeda adalah punya
tuan tanah. Tapi ketika ia pulang kampung tahun lalu, "setiap
keluarga memiliki dua atau tiga sepeda," katanya. Malah ada
orang yang sudah terlalu tua untuk menunggang kendaraan itu, toh
membelinya, sekadar untuk tempat bertengger seraya membaca
koran, ceritanya lagi.
Nguyen Co Tach bertanya kepada penduduk desa: bersediakah mereka
berperang melawan Cina, bila yang terakhir ini melakukan invasi
seperti pada 1979? "Berjuang?" sahut seorang penduduk "dengan
rada berang", katanya. "Tentu saja kami bersedia. Kami tidak
akan membiarkan orang Cina itu menghancurkan rumah kami, dan
merampas sepeda kami! "
Betapa pun, bersepeda memang mengandung kenikmatan tersendiri di
Hanoi. Meski udara panas, pohon pelindung yang berdiri di
kiri-kanan jalan memberi bayang teduh. Parkir tidak menjadi
soal. Setiap hotel dan bangunan utama menyediakan tempat parkir
sepeda. Begitu pula tamantaman. Ongkos parkir untuk sehari
suntuk tidak lebih dari satu sen.
Seperti delta yang mengelilinginya, Hanoi adalah kota yang
sesak, tetapi bersih. Setiap subuh keluar brigade kebersihan
yang membuat kota ini klimis. Pohon yang ambruk digasak taifun,
dibersihkan dari jalanan dalam beberapa jam. Kesesakan terasa
terutama di kompleks rumah susun yang dibangun pemerintah
mengitari wilayah lama peninggalan Prancis.
Struktur rumah susun itu sangat sederhana. Dan antrean untuk
mendapatkannya sangat panjang. Tanpa perumahan di kota, para
petani tidak bisa begitu saja pindah dari desa. Dan dalam
membangun perumahan rakyat ini pemerintah Vietnam termasuk
lambat.
Padahal, meski tidak terlalu menyenangkan, ongkos perumahan di
Hanoi termasuk yang paling murah di dunia. Untuk sebuah flat
dengan fasilitas air dan listrik, penyewa dikenai biaya sepuluh
persen dari pendapatan resminya. Jumlah itu kira-kira Rp 1.290
per bulan.
Hanoi termasuk kota tanpa kelas. Anggota kabinet mengenakan
pakaian yang sama dengan sopir: kemeja putih, celana hitam, dan
sandal plastik. Wanita, tua dan muda, tidak mengenal make up.
Rambut mereka hanya diikat dengan karet gelang. Pakaiannya
nyaris seragam: blus putih, dan celana satin hitam. Tentu saja
di kota seperti ini tak tampak gelandangan, pengemis, atau
pelacur.
Tetapi Hanoi juga bukan kota untuk bersenang-senang. Para
pelancong bisa saja menginap di Hotel Thang Loi (Kemenangan),
yang terletak di pantai Danau Barat -- bagian kota yang paling
indah. Hotel ini dihadiahkan Kuba bagi kemenangan Vietnam
merebut Saigon, 1975.
Setara dengan hotel berbintang lima, Thang Loi menampung para
penerbang Interflug dan Aeroflot, menyelenggarakan jamuan
diplomatik, dan tempat menginap para utusan asing. Pada hari
Minggu hotel mewah ini penuh dengan diplomat Eropa Timur,
teknisi Prancis, insinyur Swedia, dan mahasiswa Laos.
Tetapi makanan dan minumannya sama sekali tidak merangsang
selera. Cara pelayanannya pun acak-acakan. Keluhan tamu hampir
tidak ditanggapi.
Keadaan yang sama bisa dijumpai pada sarana media dan
telekomunikasi. Semua hubungan telepon internasional harus
melalui Moskow. Banyak tempat di dunia yang tidak bisa
dihubungi, misalnya, Manila. Di hotel-hotel ada tempat penjualan
kartu pos, tapi tak selembar koran atau majalah diperdagangkan.
Time, Newsweek, atau pocketbook jangan harap bisa ditemukan di
seluruh Vietnam, kecuali di kompleks kedutaan negara Barat
tentunya.
Kolam renang di hotel-hotel tidak menimbulkan gairah. Airnya
jarang diganti, lumut tampak mengambang. Di lobi hotel yang
mewah dan sejuk itu kadang-kadang melintas tikus padi berwarna
cokelat.
Konsumerisme memang ditekan dengan segala daya upaya di kota
ini. Dalam kenyataannya terdapat tiga sektor ekonomi yang
memainkan peranan: negara, pasar bebas, dan pasar gelap.
Sektor negara diwakili oleh Intershop, toko yang memperagakan
dan menjual barang impor. Ini terletak di apartemen baru. Hanya
orang asing dan pribumi yang memiliki mata uang asing boleh
berbelanja di sini. Intershop menjual, antara lain, sepeda motor
Honda sepeda Peugeot, termos Cina, pena Pilot, dan bir Asahi.
Harganya mahal bukan buatan.
Untuk penduduk, yang memiliki kupon berbelanja dan mata uang
Vietnam, dong, disediakan tempat antrean di toko serba ada
pemerintah, di dekat gedung opera. Toko dengan bangunan gaya
Prancis ini menjual hampir segala kebutuhan pribumi, mulai
sandal plastik sampai mesin jahit. Ada juga pesawat televisi
buatan Gdanks, Polandia, dengan harga D 3.200. Jumlah itu sama
dengan gaji tiga tahun rata-rata seorang karyawan di Vietnam.
Barang buatan dalam negeri kelihatan betul jeleknya, baik dalam
hal disain maupun mutu.
Barang yang lebih lengkap terdapat di "pasar bebas" Dong Xuan.
Tetapi peta Kota Hanoi tetap sulit dicari di toko-toko buku di
pasar ini. Ada salon kecantikan, tapi peralatannya sungguh kuno.
Untuk mengeriting rambut, seutas kawat yang dipanaskan dengan
listrik langsung dimainkan di kepala si langganan.
Tidak jauh dari salon kecantikan itu terdapat toko buku Partai
Komunis. Sebagian besar bukunya dilapisi debu. Cetakannya sudah
sangat ketinggalan zaman. Biasanya, pelayanan di toko ini baru
diberikan setelah orang menunggu sekitar 35 menit.
Di sekitar toko itu terdapat hotel tua peninggalan Prancis.
Listriknya hidup mati. Minuman dingin tidak bisa diharapkan
setiap saat.
Di pasar gelap aturan permainan agak lain. Barang-barang di sini
bisa menjadi sangat murah bila dibayar dengan mata uang asing.
Mengapa? Orang Vietnam membutuhkan mata uang asing itu untuk
berbelanja di Intershop, yang menjual bebas barang impor.
Begitulah di Hanoi -- sementara di Saigon mata uang asing
diperlukan untuk bekal mengungsi ke luar negeri. Di pasar bebas
Hanoi, di sekitar pasar Dong Khene, terdapat sebuah restoran
gaya Prancis yang dijuluki "Bank Swedia". Di restoran ini
pertukaran mata uang asing diselenggarakan secara
sembunyi-sembunyi.
Sejak beberapa tahun terakhir, pemerintah Vietnam putus asa
menjalankan sistem distribusi resmi. Karena itu pasar bebas
digalakkan. Beberapa pembatasan diperlonggar, terutama untuk
para pedagang kecil dan tukang. Koperasi pertanian negara malah
menyewakan tanahnya kepada petani perorangan. Hasil panen juga
mulai bisa dijual langsung ke pasar, tidak lagi harus melalui
koperasi.
Salah satu problem ekonomi Vietnam agaknya kemiskinan di sektor
industri, terutama industri kecil. Dao Van Tap, ketua Institut
Ekonomi Hanoi menerangkan, "untuk merangsang produksi pertanian,
kami harus membayar kaum tani dengan harga yang patut bagi hasil
panen mereka. Tetapi pasar tidak menyediakan barang yang bisa
dibeli dengan uang itu."
Ada saran untuk keluar dari produktivitas yang rendah itu dengan
cara mengimpor teknologi tekstil Soviet dengan "harga
persahabatan". Memang gampang. Apa saja yang di minta Vietnam
dengan senang hati bakal segera dikabulkan Moskow. "Tapi tekstil
mereka tidak memenuhi standar dunia," ujar Tap.
Tanpa industri yang berarti, tak ada yang bisa diekspor Vietnam.
Belum lagi dampaknya di masa depan yang tidak begitu jauh, yang
sekarang sudah bisa dilihat bahayanya. Contoh sederhana tampak,
misalnya, di Koperasi Yen So, sekitar 60 km di barat daya Hanoi.
Dari peragaan statistik di kantor koperasi desa ini, semuanya
tampak menggembirakan. Sejak "pembebasan" Vietnam Utara, 1954,
jumlah rumah batu meningkat, pemilik sepeda bertambah, standar
pendidikan naik, produksi padi makin banyak, begitu pula
produksi sutera. Perawatan kesehatan pun semakin bagus.
"Tetapi problemnya terletak dalam waktu singkat mendatang," ujar
Dao Van Tap. Sekitar 48% dari 2.000 penduduk Yen So berumur di
bawah 16 tahun. Dan seperti desa lainnya di delta ini, tanah
sudah semakin sempit. Delta ini merupakan salah satu tempat
dengan penduduk terpadat di dunia.
Tanpa membangun kota-kota industri, angkatan kerja dari
desa-desa seperti Yen So akan membentuk barisan penganggur yang
bertambah panjang. Sekarang saja sudah banyak kaum wanita yang
tidak kebagian kerja.
Itulah sebabnya, lantaran tidak sanggup menyediakan dana dan
teknologi untuk menggalakkan pembangunan, pemerintah Vietnam
merangsang pasar bebas dan 'tutup mata' terhadap pasar gelap. Di
Utara, sekitar 90% hasil sawah dan sebagian besar barang
konsumen dikontrol pemerintah. Di Selatan angka itu tak sampai
demikian tinggi. Di sana para pedagang Cina masih menguasai
sekitar 90% hasil padi Delta Mekong.
"Setelah mengunjungi Hanoi, Anda bisa tidak percaya pada
pemandangan yang Anda lihat di Saigon, " kata Dao Van Tap. "Di
sana, toko penuh dengan barang luar negeri -- diselundupkan dari
Muangthai melalui Kamboja."
* * * *
Memang. Meski telah mendapat nama 'revolusioner', Kota Ho Chi
Minh -- Saigon -- masih mengumbar nostalgia borjuis masa lalu.
Di bandar udara Tan Son Nhut, tamu resmi dijemput guidedengan
mobil Ford Fairlane 1971 berwarna hitam, "hasil rampasan dari
kedutaan besar Amerika Serikat, 1975." Terus diantarkan ke Hotel
Majestic yang tua, terletak di tepi sungai, dengan restoran di
lantai puncak. Para pelayan di hotel ini jelas bukan tandingan
karyawan Hotel Thang Loi di Hanoi, yang serba
"realis-sosialistis".
Dilayani para karyawan Hotel Majestic memberikan kesan "Saigon
masa lampau", terutama bagi pengunjung yang pernah bertandang ke
kota itu sebelum 1975. Para pelayan masih mengenakan dasi
kupu-kupu hitam di sela kerah yang putih kaku dan rambut mereka
mengkilap oleh pomade. Sebagian besar di antara mereka menyapa
tamu dalam bahasa Prancis yang tak tercela. Pilihan menu pun
senantiasa membuka selera. Kecuali poster-poster Pan Am yang
sudah disingkirkan, hotel ini hampir tidak berubah. Perabotnya
tetap yang dulu, terbuat dari kayu mawar Cina yang indah.
Kamar-kamarnya tidak kehilangan keanggunan. Dan di kamar-kamar
biasa, kipas besar masih berputar di langit-langit. Di luar
hotel, bertebaran para pengemudi helicak, pengemis, anak-anak
nakal.
Sejak semula Saigon terdiri dari dua kota yang saling terpisah.
Hingga 1679, sebagian besar wilayah Vietnam Selatan tidak dihuni
manusia. Kerajaan Kamboja pun tidak mengawasi kawasan itu.
Kemudian tibalah sebuah armada Cina yang terdiri dari 3.000
orang, melarikan diri dari kekuasaan Dinasti Manchu. Mereka
bermukim di Bien Hoa, 30 km di utara Saigon, dengan izin
penguasa Vietnam.
Tatkala emigran Vietnam dari utara mengambil Delta Mekong yang
subur, dan mulai membuka lahan pertanian, orang-orang Cina itu
mendirikan permukiman baru di tepi Sungai Cholon. Kemudian
pemerintah Vietnam mendirikan pusat administrasi kecil di
Saigon, 7 km ke timur, tempat pertemuan kota itu dengan sungai.
Pada 1859 Prancis menaklukkan Saigon. Setelah mendirikan basis
pertama di Vietnam, mereka menghalau pejabat-pejabat Vietnam dan
Saigon. Tetapi, konon, mereka tidak mengusik perantau Cina di
Cholon itu.
Dalam setengah abad berikutnya, para ahli Prancis membangun
jaringan drainase yang mengesankan, juga kanal-kanal
transportasi di dataran Delta Mekong. Mereka mengeringkan daerah
rawa yang bergaram, sehingga produksi padi kawasan ini melonjak
dan mengalir ke pasar dunia. Sementara tanah-tanah baru dibagi
di antara para pejabat kolonial di Saigon dan para kolaborator
Vietnam, saudagar-saudagar Cina di Cholon tetap mengontrol
hampir seluruh ekspor beras dan dunia usaha.
Di bawah Prancis, kedua kota itu tumbuh dengan karakternya
masing-masing. Dari Saigon ke selatan penduduk berbahasa
Prancis, tata kota meniru Paris, bahkan mendapat nama 'Mutiara
di Timur' dari para pelancong Prancis. Di bagian ini terbentang
bulevard-bulevard yang teduh, taman-taman yang indah dan luas.
Bangunan perkantoran berdiri megah, rumah tinggal meniru gaya
Laut Tengah.
Dalam pada itu Distrik Cholon, yang terletak di barat, secara
spontan berkembang menjadi semacam Tiongkok Kecil. Penuh sesak
dengan gudang, kedai dan lepau, rumah dan kelenteng, bersesakan
sepanjang kanal yang merupakan urat nadi pengangkutan beras dari
Delta.
Kota ini mengenal kekerasan pada hari-hari pertama setelah
Perang Dunia II. Serombongan orang Vietnam tiba-tiba mengamuk
dan menduduki Balai Kota. Mereka mendirikan "pemerintahan
revolusioner". Dalam waktu sebulan pasukan kolonial membabat
mereka. Tetapi para perusuh tetap merupakan ancaman. Mereka
bersembunyi di rawa dan hutan bakau sekitar Saigon, dan dari
situ melancarkan teror kota terhadap penguasa Prancis.
Merasa tak berdaya mengatasi pembunuhan dan pengeboman yang
dilancarkan para pengacau, tentara Prancis merekrut para bajak
Sungai Binh Xuyen yang terkenal ganas. Mereka ini para anggota
Mafia Cina-Vietnam dari Cholon, dan ke tangan merekalah kini
keamanan Kota Saigon dipercayakan.
Dan untuk membayar para tukang pukul itu Mafia Binh Xuyen
mengembangkan rupa-rupa usaha haram. Mulai perdagangan candu,
pelacuran, perjudian, sampai "jasa keamanan." Pada 1952,
misalnya, rumah bordil Binh Xuyen yang diberi nama 'Balai Kaca'
dibuka dengan upacara resmi. Pengguntingan pita dilakukan tak
lain oleh menteri kesejahteraan sosial koloni itu. Bordil ini
menyediakan 1.200 perempuan pilihan dan ketika Prancis
meninggalkan Saigon, 1954, Mafia Binh Xuyen mengontrol hampir
seluruh ekonomi kota itu. Dan, jangan heran, "wakil komandan"
merekalah yang menjabat kepala polisi Saigon masa itu.
Kemudian datanglah orang Amerika menggantikan Prancis. Mereka
mendudukkan Ngo Dinh Diem di istana kepresidenan, dan menjotos
anggota Binh Xuyen setelah melalui pertempuran keras di
jalan-jalan Cholon. Para mafioso itu kemudian surut ke
persembunyian di daerah-daerah rawa.
Presiden Diem, penganut Katolik yang taat itu, segera menutup
hampir semua perdagangan barang terlarang. Tetapi pada 1963,
Diem mengalah pada klik militer yang korup. Dan dua tahun
kemudian pasukan Amerika mendarat di Saigon. Kota ini pun
kembali menjadi sarang kekerasan dan kekotoran.
Untuk melindungi dirinya dari roket dan granat Vietkong, Saigon
mulai mengenal pagar kawat berduri dan karung-karung pasir
antipeluru. Pengeboman yang dilakukan pasukan Amerika di
pedalaman menimbulkan banjir pengungsi ke Ibukota. Dari dua
juta, jumlah penduduk Saigon meningkat dengan pesat menjadi
empat juta.
Dengan ledakan populasi itu distribusi air, kebersihan, dan
perawatan kesehatan masyarakat segera ambruk. Dollar beredar di
mana-mana. Setiap orang terlibat dalam "bisnis perang". Untuk
menyerap dollar dan mencegat inflasi, USAID memberi subsidi
untuk program impor sepeda motor Jepang dengan harga murah dan
dalam jumlah besar, dan Saigon segera penuh dengan deru dan
asap. Pohon-pohon peneduh tak lagi mampu menapis udara kotor,
bahkan ditebang untuk memperlebar jalan bagi sepeda motor Jepang
yang terus menyerbu masuk. Heroin diperdagangkan secara bebas.
Sekitar 1974, Saigon memiliki 130 ribu pelacur, dan 150 ribu
pecandu heroin.
Saigon di masa perang bagai kota dalam dongengan. Di
jalan-jalan, brandalan kota meneguk wiski seraya bercanda dan
berusaha mengibuli para GI. Di bar lantai puncak Hotel
Caravelle, para kolonel Amerika menikmati tamasya kembang api
pertempuran yang berkecamuk di tepi Kota. Gangster Corsica dan
agen CIA memperdagangkan informasi di beranda Hotel Continental
yang tua dan megah. Untuk para penghuni Jalan Tu Do, perang itu
sungguh menyenangkan.
Ketika Saigon mendapat nama Kota Ho Chi Minh, Jalan Tu Do
berubah menjadi Jalan Dong Khoi (Kebangkitan). Tetapi di luar
nama itu, sesungguhnya tidak banyak yang bangkit. Berbeda dengan
para pejalan kaki Hanoi yang berpakaian sembarangan, penduduk
Saigon tetap chic, kendati di bawah sosialisme. Para wanita
memakai makeup, dan mengenakan ao dai yang memikat. Para pria,
bahkan yang komunis, menunjukkan selera tinggi dalam busana.
Dulu banyak bar. Sekarang berganti dengan toko antik yang
menjuali keramik Ching, kotak lacquer, dan perabotan kayu mawar.
Sebuah toko menjual alat makan kenegaraan dari zaman kerajaan
dengan harga Rp 130 ribu untuk setiap piring. Di toko lain bisa
dibeli tongkat komando seorang brigadir jenderal, yang terbuat
dari gading, dengan harga Rp 44 ribu. Memang beginilah
keadaannya: para borjuis Saigon sedang menjual barang-barangnya
untuk mempertahankan hidup. Dan para ahli Sovietlah yang menjadi
pembeli yang bersemangat. Dalam pesawat Aeroflot yang terbang
meninggalkan Vietnam, bisa disaksikan aneka pecah-belah dan
memorabilia Vietnam yang sedang menuju negerinya yang baru.
Para wanita bar Saigon, yang dulu sangat terkenal, kini sedang
meringkuk di kamp-kamp "reedukasi". Beberapa ada yang lolos, dan
tetap menjalankan profesi di balik bayangan malam. Di antara
mereka terdapat blasteran Vietnam-Negro Amerika.
Pembatasan bahan bakar dengan sendirinya mengurangi kegiatan
kendaraan bermotor. Pepohonan muda ditanam di sepanjang jalan,
membuat udara sedikit lebih segar ketimbang di zaman perang.
Masih ada tiga bar yang diizinkan membuka usaha, lengkap dengan
pramurianya. Ada pula beberapa kedai Keling yang menjual kartu
pos, padahal sesungguhnya memperdagangkan valuta asing. Di kedai
seperti ini, enam karton rokok mentol Salem bisa berharga D
1.900 -- alias setahun gaji seorang kader komunis senior.
Menyelusuri kehidupan malam Saigon sekarang ini bagai berkelana
di antara pelbagai cerita duka. Pengusaha bar umumnya mengeluh.
Setelah perang, untuk mereka keadaan sungguh tidak
menguntungkan.
Di sebuah bar, seorang wanita bernama Mai melayani para
langganan yang datang minum. Mai sungguh jelita. Bahasa
Inggrisnya sempurna. Sepuluh tahun lalu ia sekretaris USAID dan
menikah dengan seorang Amerika yang agak tua. Ia beroleh seorang
anak lelaki.
Setelah Saigon jatuh ke tangan komunis, sang suami pulang ke
Amerika, meninggalkan Mai dan anak tersayang. Anak peranakan
bukanlah barang terpuji di Vietnam-komunis, dan Mai mulai
berhadapan dengan tumpukan kesulitan. Ia kemudian merencanakan
lari bersama pengungsi Vietnam yang lain. Ia menjual rumah dan
hartanya, dan menyogok ke sana ke mari untuk mempersiapkan
pelarian.
Sadar akan kecantikannya, dua bulan sebelum berangkat Mai mulai
menelan pil antihamil secara teratur. Soalnya, bila perahu
mereka kepergok para pembajak Siam, dapat dipastikan Mai bakal
diperkosa. Ia tidak sudi mengandung anak dari hasil perkosaan
itu.
Pada malam yang direncanakan, rombongan Mai berangkat ke laut
lepas. Mereka menggunakan sebuah kapal ikan, dan perlahan-lahan
menuju Teluk Siam seraya tak henti-hentinya berdoa agar tidak
disatroni para pembajak. Menjelang fajar, di cakrawala tampak
bayangan sebuah kapal yang melaju ke arah mereka. Syukur bukan
kapal bajak melainkan . . . kapal patroli Soviet yang bertugas
menghadang para pengungsi. Sehari kemudian rombongan Mai sudah
mendarat kembali di Kota Ho Chi Minh, dalam status tahanan.
Tidak punya duit, tidak punya rumah, Mai terpaksa bekerja di bar
untuk membiayai pendidikan anaknya di sebuah sekolah Katolik.
Di Hotel Rex, ada pula wanita bernama Kim, yang bisa dipesan
untuk menemani dansa. Setiap malam Minggu, dari pukul 8 sampai
pukul 11, Komite Rakyat Kota Ho Chi Minh menyelenggarakan "Dansa
dengan Orkes". Selusin wanita dipilih untuk acara ini, guna
menemani para diplomat dan teknisi asing yang kesepian.
Kim, 24 tahun, bekerja sebagai kerani di sebuah kantor
pemerintah. Gajinya D 50 sebulan, kira-kira sama dengan harga
dua bungkus rokok Salem. Ayahnya bekas guru dansa. "Tetapi sejak
revolusi tidak ada orang yang perlu belajar dansa," kata Kim.
Maka sang ayah menjadi penganggur. Ibu Kim lari ke Nice,
Prancis, ketika Kim masih berusia dua tahun. Adik lelakinya kini
luntang-lantung. "Setiap penduduk Saigon sekarang hidup dari
kiriman sanak saudara di perantauan," kata Kim. Sayang, ibunya
yang tinggal di Nice tidak pernah melayangkan bahkan sepucuk
surat.
Tetapi di antara semuanya mungkin cerita Nyonya Dai punya kesan
tersendiri. Nguyen Phuoc Dai adalah bekas wakil ketua Senat
Vietnam Selatan. Dia merupakan generasi terakhir elite Vietnam
yang berbahasa Prancis. Cucu tuan tanah besar yang pernah
memiliki 10 ribu hektar tanah paling subur di Delta Mekong ini
sekolah di Paris. Meski tidak bersetuju terhadap rezim
Amerika-Thieu, Dai bukan pendukung pemerintah yang baru.
Kini dia memimpin sebuah taman kanak-kanak dan mengusahakan
sebuah restoran Prancis di villanya yang berdekatan dengan
katedral. Karena rezim komunis tidak membutuhkan tenaga
pengacara, Nyonya Dai mempekerjakan beberapa pengacara lulusan
perguruan tinggi sebagai pelayan di restorannya. Semua anaknya
berada di luar negeri.
Di Cholon, pasar gelap berkembang tanpa kendali. Di pecinan ini
setiap orang putih sering dituduh "Rusia" oleh anak-anak yang
bermain dan berkejaran sepanjanggang. Segala macam barang bisa
ditemukan di sini, mulai radio Jepang sampai suku cadang mobil.
Di setiap sudut ada kedai minuman menjual Pepsi Cola Bangkok,
bir Jepang, rokok Inggris. Meski perdagangan beras sudah
di"sosialisme"kan, para pedagang Cina tetap mengontrol sekitar
90% hasil panen Delta Mekong. Seperti di utara, di sini pun
pemerintah tidak punya cukup uang untuk membeli hasil panen kaum
tani. Sementara itu para pedagang Cina kuat menyogok para
pengawal di sepanjang jalan dan sungai yang dilalui rombongan
beras.
Candu tetap di jual di pasar gelap. Saigon memang memiliki
Lembaga Pemuda Baru, sebuah pusat rehabilitasi pecandu narkotika
yang mengambil tempat di sebuah bekas bangunan Katolik.
Didirikan pada 1975, klinik lembaga ini memiliki 1.200 tempat
tidur, untuk menampung pecandu heroin Saigonl yang berjumlah 150
ribu. Sekitar 90% pasien yang dirawat di klinik ini pernah
menjadi langganan heroin, 10% tidak punya sanak saudara, dan 27%
menderita penyakit kelamin.
Menurut Pham nguyen Binh direktur klinik, program mereka terdiri
dari tiga tahap. Pertama menggunakan pengobatan Asia seperti
tusuk jarum, untuk menangani para pecandu. Kedua memulihkan
kesehatan fisik dengan latihanlatihan, misalnya, latihan bela
diri. Dan ketiga, pendidikan yang "menghubungkan imperialisme
dengan heroin".
"Kalau problem fisik sudah teratasi, harus ditingkatkan pada
indoktrinasi ideologis," kata Binh. Bagaimana? "Kecanduan heroin
adalah hasil kebudayaan neokolonialisme," tuturnya. "Maka kami
harus mendidik para pemuda itu dengan kebudayaan sosialis."
Heroin memang sudah menghilang dari pelosok-pelosok Saigon. Tapi
sebagai gantinya, muncul candu yang sudah diproses,
diselundupkan dari Muangthai. Setiap orang yang mengenal
Segitiga Emas perdagangan narkotik, patut menyangsikan sukses
yang bisa dicapai program "kebudayaan sosialis" yang berambisi
menghapuskan narkotik dari Saigon.
Apalagi kalau berbicaradengan para pengendara helicak, pelacur,
atau pedagang pasar gelap Saigon. Menurut keterangan kelompok
ini, candu yang sudah diproses itu diproduksi tak lain di Laos
yang sosialis, kemudian diselundupkan ke Saigon -- melalui
polisi, duane, dan pejabat militer Vietnam yang mudah disuap.
Heroin memang lenyap, tapi candu muncul sebagai gantinya. Dan
para pecandu pun patah tumbuh hilang berganti. Jumlah mereka
terus bertambah dari kompleks-kompleks gelap kota ini.
Para pejabat Saigon sendiri suka berterus terang mengenai
problem yang mereka hadapi. Misalnya, seperti diceritakan Le
Quang Chanh, Deputi Walikota Saigon, dahulu deputi menteri luar
negeri Pemerintahan Revolusioner Darurat. Berperawakan jangkung,
dengan rambut mengkilap dan kaca mata hitam, tokoh ini bagai
politikus metropolitan. Kantornya terletak di bekas Hotel de
Ville yang bergaya neo-Gothic. Suasana kantor itu berbeda dengan
kantor-kantor di Hanoi. AC-nya jalan, perabotannya mengkilap,
dan tiap sebentar asistennya yang berbusana ao dai keluar masuk
mengantarkan makanan kecil.
"Sejak semula Saigon merupakan tantangan besar," katanya, seraya
mengunyah kue. Hampir semua industri ringan berpindah tangan
dalam keadaan utuh, dan kini dikendalikan pemerintah. Dengan
berangkatnya pasukan Amerika, banyak orang kehilangan pekerjaan.
Pemerintah tidak mampu menampung tenaga yang mendadak menganggur
itu. Maka pemerintah mengimbau warga kota untuk secara suka rela
pulang ke desa. Dengan jalan ini, jumlah penduduk yang empat
juta diharapkan bisa ditekan sampai 2,5 juta. Tetapi harapan itu
tidak pernah terlaksana.
Pengurangan pemakaian energi rnenyebabkan pabrik-pabrik di
Saigon hanya bekerja tiga hari seminggu. Angka kelahiran masih
100 ribu setiap tahun. Dengan sekitar satu juta pelajar, sistem
pendidikan kota ini masih berantakan. Pengangguran memang
berhasil ditekan, dari 800 ribu pada 1975, alias 30% dari jumlah
angkatan kerja. Tetapi, kini, jumlah pengangguran masih meliputi
200 ribu.
Dengan pelbagai problem ini, "kami harus bisa menenggang pasar
gelap," ujar Chanh. "Kami sendiri menyaksikan kaki lima Cholon
yang penuh barang selundupan dari Kamboja. Tapi mau apa?" Di
sana-sini pemerintah Saigon bahkan menitipkan pesan kepada para
polisi untuk turut mengamankan perdagangan gelap itu.
Chanh mudab diajak bicara. Ia menguasai problem kotanya dengan
baik: perumahan, transportasi, polusi, atau produksi pertanian.
Bahkan ia sudi bicara mengenai hal yang paling peka, yaitu
kebijaksanaan pemerintah Saigon terhadap Cina Cholon. Pada 1978,
menurut sebuah sumber, dinas inteli jen Vietnam menemukan
strategi Cina untuk "memotong Vietnam dari Selatan". Cina
mensponsori invasi Pol Pot dari Kamboja di barat, dan berusaha
membangkitkan pemberontakan simultan oleh sel-sel komunis di
chinatown Cholon. Apakah Le Quang Chanh mengetahui cerita ini?.
"Kami memang pernah mendengar, Cina berusaha menggunakan sel-sel
komunis di Cholon untuk membangkitkan semacam pemberontakan umum
setengah juta hoakiau di sini," kata Chanh. "Meski kami toleran
terhadap pedagang swasta, kami harus secepatnya mematahkan
pengawasan saudagar-saudagar besar Cina terhadap seluruh hasil
panen delta ini."
"Intelijen kami bekerja baik," kata Chanh, tentunya. Untuk masa
depan, "kami akan memukul sebelum mereka mulai beraksi."
Agaknya, problem Saigon yang lebih kongkret bisa dilihat di
Institut Perencanaan Kota, yang bermarkas di bekas kantor USAID.
Direktur lembaga ini, Le Van Nam, senantiasa siap melayani tamu
resmi yang berusaha mencari keterangan.
Saigon yang direbut pemerintah Demokratis Vietnam pada 1975,
menurut Nam, adalah "mimpi jelek setiap perencana". Baik
kolonialis Prancis maupun Amerika tidak pernah mengintegrasikan
transpor logistik kota ini dengan daerah basis permukiman. Rel
kereta api melintas tanpa aturan. Pelabuhan Saigon yang setiap
tahun mampu menampung enam juta ton muatan tidak didukung oleh
jalan penunjang yang layak. Pintu keluar menuju daerah pinggiran
tersumbat oleh beberapa jembatan kecil.
Kemudian datanglah perang, yang membuat segala-galanya bertambah
kalang-kabut. Banjir pengungsi meningkatkan kepadatan penduduk
tanpa kendali. Di daerah tertentu, kepadatan mencapai 1.600
orang per hektar. Prancis hanya membangun satu riol utama. Dan
ketikaarus pengungsi menyerbu Saigon pada 1960-an, tidak ada
sistem riol baru yang mampu diterapkan. Sampah dan kotoran kota
segera menggunung di mana-mana.
Polusi meningkat, karena pabrik-pabrik sudah campur aduk dengan
kawasan permukiman. Campuran kotoran dan sampah manusia dengan
limbah pabrik boleh dikatakan meracuni semua pembuangan air kota
ini. Sistem distribusi air yang ditinggalkan Prancis hanya
melayani kuartir kolonial di pusat kota. Selebihnya penduduk
menggantungkan diri pada sistem sumur, yang pada saatnya sudah
ikut dicemari limbah rumah tangga dan pabrik. "Saigon"
demikian Nam "sudah tidak bisa menenggang penambahan penduduk
sama sekali."
Satu-satunya jalan untuk menyelamatkan kota ini ialah
memindahkan penduduk ke kota satelit. Dalam tahun 2000, konon,
Saigon diperkirakan menjadi pusat metropolitan dengan lima juta
penduduk, dikelilingi dua lapis kota satelit. Di lapis pertama
terletak Bien Hoa yang industrialis dengan sekitar satu juta
penduduk, dan petrokimia Vungtau dengan jumlah penduduk yang
lebih kecil.
Di lapis kedua terdapat lima pusat provinsial dengan penduduk
sekitar satu juta. Dengan cara ini diharapkan para perencana
Saigon bisa memecahkan kesulitan perumahan. Sementara itu,
pemerintah tidak bermaksud menyita rumah pribadi. Misalnya,
villa milik orang-orang kaya.
Dalam keadaan seperti sekarang, Saigon tetap menarik pendatang
dari pedalaman. Usaha pemerintah membatasi dan mencegah mereka
sia-sia belaka. Satu-satunya jalan mengatasi urbanisasi ialah
peningkatan taraf hidup di pedesaan.
* * * *
Dan inilah reruntuhan peninggalan kekuasaan Pol Pot: Phnom Penh,
Kamboja. Turun dari pesawat terbang jet Ilyushin dengan
airconditioning "sedingin Siberia", Alfred W. McCoy dijemput
Phet Phanur, rektor Universitas Phnom Penh. Tokoh ini datang
dengan bunga serangkai dan senyum terkembang.
Lima menit setelah basa-basi, Phet Phanur segera berkeluh-kesah.
"Di bawah pemerintahan Pol Pot," katanya dengan suara bergetar,
"hidup sungguh menakutkan. Mereka membunuh istri saya dan
membiarkan anak-anak saya hidup tanpa ibu." Dalam tiga hari
berikutnya, Phet Phanur mengulangi cerita itu tidak kurang dari
tujuh kali.
Syahdan, setelah anak buah Pol Pot menaklukkan Phnom Penh, 1975
Phanur yang sedang berada di Paris untuk menyelesaikan program
doktornya dipanggil pulang untuk "menempati sebuah pos penting".
Tapi begitu menjejakkan kaki di Phnom Penh, Phanur langsung
ditahan, kemudian bersama anak-istrinya dipindahkan ke sebuah
dusun terpencil, kira-kira seminggu perjalanan di utara Ibukota.
Selama tiga tahun berikutnya, 300 dari 900 tahanan yang disekap
di kampung itu meninggal lantaran penyakit, kurang makan, atau
dihukum mati. Anak-anak dipisahkan dari orangtua mereka, dan
semua makanan dimasak di dapur komunal. Menyimpan makanan
pribadi dinilai sebagai tindakan kejahatan. Phanur terpaksa
menambah rangsum makannya dengan pelbagai serangga yang
ditangkapnya di sawah.
Tahanan diwajibkan bekerja 14 jam sehari. Kalau tidak di
lapangan, menggali kanal irigasi raksasa. Disain kanal itu
dibuat oleh kader setempat yang berumur belasan tahun.
Suatu hari istri Phet Phanur jatuh sakit. "Kami tidak akan
menyia-nyiakan obat untuk dia," ujar seorang kader Pol Pot. "Toh
dia sudah tak bisa bekerja." Lalu, seperti dalam mimpi buruk,
seorang prajurit berusia 16 tahun membunuh wanita itu -- di
depan Phanur dan anak-anaknya. "Saya sudah sering membaca
tentang kekuasaan absolut," ujar Phanur. "Tetapi pengalaman
langsung ternyata jauh lebih pahit." Hampir semua penduduk Phnom
Penh punya riwayat seperti Phanur, dengan sedikit variasi di
sana-sini.
Sebelum perang melanda Kamboja pada 1970, kota ini masih
memiliki pesona dan keindahan Timur. Setelah mengusir para
penyerbu Siam yang menjarah Angkor pada pertengahan abad XV,
raja-raja Khmer membangun istana yang baru di tepi selatan
Sungai Mekong. Kendati Prancis memerintah kerajaan ini hampir
seabad, setelah Raja Norodom menerima 'proteksi' pada 1863,
Phnom Penh -- berbeda dengan Hanoi dan Saigon -- tak pernah
menjadi kota kolonial yang sesungguhnya.
Para insinyur Prancis memang sempat membangun bulevard yang
lebar dan trotoar yang teduh, namun corak kota ini tetap
ditentukan oleh istana Raja, dengan menara-menaranya yang
keemasan.
Setelah Prancis mundur, 1953, Pangeran Sihanouk berusaha
menandingi pengaruh arsitektur Prancis dengan mendirikan
bangunan-bangunan moern bergaya Angkor. Sementara kota-kota
besar Asia Tenggara umumnya makin cenderung mem-Barat, Phnom
Penh bertahan dengan corak tradisional.
Pada 1970 Sihanouk digulingkan melalui sebuah kudeta militer.
Perang pun berkecamuk di pedalaman. Pengungsi membanjir masuk
kota, membuat jumlah penduduk melonjak dari 550 ribu menjadi
lebih dari dua juta.
Dan setelah gerilyawan menguasai kota itu pada 1975, Pol Pot
yang 'revolusioner' memasuki istana musim panas Sihanouk serta
menyapu penduduk kota. Isi Phnom Penh tinggal 20 ribu orang --
sebagian besar para kader dan pasukan penembak Pol Pot. Selama
empat tahun, sampai Vietnam melakukan invasi pada 1979, mereka
inilah yang merajalela di ibu kota Khmer itu.
Tapi berkendaraan dari lapangan terbang ke pusat kota, orang
bisa melihat sisa-sisa perang pada bangunan dan jalan yang
ternyata tidak begitu parah. Puing gedung Bank Sentral memang
masih belum dibersihkan. Anak buah Pol Pot rupanya lebih getol
menghancurkan gedung-gedung bergaya Barat. Mereka membenci
listrik, merusakkan lampu jalan, lampu lalu lintas, dan
lampu-lamu hias. Bahkan listrik di universitas, yang diperlukan
untuk belajar, dibikin binasa.
Mobil ditempatkan sebagai "musuh rakyat". Jalan-jalan kecil
penuh bangkai Volkswagen dan Toyota, dengan bekas tembakan dan
api. Pendidikan dihapuskan. Guru, mulai tingkat SD sampai
perguruan tinggi, dibasmi. Di bekas fakultas kedokteran, ruang
kuliah dan semua perkakas laboratorium dibikin remuk. Fakultas
Teknik berubah menjadi kamp pengasingan. Perguruan Tinggi Seni
Rupa diruntuhkan oleh kesatuan khusus yang tugasnya memang
menjebol.
Seraya vandalisme berlangsung dengan sistematis sepanjang
bulevard Phnom Penh, kompleks istana tua untungnya tidak ikut
binasa. Kuil Kerajaan dengan sendirinya muncul sebagai rumah
perbendaharaan pelbagai kekayaan bangsa. Lantainya bertepi perak
dalam jumlah lima ton. Dan dindingnya bertatahkan perak, emas,
dan zamrud. Tak satu pun tersentuh oleh perang dan revolusi.
Anjungan dan kamar-kamarnya dihiasi dengan lambang-lambang Budha
purba.
Melihat pemandangan kontras ini, patut disangsikan itikad Pol
Pot mendirikan negara komunis. Menyimak sepak terjangnya,
terutama yang membekas di Kota Phnom Penh, orang ini tampaknya
malah tidak mau melangkah ke masa depan sosialisme dengan
teknologi modern, melainkan mundur ke masa lampau kerajaan. Ia
seperti menghidupkan kembali Angkor Purba, bukan mencoba
menegakkan sosialisme.
Selama tujuh abad, raja-raja Angkor menikmati kekuasaan yang
hampir absolut, mengerahkan kaum tani membangun jaringan
irigasi, dan mendirikan istana-istana monumental di Angkor Wat
dan Angkor Thom. Mereka bertindak bagai raja-dewata yang
memerintah segala-galanya, dan menuntut pengorbanan rakyat untuk
membangun monumen-monumen mereka. Orang-orang yang tidak
disenangi bisa langsung dibunuh. Tanah, rakyat, dan hasil panen,
sepenuhnya milik penguasa.
Pol Pot juga meninggalkan negeri ini dengan jaringan kanal yang
semrawut. Kenangan paling buruk dari penduduk Phnom Penh yang
selamat bukanlah tentang kerja keras di tanah pertanian,
melainkan bagaimana mereka berjuang sehari suntuk menggali parit
raksasa -- dengan sekop dan keranjang. Di sebelah barat Phnom
Penh, masih bisa disaksikan tiga kanal dengan lebar 100 meter
dan dalam sekitar 10 meter. Dibanding kanal-kanakAngkor, kanal
peninggalan Pol Pot ini jauh tidak bermutu. Ia tidak bisa
mengalirkan air. Pol Pot sudah membunuh para insinyur. Kanal ini
dibuat oleh kader-kader yang tidak pernah makan sekolah.
Untuk membangun kanal-kanal ini, Pol Pot membutuhkan bahan
konstruksi. Tetapi dia tidak punya pabrik, tidak pula mengimpor
apa-apa. Karena itu, untuk pengadaan bahan konstruksinya ia
meruntuhkan gedung-gedung dan mengambil bahan-bahannya yang bisa
dimanfaatkan. Kadang-kadang, untuk mengambil beberapa batang
besi Pol Pot memerintahkan meruntuhkan sebuah bangunan. Yang
penting kanal harus jadi. Di sebuah desa, dengan kanal yang
sangat lebar dan dalam, McCoy bertanya kepada seorang pemuda
mengapa Pol Pot membangun kanal demikian banyak. "Untuk
menunjukkan kepada kami bahwa ia penguasa bumi" ujar petani itu.
Seperti halnya raja-raja Angkor, Pol Pot selalu mencurigai
persekongkolan, dan menuntut loyalitas mutlak dari para bawahan.
Monumen kecurigaannya bisa dilihat dalam bentuk penjara Tuol
Sleng. Tidak kurang dari 20 ribu orang terbunuh di sini.
Menempati lokasi perguruan tinggi teknik di Phom Penh, Tuol
Sleng adalah penjara untuk para pejabat, kader komunis, serta
siapa saja yang dicurigai punya niat berkhianat. Di penjara ini
juga diterungku dua awak kapal layar Australia yang tertangkap
di lepas pantai Kamboja pada 1977.
Semua yang dijebloskan ke sini harus dipotret, diinterogasi,
disiksa, kemudian digiring ke kuburan massal, di luar kota. Dan
setelah Pol Pot terusir, bau busuk konon menuntun orang ke
kuburan massal ini. Akhirnya ditemukan tidak kurang dari 129
lubang pembantaian, yang hingga kini dibiarkan terbuka dengan
tengkorak menumpuk di sisinya -- sebagai isyarat akan kekejaman
yang ditinggalkan Pol Pot. Setidak-tidaknya kesan itulah yang
ingin ditanamkan penguasa baru.
Semua "pengakuan" penghuni penjara ini direkam. Mereka yang
tewas di tengah interogasi, dipotret untuk kedua kali. Dalam
waktu empat tahun 1.800 orang petugas penjara ini telah membunuh
20.000 orang tahanan. Kalau dibuatkan statistik, tiap petugas
rata-rata membunuh dua tahanan setahun.
Pada malam hari hanya tahanan istimewa boleh beistirahat di
kamar tersendiri. Sebagian terbesar tidur bersesakan, rata-rata
100 orang dalam satu sel, dengan kaki dirantai bagai penghuni
penjara abad pertengahan. Di salah satu sel masih bisa dibaca
tulisan tembok Hu Nim, bekas menteri penerangan Pol Pot. Orang
ini akhirnya juga ditembak mati.
Di penjara ini pula bisa disaksikan "kejeniusan Pol Pot". Di
dinding beberapa kamar dipajang foto 3.000 korban dan sekitar
500 pengawal, konon dipasang pihak Pol Pot sendiri. Foto para
korban memperlihatkan bekas penyiksaan luar biasa, tetapi yang
lebih mengejutkan ialah tingginya jumlah korban di bawah umur.
Foto para pengawal tidak kurang menariknya. Sebagian besar
mereka berusia 14 sampai 17 tahun. Didepan kamera, mereka
rupanya berusaha menampilkan kesan menakutkan: menyeringai
secara dibuat-buat, dan tampak menikmati kebanggaan dari tugas
mereka. Pol Pot telah berhasil membangkitkan kebiadaban
anak-anak muda ini untuk melayani revolusinya.
Betapa pun, kawanan anak muda seperti itulah yang merayah
kota-kota Kamboja dalam hari-hari gelap kekuasaan tokoh itu. Di
komune-komune terpencil, semua pengawal berusia di bawah 18
tahun, dan tidak berasal dari desa tersebut. Ketika tentara
Vietnam menyerbu Kamboja, Januari 1979, semua pengawal penjara
Tuol Sleng melarikan diri bersama Pol Pot ke Muangthai. Bersama
mereka ikut juga para pengawal kamp maut di erbagai desa dan
provinsi. Tanpa senjata, orang-orang ini tidak akan pernah
berani pulang ke Kamboja. Kini Pol Pot kabarnya membawahkan
sekitar 20.000 gerilyawan muda yang sangat loyal.
Seperti halnya para raja Angkor, Pol Pot menuntut tidak hanya
loyalitas, melainkan pemujaan. Dalam lagu kebangsaannya
disebutkan, Kambojanya Pol Pot "akan dibangun lebih megah
daripada Angkor." Untuk mewujudkan niat itu Pol Pot memang
tampak bersungguh-sungguh. Ia membunuh siapa saja yang
dicurigai, terutama orang yang berpendidikan. Kehidupan keluarga
dibuat berantakan. Suasana pedesaan diporak-porandakan. Penjara
dan kamp maut tumbuh subur. Dan para gerilyawan remaja muncul
sebagai penyiksa dan pembunuh yang buas.
Tetapi sepeninggal Pol Pot, Kota Phnom Penh ternyata tidak
membutuhkan waktu terlalu lama untuk kembali bernapas seperti
sediakala. Dalam waktu dua tahun jumlah penduduk kembali
meningkat menjadi 500 ribu, sama seperti sebelum huru-hara.
Didukung oleh pelbagai bantuan internasional, sekolah-sekolah
dibuka kembali. Begitu pula rumah-rumah sakit. Prasarana basis
kota seperti air, listrik, dan tenaga, diusahakan pulih.
Barang-barang kebutuhan juga mulai bermunculan di pasar.
Suasana bertambah meriah dengan fungsi Kamboja sebagai jembatan
penyelundupan antara Muangthai dan Saigon. Pusat Pasar Phnom
Penh segera riuh sejak pagi sampai petang, dengan penjaja dan
pemilik toko yang memakai busana rapi dari tekstil Siam. Di
jalan-jalan raya, lalu lintas disibukkan oleh sepeda Muangthai
dan sepeda motor Jepang. Jauh lebih berwarna ketimbang
jalan-jalan raya Hanoi yang dikuasai sepeda.
Tetapi ancaman belum sepenuhnya selesai. Daerah pedesaan yang
hancur menyebabkan kota ini sangat tergantung pada bantuan
pangan asing. Sementara krisis mulai surut, dan
kekuatan-kekuatan besar politik turun tangan, hari depan bantuan
asing itu masih sulit dipastikan.
"Tetapi, apa pun yang terjadi, kota ini pasti mampu bertahan,"
kata Alfred W. McCoy. Ia telah memiliki syarat-syarat yang
paling penting: bandar udara, pabrik, bangunan-bangunan
permanen, jaringan telepon, listrik, dan angkutan kereta api.
Kebangkitannya yang cepat setelah empat tahun kekuasaan Pol Pot
membuktikan daya tahannya.
"Sangat sulit menggeser fungsi kota-kota yang dibangun para
kolonialis," kata Alfred W. McCoy dalam tulisannya. Bahkan Pol
Pot tak mampu bergeser dari Phnom Penh. Semua sarana
transportasi darat dan air sudah telanjur bermuara ke kota-kota
itu. Gedung-gedung dan jalan rayanya bagaikan tanda pengenai
yang hampir abadi, mengaitkan kenangan dan kerinduan setiap
warga dan pengunjung.
Karena itu pula, McCoy yakin, "Hanoi, Saigon, dan Phnom Penh
akan bertahan sepanjang abad." Bahkan ketiga kota ini akan
memegang peranan penting dalam menentukan hari depan Indocina
yang masih saja sulit ditebak. Zaman dan penguasa berganti.
Namun kota-kota besar Indocina itu tegak membisu bagai saksi
sejarah, penuh riwayat, diam, dan tabah
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini