Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Kota-kota yang tabah, yang...

6 Agustus 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEJAK Marco Polo maupun Ibn Battutah berangkat dari kampung halaman masing-masing -- di Venesia dan Maroko -- untuk perjalanan menuju Timur Jauh, di waktu yang hampir bersamaan di abad XIV, pesona kota-kota besar Asia menggoda para penghuni dunia sebelah barat. Berlayar ke timur menyeberangi Samudra India, dan ke barat melintasi Pasifik, para petualang Iberia di abad XVI kemudian menaklukkan Manila dan Malaka, dalam usaha mencari sutra dan rempah-rempah Timur. Inggris dan Belanda kemudian mengikuti jejak itu. Maka berdirilah bandar-bandar niaga Eropa di Bombay, Calcutta, dan Batavia. Ditengok dari ibu kota pedalaman seperti Delhi, Beijing, dan Yogyakarta, bandar-bandar itu mulanya tampak kecil, tak berdaya, bergayut di tepi wilayah kerajaan yang luas. Tapi tatkala perdagangan Eropa lewat samudera menjadi kebutuhan bagi kerajaan-kerajaan teritorial abad XIX, pelabuhan-pelabuhan kecil tadi berkembang cepat menjadi kota-kota besar Asia. Pada pergantian abad, Calcutta-Inggris sudah mengalahkan Delhi-Mughal, Shanghai yang imperialis sudah meninggalkan Beijing-Manchu, dan Saigon meredupkan pamor Hue kebanggaan Dinasti Nguyen. Kota-kota besar Asia akhirnya menjadi ahli waris wajah kolonialisme Eropa. Dan pada akhir 1940-an koloni-koloni Barat di Asia satu demi satu mencapai kemerdekaannya. Para ahli di Barat segera diancam kekhawatiran akan nasib kota-kota kolonial yang tua itu. Mungkinkah gerangan negara-negara Asia yang baru merdeka menghancurkan kota-kota tersebut, karena menganggapnya lambang dominasi Barat? Atau barangkali kota-kota itu sendiri mengubah diri, melayani kebutuhan tuannya yang baru? Dan, andai kota-kota itu bertahan, mampukah negara-negara Asia yang muda mengu rus dan membiayai permukiman yang menuntut banyak ongkos itu ? Untuk kota-kotatua Indocina peninggalan Prancis, transisi dari kolonialisme ke sosialisme jauh lebih pelik ketimbang sekadar mengganti nama Saigon menjadi Kota Ho Chi Minh. Di Hanoi, para birokrat komunis memasuki kantor-kantor bekas penjajah mereka. Kehidupan pun berjalan terus, penuh disiplin dan hambar. Saigon punya riwayat lain. Dihumbalangkan perang berlarut-larut, penuh GI selama bertahun-tahun, kota yang paling dipengaruhi Amerika itu tiba-tiba memasuki "zaman sosialisme". Lain pula halnya dengan Phnom Penh. Di bawah kekuasaan Pol Pot, kota ini menjadi pusat penolakan terhadap "Barat". Hampir seluruh penduduknya di kirim ke pedalaman . Sedang para remajanya diperintahkan menghancurkan setiap pertanda urbanitas Barat: mata uang, listrik, mobil, bahkan sekolah. Syahdan Alfred W. McCoy, doktor Sejarah Asia Tenggara lulusan Universitas Yale, yang kini mengajar di Universitas New South Wales, Sidney, meninjau ketiga kota itu tahun lalu, dan menuliskan pengalamannya di majalah Journey di Australia. Tidak sembarang orang boleh berkunjung ke tiga kota itu, dan orang bisa pula merasakan bentuk hubungan sejarawan ini dengan kalangan mereka lewat oleh-olehnya yang kami susun kembali berikut ini. Mula-mula Hanoi. Ibu kota Vietnam ini bagai museum teknologi urban abad XIX. Kereta api uap, trem, sepeda, kipas angin yang bergayut di langi-langit bangunan, dan gedung-gedung rendah, hadir di mana-mana. Berbeda dengan pencakar langit berdinding kaca yang bisa dilihat di Sidney, atau Singapura, jalan raya Hanoi dihiasi gedung tiga tingkat, yang acap kali lebih rendah ketimbang pohon peneduh jalan yang ditanam orang-orang Prancis pada 1890-an. Kota ini terletak di bagian Vietnam yang berpenduduk padat, di delta Sungai Merah, sekitar 100 km dari Teluk Tonkin. Ketika pasukan Prancis di bawah Kapten Henri Riviere menaklukkan bentengnya, 1882, Hanoi hanyalah sebuah kota regional yang kecil, hampir tidak berarti. Pada 1898, Hanoi menjadi ibu kota Indocina-Prancis. Para insinyur kolonial segera membenahinya, membangun bulevard yang lapang dan licin, serta menciptakan taman di sekeliling tasiknya yang permai. Beberapa generasi arsitek kolonial lantas mengembangkan kota ini dalam gaya Prancis, lengkap dengan kantor-kantor pemerintahan. Jalan-jalan raya dipagari tembok, seperti bersambung dengan atap perumahan berwarna hijau teduh. Bahkan pada hari yang paling gerah di bulan Agustus, pemandangan ke atap-atap rumah menimbulkan suasana sejuk. Di persimpangan-persimpangan terdapat rumah jaga polisi, dari beton bercat putih. Dari tempat inilah petugas keamanan Hanoi, yang menggunakan topi model kolonial berbintang merah itu, mengatur kesibukan lalu lintas sepeda pada jamjam yang hiruk. Di beberapa bagian. jalan masih terdapat perlindungan beton, tempat para penembak senapan mesin Prancis dulu bersiap menunggu serbuan pasukan komunis Vietnam. Ke utara, dekat ke sungai, ketenangan gaya Prancis itu berganti dengan arsitektur kacau balau model Cina, mengitari Pasar Dong Xuan, chinatown Hanoi. Aksara dan simbol geometri Cina tampak di mana-mana. Di sini bangunan umumnya bertingkat tiga. Lantai satu digunakan sebagai kedai, lantai dua untuk tempat tinggal, dan lantai tiga di jadi kan 'pekarangan'. Jalanan dalam kompleks ini sempit berliku-liku. Hanya tiga bangunan yang tingginya melebihi pepohonan peneduh jalan. Yang pertama Gedung Opera Hanoi, dengan gaya neo-Barok, tiruan bangunan yang sama di Paris. Gedung ini tampak menonjol di bekas wilayah bisnis zaman kejayaan penguasa Prancis itu. Masih digunakan untuk konser, dan pada sutu ketika diselenggarakan acara resital oleh para mahasiswa Konservatori Musik Hanoi. Program pertunjukan tersebut meliputi beberapa balada revolusioner, Ave Maria, dan Old Man River. Kendati tangga pualam dan lantai kayu gedung opera ini memberi suasana anggun dan teduh, kipas angin yang bergayut di langit-langit ternyata tidak bisa mengatasi keringat yang membasahi baju penonton. Di bagian kota yang berseberangan, terdapatlah bangunan "realisme sosialis" terbuat dari pualam merah jambu, tempat jenazah Ho Chi Minh yang sudah diawetkan terbaring kaku. Bangunan ini berdekatan dengan bekas istana gubernur jenderal Prancis. Mausoleum ini telah menjadi tempat keramat nasional, menyaingi tempat suci lain yang juga bergedung tinggi -- Katedral Katolik. Setiap pagi, para petani dan anak sekolah antre untuk ziarah ke mausoleum Ho Chi Minh. Mereka berbaris dengan takzim, seperti tak habis-habisnya, kemudian mendaki anak tangga yang berlapis karpet putih, dan memasuki ruangan dengan sistem pendingin yang paling sejuk di seluruh Hanoi. Dengan pemanfaatan teknik Soviet yang telah berhasil mengawetkan mayat Lenin selama lebih dari 60 tahun di bawah kaca di Lapangan Merah Moskow, jasad Ho Chi Minh terbaring mengenakan busana khakinya yang terkenal itu, berselimutkan bendera Vietnam dan Uni Soviet. Terasa aneh juga bila kita memasuki gedung ini diantar gadis pemandu wisata yang keborjuis-borjuisan, bercelana Levi's, dan mengoceh tentang "invasi Vietnam ke Kamboja". Tetapi begitu memasuki ruang jenazah, guide itu membungkam dan berlagak serius. Ia tetap bersungguh-sungguh ketika memasuki bekas tempattinggal Ho yang berkamar satu, di belakang bekas istana gubernur jenderal itu. Pemimpin Vietnam ini tampaknya memang hidup dalam gaya yang benar-benar spartan. "Di sinilah," kata pemandu wisata itu, "Paman Ho menerima para anggota kabinet dan anak-anak Vietnam." Kesan dari mausoleum dan "rumah Paman Ho" itu ternyata membekas agak dalam pada diri pemandu tadi. Sekitar tengah hari, barulah ia bisa sinis kembali. Sepeda menyelamatkan Hanoi dari polusi, seperti yang ditanggung Manila maupun Bangkok. Terletak di bawah tanggul yang menahan hempasan Sungai Merah, Hanoi dibangun di dataran rata, sehingga menjadi kota yang menyenangkan untuk para pengendara sepeda. Di kota ini sepeda menjadi raja. Kendaraan bermotor dipandang sebagai perusuh yang tidak mengenal sopan. Pada jam sibuk, jalanan tetap sunyi dengan ribuan sepeda berpencaran di seluruh bulevard. Peraturan lalu lintas dilaksanakan dengan saksama. Di sana-sini kelihatan polisi menyetop dan mencatat nama pengendara sepeda yang melanggar aturan. Polisi sendiri berpatroli dengan sepeda. Kader komunis senior mengayuh sepedanya ke kantor. Dan anak muda berpacaran di atas sepeda. Bahkan peranan taksi digantikan oleh trishaw yang dikayuh. Di sepanjang jalan mudah dijumpai bengkel sepeda, yang memberikan pelayanan mulai menambal ban sampai meluruskan batangan yang bengkok karena tabrakan. Bila di Indonesia dulu simbol status penduduk adalah sepeda Raleigh, di Hanoi sepeda Peugeot buatan Prancis. Di kota dengan sejuta penduduk dan sepeda ini, mobil betul-betul digunakan untuk urusan yang sangat penting. Kadang-kadang, keserasian panorama sepeda itu diusik oleh konvoi kecil sedan Volga berwarna hitam -- iring-iringan mobil pejabat. Revolusi Vietnam mencapai kemenangannya di atas sepeda. Tidak percaya? Pada saat gawat dalam pertempuran melawan Prancis di Dien Bien Phu, 1954, adalah brigade sepeda kaum tani yang mensuplai tentara selama berbulan-bulan di daerah barat laut yang berbukit-bukit. Beras peluru meriam, mortir, dan manusia maju ke medan perang berkendaraan sepeda. Untuk para anggota Politbiro dan kaum tani, sepeda merupakan pemenuhan janji revolusi. Nguyen Co Tach, menteri luar negeri Vietnam yang berambut perak, sekali waktu bercerita. "Sebagai bocah di kampung yang berdekatan dengan Teluk Tonkin," katanya, "ambisi saya yang paling besar ialah memiliki sepeda." Konon di dusun Co Tach, dahulu, satu-satunya sepeda adalah punya tuan tanah. Tapi ketika ia pulang kampung tahun lalu, "setiap keluarga memiliki dua atau tiga sepeda," katanya. Malah ada orang yang sudah terlalu tua untuk menunggang kendaraan itu, toh membelinya, sekadar untuk tempat bertengger seraya membaca koran, ceritanya lagi. Nguyen Co Tach bertanya kepada penduduk desa: bersediakah mereka berperang melawan Cina, bila yang terakhir ini melakukan invasi seperti pada 1979? "Berjuang?" sahut seorang penduduk "dengan rada berang", katanya. "Tentu saja kami bersedia. Kami tidak akan membiarkan orang Cina itu menghancurkan rumah kami, dan merampas sepeda kami! " Betapa pun, bersepeda memang mengandung kenikmatan tersendiri di Hanoi. Meski udara panas, pohon pelindung yang berdiri di kiri-kanan jalan memberi bayang teduh. Parkir tidak menjadi soal. Setiap hotel dan bangunan utama menyediakan tempat parkir sepeda. Begitu pula tamantaman. Ongkos parkir untuk sehari suntuk tidak lebih dari satu sen. Seperti delta yang mengelilinginya, Hanoi adalah kota yang sesak, tetapi bersih. Setiap subuh keluar brigade kebersihan yang membuat kota ini klimis. Pohon yang ambruk digasak taifun, dibersihkan dari jalanan dalam beberapa jam. Kesesakan terasa terutama di kompleks rumah susun yang dibangun pemerintah mengitari wilayah lama peninggalan Prancis. Struktur rumah susun itu sangat sederhana. Dan antrean untuk mendapatkannya sangat panjang. Tanpa perumahan di kota, para petani tidak bisa begitu saja pindah dari desa. Dan dalam membangun perumahan rakyat ini pemerintah Vietnam termasuk lambat. Padahal, meski tidak terlalu menyenangkan, ongkos perumahan di Hanoi termasuk yang paling murah di dunia. Untuk sebuah flat dengan fasilitas air dan listrik, penyewa dikenai biaya sepuluh persen dari pendapatan resminya. Jumlah itu kira-kira Rp 1.290 per bulan. Hanoi termasuk kota tanpa kelas. Anggota kabinet mengenakan pakaian yang sama dengan sopir: kemeja putih, celana hitam, dan sandal plastik. Wanita, tua dan muda, tidak mengenal make up. Rambut mereka hanya diikat dengan karet gelang. Pakaiannya nyaris seragam: blus putih, dan celana satin hitam. Tentu saja di kota seperti ini tak tampak gelandangan, pengemis, atau pelacur. Tetapi Hanoi juga bukan kota untuk bersenang-senang. Para pelancong bisa saja menginap di Hotel Thang Loi (Kemenangan), yang terletak di pantai Danau Barat -- bagian kota yang paling indah. Hotel ini dihadiahkan Kuba bagi kemenangan Vietnam merebut Saigon, 1975. Setara dengan hotel berbintang lima, Thang Loi menampung para penerbang Interflug dan Aeroflot, menyelenggarakan jamuan diplomatik, dan tempat menginap para utusan asing. Pada hari Minggu hotel mewah ini penuh dengan diplomat Eropa Timur, teknisi Prancis, insinyur Swedia, dan mahasiswa Laos. Tetapi makanan dan minumannya sama sekali tidak merangsang selera. Cara pelayanannya pun acak-acakan. Keluhan tamu hampir tidak ditanggapi. Keadaan yang sama bisa dijumpai pada sarana media dan telekomunikasi. Semua hubungan telepon internasional harus melalui Moskow. Banyak tempat di dunia yang tidak bisa dihubungi, misalnya, Manila. Di hotel-hotel ada tempat penjualan kartu pos, tapi tak selembar koran atau majalah diperdagangkan. Time, Newsweek, atau pocketbook jangan harap bisa ditemukan di seluruh Vietnam, kecuali di kompleks kedutaan negara Barat tentunya. Kolam renang di hotel-hotel tidak menimbulkan gairah. Airnya jarang diganti, lumut tampak mengambang. Di lobi hotel yang mewah dan sejuk itu kadang-kadang melintas tikus padi berwarna cokelat. Konsumerisme memang ditekan dengan segala daya upaya di kota ini. Dalam kenyataannya terdapat tiga sektor ekonomi yang memainkan peranan: negara, pasar bebas, dan pasar gelap. Sektor negara diwakili oleh Intershop, toko yang memperagakan dan menjual barang impor. Ini terletak di apartemen baru. Hanya orang asing dan pribumi yang memiliki mata uang asing boleh berbelanja di sini. Intershop menjual, antara lain, sepeda motor Honda sepeda Peugeot, termos Cina, pena Pilot, dan bir Asahi. Harganya mahal bukan buatan. Untuk penduduk, yang memiliki kupon berbelanja dan mata uang Vietnam, dong, disediakan tempat antrean di toko serba ada pemerintah, di dekat gedung opera. Toko dengan bangunan gaya Prancis ini menjual hampir segala kebutuhan pribumi, mulai sandal plastik sampai mesin jahit. Ada juga pesawat televisi buatan Gdanks, Polandia, dengan harga D 3.200. Jumlah itu sama dengan gaji tiga tahun rata-rata seorang karyawan di Vietnam. Barang buatan dalam negeri kelihatan betul jeleknya, baik dalam hal disain maupun mutu. Barang yang lebih lengkap terdapat di "pasar bebas" Dong Xuan. Tetapi peta Kota Hanoi tetap sulit dicari di toko-toko buku di pasar ini. Ada salon kecantikan, tapi peralatannya sungguh kuno. Untuk mengeriting rambut, seutas kawat yang dipanaskan dengan listrik langsung dimainkan di kepala si langganan. Tidak jauh dari salon kecantikan itu terdapat toko buku Partai Komunis. Sebagian besar bukunya dilapisi debu. Cetakannya sudah sangat ketinggalan zaman. Biasanya, pelayanan di toko ini baru diberikan setelah orang menunggu sekitar 35 menit. Di sekitar toko itu terdapat hotel tua peninggalan Prancis. Listriknya hidup mati. Minuman dingin tidak bisa diharapkan setiap saat. Di pasar gelap aturan permainan agak lain. Barang-barang di sini bisa menjadi sangat murah bila dibayar dengan mata uang asing. Mengapa? Orang Vietnam membutuhkan mata uang asing itu untuk berbelanja di Intershop, yang menjual bebas barang impor. Begitulah di Hanoi -- sementara di Saigon mata uang asing diperlukan untuk bekal mengungsi ke luar negeri. Di pasar bebas Hanoi, di sekitar pasar Dong Khene, terdapat sebuah restoran gaya Prancis yang dijuluki "Bank Swedia". Di restoran ini pertukaran mata uang asing diselenggarakan secara sembunyi-sembunyi. Sejak beberapa tahun terakhir, pemerintah Vietnam putus asa menjalankan sistem distribusi resmi. Karena itu pasar bebas digalakkan. Beberapa pembatasan diperlonggar, terutama untuk para pedagang kecil dan tukang. Koperasi pertanian negara malah menyewakan tanahnya kepada petani perorangan. Hasil panen juga mulai bisa dijual langsung ke pasar, tidak lagi harus melalui koperasi. Salah satu problem ekonomi Vietnam agaknya kemiskinan di sektor industri, terutama industri kecil. Dao Van Tap, ketua Institut Ekonomi Hanoi menerangkan, "untuk merangsang produksi pertanian, kami harus membayar kaum tani dengan harga yang patut bagi hasil panen mereka. Tetapi pasar tidak menyediakan barang yang bisa dibeli dengan uang itu." Ada saran untuk keluar dari produktivitas yang rendah itu dengan cara mengimpor teknologi tekstil Soviet dengan "harga persahabatan". Memang gampang. Apa saja yang di minta Vietnam dengan senang hati bakal segera dikabulkan Moskow. "Tapi tekstil mereka tidak memenuhi standar dunia," ujar Tap. Tanpa industri yang berarti, tak ada yang bisa diekspor Vietnam. Belum lagi dampaknya di masa depan yang tidak begitu jauh, yang sekarang sudah bisa dilihat bahayanya. Contoh sederhana tampak, misalnya, di Koperasi Yen So, sekitar 60 km di barat daya Hanoi. Dari peragaan statistik di kantor koperasi desa ini, semuanya tampak menggembirakan. Sejak "pembebasan" Vietnam Utara, 1954, jumlah rumah batu meningkat, pemilik sepeda bertambah, standar pendidikan naik, produksi padi makin banyak, begitu pula produksi sutera. Perawatan kesehatan pun semakin bagus. "Tetapi problemnya terletak dalam waktu singkat mendatang," ujar Dao Van Tap. Sekitar 48% dari 2.000 penduduk Yen So berumur di bawah 16 tahun. Dan seperti desa lainnya di delta ini, tanah sudah semakin sempit. Delta ini merupakan salah satu tempat dengan penduduk terpadat di dunia. Tanpa membangun kota-kota industri, angkatan kerja dari desa-desa seperti Yen So akan membentuk barisan penganggur yang bertambah panjang. Sekarang saja sudah banyak kaum wanita yang tidak kebagian kerja. Itulah sebabnya, lantaran tidak sanggup menyediakan dana dan teknologi untuk menggalakkan pembangunan, pemerintah Vietnam merangsang pasar bebas dan 'tutup mata' terhadap pasar gelap. Di Utara, sekitar 90% hasil sawah dan sebagian besar barang konsumen dikontrol pemerintah. Di Selatan angka itu tak sampai demikian tinggi. Di sana para pedagang Cina masih menguasai sekitar 90% hasil padi Delta Mekong. "Setelah mengunjungi Hanoi, Anda bisa tidak percaya pada pemandangan yang Anda lihat di Saigon, " kata Dao Van Tap. "Di sana, toko penuh dengan barang luar negeri -- diselundupkan dari Muangthai melalui Kamboja." * * * * Memang. Meski telah mendapat nama 'revolusioner', Kota Ho Chi Minh -- Saigon -- masih mengumbar nostalgia borjuis masa lalu. Di bandar udara Tan Son Nhut, tamu resmi dijemput guidedengan mobil Ford Fairlane 1971 berwarna hitam, "hasil rampasan dari kedutaan besar Amerika Serikat, 1975." Terus diantarkan ke Hotel Majestic yang tua, terletak di tepi sungai, dengan restoran di lantai puncak. Para pelayan di hotel ini jelas bukan tandingan karyawan Hotel Thang Loi di Hanoi, yang serba "realis-sosialistis". Dilayani para karyawan Hotel Majestic memberikan kesan "Saigon masa lampau", terutama bagi pengunjung yang pernah bertandang ke kota itu sebelum 1975. Para pelayan masih mengenakan dasi kupu-kupu hitam di sela kerah yang putih kaku dan rambut mereka mengkilap oleh pomade. Sebagian besar di antara mereka menyapa tamu dalam bahasa Prancis yang tak tercela. Pilihan menu pun senantiasa membuka selera. Kecuali poster-poster Pan Am yang sudah disingkirkan, hotel ini hampir tidak berubah. Perabotnya tetap yang dulu, terbuat dari kayu mawar Cina yang indah. Kamar-kamarnya tidak kehilangan keanggunan. Dan di kamar-kamar biasa, kipas besar masih berputar di langit-langit. Di luar hotel, bertebaran para pengemudi helicak, pengemis, anak-anak nakal. Sejak semula Saigon terdiri dari dua kota yang saling terpisah. Hingga 1679, sebagian besar wilayah Vietnam Selatan tidak dihuni manusia. Kerajaan Kamboja pun tidak mengawasi kawasan itu. Kemudian tibalah sebuah armada Cina yang terdiri dari 3.000 orang, melarikan diri dari kekuasaan Dinasti Manchu. Mereka bermukim di Bien Hoa, 30 km di utara Saigon, dengan izin penguasa Vietnam. Tatkala emigran Vietnam dari utara mengambil Delta Mekong yang subur, dan mulai membuka lahan pertanian, orang-orang Cina itu mendirikan permukiman baru di tepi Sungai Cholon. Kemudian pemerintah Vietnam mendirikan pusat administrasi kecil di Saigon, 7 km ke timur, tempat pertemuan kota itu dengan sungai. Pada 1859 Prancis menaklukkan Saigon. Setelah mendirikan basis pertama di Vietnam, mereka menghalau pejabat-pejabat Vietnam dan Saigon. Tetapi, konon, mereka tidak mengusik perantau Cina di Cholon itu. Dalam setengah abad berikutnya, para ahli Prancis membangun jaringan drainase yang mengesankan, juga kanal-kanal transportasi di dataran Delta Mekong. Mereka mengeringkan daerah rawa yang bergaram, sehingga produksi padi kawasan ini melonjak dan mengalir ke pasar dunia. Sementara tanah-tanah baru dibagi di antara para pejabat kolonial di Saigon dan para kolaborator Vietnam, saudagar-saudagar Cina di Cholon tetap mengontrol hampir seluruh ekspor beras dan dunia usaha. Di bawah Prancis, kedua kota itu tumbuh dengan karakternya masing-masing. Dari Saigon ke selatan penduduk berbahasa Prancis, tata kota meniru Paris, bahkan mendapat nama 'Mutiara di Timur' dari para pelancong Prancis. Di bagian ini terbentang bulevard-bulevard yang teduh, taman-taman yang indah dan luas. Bangunan perkantoran berdiri megah, rumah tinggal meniru gaya Laut Tengah. Dalam pada itu Distrik Cholon, yang terletak di barat, secara spontan berkembang menjadi semacam Tiongkok Kecil. Penuh sesak dengan gudang, kedai dan lepau, rumah dan kelenteng, bersesakan sepanjang kanal yang merupakan urat nadi pengangkutan beras dari Delta. Kota ini mengenal kekerasan pada hari-hari pertama setelah Perang Dunia II. Serombongan orang Vietnam tiba-tiba mengamuk dan menduduki Balai Kota. Mereka mendirikan "pemerintahan revolusioner". Dalam waktu sebulan pasukan kolonial membabat mereka. Tetapi para perusuh tetap merupakan ancaman. Mereka bersembunyi di rawa dan hutan bakau sekitar Saigon, dan dari situ melancarkan teror kota terhadap penguasa Prancis. Merasa tak berdaya mengatasi pembunuhan dan pengeboman yang dilancarkan para pengacau, tentara Prancis merekrut para bajak Sungai Binh Xuyen yang terkenal ganas. Mereka ini para anggota Mafia Cina-Vietnam dari Cholon, dan ke tangan merekalah kini keamanan Kota Saigon dipercayakan. Dan untuk membayar para tukang pukul itu Mafia Binh Xuyen mengembangkan rupa-rupa usaha haram. Mulai perdagangan candu, pelacuran, perjudian, sampai "jasa keamanan." Pada 1952, misalnya, rumah bordil Binh Xuyen yang diberi nama 'Balai Kaca' dibuka dengan upacara resmi. Pengguntingan pita dilakukan tak lain oleh menteri kesejahteraan sosial koloni itu. Bordil ini menyediakan 1.200 perempuan pilihan dan ketika Prancis meninggalkan Saigon, 1954, Mafia Binh Xuyen mengontrol hampir seluruh ekonomi kota itu. Dan, jangan heran, "wakil komandan" merekalah yang menjabat kepala polisi Saigon masa itu. Kemudian datanglah orang Amerika menggantikan Prancis. Mereka mendudukkan Ngo Dinh Diem di istana kepresidenan, dan menjotos anggota Binh Xuyen setelah melalui pertempuran keras di jalan-jalan Cholon. Para mafioso itu kemudian surut ke persembunyian di daerah-daerah rawa. Presiden Diem, penganut Katolik yang taat itu, segera menutup hampir semua perdagangan barang terlarang. Tetapi pada 1963, Diem mengalah pada klik militer yang korup. Dan dua tahun kemudian pasukan Amerika mendarat di Saigon. Kota ini pun kembali menjadi sarang kekerasan dan kekotoran. Untuk melindungi dirinya dari roket dan granat Vietkong, Saigon mulai mengenal pagar kawat berduri dan karung-karung pasir antipeluru. Pengeboman yang dilakukan pasukan Amerika di pedalaman menimbulkan banjir pengungsi ke Ibukota. Dari dua juta, jumlah penduduk Saigon meningkat dengan pesat menjadi empat juta. Dengan ledakan populasi itu distribusi air, kebersihan, dan perawatan kesehatan masyarakat segera ambruk. Dollar beredar di mana-mana. Setiap orang terlibat dalam "bisnis perang". Untuk menyerap dollar dan mencegat inflasi, USAID memberi subsidi untuk program impor sepeda motor Jepang dengan harga murah dan dalam jumlah besar, dan Saigon segera penuh dengan deru dan asap. Pohon-pohon peneduh tak lagi mampu menapis udara kotor, bahkan ditebang untuk memperlebar jalan bagi sepeda motor Jepang yang terus menyerbu masuk. Heroin diperdagangkan secara bebas. Sekitar 1974, Saigon memiliki 130 ribu pelacur, dan 150 ribu pecandu heroin. Saigon di masa perang bagai kota dalam dongengan. Di jalan-jalan, brandalan kota meneguk wiski seraya bercanda dan berusaha mengibuli para GI. Di bar lantai puncak Hotel Caravelle, para kolonel Amerika menikmati tamasya kembang api pertempuran yang berkecamuk di tepi Kota. Gangster Corsica dan agen CIA memperdagangkan informasi di beranda Hotel Continental yang tua dan megah. Untuk para penghuni Jalan Tu Do, perang itu sungguh menyenangkan. Ketika Saigon mendapat nama Kota Ho Chi Minh, Jalan Tu Do berubah menjadi Jalan Dong Khoi (Kebangkitan). Tetapi di luar nama itu, sesungguhnya tidak banyak yang bangkit. Berbeda dengan para pejalan kaki Hanoi yang berpakaian sembarangan, penduduk Saigon tetap chic, kendati di bawah sosialisme. Para wanita memakai makeup, dan mengenakan ao dai yang memikat. Para pria, bahkan yang komunis, menunjukkan selera tinggi dalam busana. Dulu banyak bar. Sekarang berganti dengan toko antik yang menjuali keramik Ching, kotak lacquer, dan perabotan kayu mawar. Sebuah toko menjual alat makan kenegaraan dari zaman kerajaan dengan harga Rp 130 ribu untuk setiap piring. Di toko lain bisa dibeli tongkat komando seorang brigadir jenderal, yang terbuat dari gading, dengan harga Rp 44 ribu. Memang beginilah keadaannya: para borjuis Saigon sedang menjual barang-barangnya untuk mempertahankan hidup. Dan para ahli Sovietlah yang menjadi pembeli yang bersemangat. Dalam pesawat Aeroflot yang terbang meninggalkan Vietnam, bisa disaksikan aneka pecah-belah dan memorabilia Vietnam yang sedang menuju negerinya yang baru. Para wanita bar Saigon, yang dulu sangat terkenal, kini sedang meringkuk di kamp-kamp "reedukasi". Beberapa ada yang lolos, dan tetap menjalankan profesi di balik bayangan malam. Di antara mereka terdapat blasteran Vietnam-Negro Amerika. Pembatasan bahan bakar dengan sendirinya mengurangi kegiatan kendaraan bermotor. Pepohonan muda ditanam di sepanjang jalan, membuat udara sedikit lebih segar ketimbang di zaman perang. Masih ada tiga bar yang diizinkan membuka usaha, lengkap dengan pramurianya. Ada pula beberapa kedai Keling yang menjual kartu pos, padahal sesungguhnya memperdagangkan valuta asing. Di kedai seperti ini, enam karton rokok mentol Salem bisa berharga D 1.900 -- alias setahun gaji seorang kader komunis senior. Menyelusuri kehidupan malam Saigon sekarang ini bagai berkelana di antara pelbagai cerita duka. Pengusaha bar umumnya mengeluh. Setelah perang, untuk mereka keadaan sungguh tidak menguntungkan. Di sebuah bar, seorang wanita bernama Mai melayani para langganan yang datang minum. Mai sungguh jelita. Bahasa Inggrisnya sempurna. Sepuluh tahun lalu ia sekretaris USAID dan menikah dengan seorang Amerika yang agak tua. Ia beroleh seorang anak lelaki. Setelah Saigon jatuh ke tangan komunis, sang suami pulang ke Amerika, meninggalkan Mai dan anak tersayang. Anak peranakan bukanlah barang terpuji di Vietnam-komunis, dan Mai mulai berhadapan dengan tumpukan kesulitan. Ia kemudian merencanakan lari bersama pengungsi Vietnam yang lain. Ia menjual rumah dan hartanya, dan menyogok ke sana ke mari untuk mempersiapkan pelarian. Sadar akan kecantikannya, dua bulan sebelum berangkat Mai mulai menelan pil antihamil secara teratur. Soalnya, bila perahu mereka kepergok para pembajak Siam, dapat dipastikan Mai bakal diperkosa. Ia tidak sudi mengandung anak dari hasil perkosaan itu. Pada malam yang direncanakan, rombongan Mai berangkat ke laut lepas. Mereka menggunakan sebuah kapal ikan, dan perlahan-lahan menuju Teluk Siam seraya tak henti-hentinya berdoa agar tidak disatroni para pembajak. Menjelang fajar, di cakrawala tampak bayangan sebuah kapal yang melaju ke arah mereka. Syukur bukan kapal bajak melainkan . . . kapal patroli Soviet yang bertugas menghadang para pengungsi. Sehari kemudian rombongan Mai sudah mendarat kembali di Kota Ho Chi Minh, dalam status tahanan. Tidak punya duit, tidak punya rumah, Mai terpaksa bekerja di bar untuk membiayai pendidikan anaknya di sebuah sekolah Katolik. Di Hotel Rex, ada pula wanita bernama Kim, yang bisa dipesan untuk menemani dansa. Setiap malam Minggu, dari pukul 8 sampai pukul 11, Komite Rakyat Kota Ho Chi Minh menyelenggarakan "Dansa dengan Orkes". Selusin wanita dipilih untuk acara ini, guna menemani para diplomat dan teknisi asing yang kesepian. Kim, 24 tahun, bekerja sebagai kerani di sebuah kantor pemerintah. Gajinya D 50 sebulan, kira-kira sama dengan harga dua bungkus rokok Salem. Ayahnya bekas guru dansa. "Tetapi sejak revolusi tidak ada orang yang perlu belajar dansa," kata Kim. Maka sang ayah menjadi penganggur. Ibu Kim lari ke Nice, Prancis, ketika Kim masih berusia dua tahun. Adik lelakinya kini luntang-lantung. "Setiap penduduk Saigon sekarang hidup dari kiriman sanak saudara di perantauan," kata Kim. Sayang, ibunya yang tinggal di Nice tidak pernah melayangkan bahkan sepucuk surat. Tetapi di antara semuanya mungkin cerita Nyonya Dai punya kesan tersendiri. Nguyen Phuoc Dai adalah bekas wakil ketua Senat Vietnam Selatan. Dia merupakan generasi terakhir elite Vietnam yang berbahasa Prancis. Cucu tuan tanah besar yang pernah memiliki 10 ribu hektar tanah paling subur di Delta Mekong ini sekolah di Paris. Meski tidak bersetuju terhadap rezim Amerika-Thieu, Dai bukan pendukung pemerintah yang baru. Kini dia memimpin sebuah taman kanak-kanak dan mengusahakan sebuah restoran Prancis di villanya yang berdekatan dengan katedral. Karena rezim komunis tidak membutuhkan tenaga pengacara, Nyonya Dai mempekerjakan beberapa pengacara lulusan perguruan tinggi sebagai pelayan di restorannya. Semua anaknya berada di luar negeri. Di Cholon, pasar gelap berkembang tanpa kendali. Di pecinan ini setiap orang putih sering dituduh "Rusia" oleh anak-anak yang bermain dan berkejaran sepanjanggang. Segala macam barang bisa ditemukan di sini, mulai radio Jepang sampai suku cadang mobil. Di setiap sudut ada kedai minuman menjual Pepsi Cola Bangkok, bir Jepang, rokok Inggris. Meski perdagangan beras sudah di"sosialisme"kan, para pedagang Cina tetap mengontrol sekitar 90% hasil panen Delta Mekong. Seperti di utara, di sini pun pemerintah tidak punya cukup uang untuk membeli hasil panen kaum tani. Sementara itu para pedagang Cina kuat menyogok para pengawal di sepanjang jalan dan sungai yang dilalui rombongan beras. Candu tetap di jual di pasar gelap. Saigon memang memiliki Lembaga Pemuda Baru, sebuah pusat rehabilitasi pecandu narkotika yang mengambil tempat di sebuah bekas bangunan Katolik. Didirikan pada 1975, klinik lembaga ini memiliki 1.200 tempat tidur, untuk menampung pecandu heroin Saigonl yang berjumlah 150 ribu. Sekitar 90% pasien yang dirawat di klinik ini pernah menjadi langganan heroin, 10% tidak punya sanak saudara, dan 27% menderita penyakit kelamin. Menurut Pham nguyen Binh direktur klinik, program mereka terdiri dari tiga tahap. Pertama menggunakan pengobatan Asia seperti tusuk jarum, untuk menangani para pecandu. Kedua memulihkan kesehatan fisik dengan latihanlatihan, misalnya, latihan bela diri. Dan ketiga, pendidikan yang "menghubungkan imperialisme dengan heroin". "Kalau problem fisik sudah teratasi, harus ditingkatkan pada indoktrinasi ideologis," kata Binh. Bagaimana? "Kecanduan heroin adalah hasil kebudayaan neokolonialisme," tuturnya. "Maka kami harus mendidik para pemuda itu dengan kebudayaan sosialis." Heroin memang sudah menghilang dari pelosok-pelosok Saigon. Tapi sebagai gantinya, muncul candu yang sudah diproses, diselundupkan dari Muangthai. Setiap orang yang mengenal Segitiga Emas perdagangan narkotik, patut menyangsikan sukses yang bisa dicapai program "kebudayaan sosialis" yang berambisi menghapuskan narkotik dari Saigon. Apalagi kalau berbicaradengan para pengendara helicak, pelacur, atau pedagang pasar gelap Saigon. Menurut keterangan kelompok ini, candu yang sudah diproses itu diproduksi tak lain di Laos yang sosialis, kemudian diselundupkan ke Saigon -- melalui polisi, duane, dan pejabat militer Vietnam yang mudah disuap. Heroin memang lenyap, tapi candu muncul sebagai gantinya. Dan para pecandu pun patah tumbuh hilang berganti. Jumlah mereka terus bertambah dari kompleks-kompleks gelap kota ini. Para pejabat Saigon sendiri suka berterus terang mengenai problem yang mereka hadapi. Misalnya, seperti diceritakan Le Quang Chanh, Deputi Walikota Saigon, dahulu deputi menteri luar negeri Pemerintahan Revolusioner Darurat. Berperawakan jangkung, dengan rambut mengkilap dan kaca mata hitam, tokoh ini bagai politikus metropolitan. Kantornya terletak di bekas Hotel de Ville yang bergaya neo-Gothic. Suasana kantor itu berbeda dengan kantor-kantor di Hanoi. AC-nya jalan, perabotannya mengkilap, dan tiap sebentar asistennya yang berbusana ao dai keluar masuk mengantarkan makanan kecil. "Sejak semula Saigon merupakan tantangan besar," katanya, seraya mengunyah kue. Hampir semua industri ringan berpindah tangan dalam keadaan utuh, dan kini dikendalikan pemerintah. Dengan berangkatnya pasukan Amerika, banyak orang kehilangan pekerjaan. Pemerintah tidak mampu menampung tenaga yang mendadak menganggur itu. Maka pemerintah mengimbau warga kota untuk secara suka rela pulang ke desa. Dengan jalan ini, jumlah penduduk yang empat juta diharapkan bisa ditekan sampai 2,5 juta. Tetapi harapan itu tidak pernah terlaksana. Pengurangan pemakaian energi rnenyebabkan pabrik-pabrik di Saigon hanya bekerja tiga hari seminggu. Angka kelahiran masih 100 ribu setiap tahun. Dengan sekitar satu juta pelajar, sistem pendidikan kota ini masih berantakan. Pengangguran memang berhasil ditekan, dari 800 ribu pada 1975, alias 30% dari jumlah angkatan kerja. Tetapi, kini, jumlah pengangguran masih meliputi 200 ribu. Dengan pelbagai problem ini, "kami harus bisa menenggang pasar gelap," ujar Chanh. "Kami sendiri menyaksikan kaki lima Cholon yang penuh barang selundupan dari Kamboja. Tapi mau apa?" Di sana-sini pemerintah Saigon bahkan menitipkan pesan kepada para polisi untuk turut mengamankan perdagangan gelap itu. Chanh mudab diajak bicara. Ia menguasai problem kotanya dengan baik: perumahan, transportasi, polusi, atau produksi pertanian. Bahkan ia sudi bicara mengenai hal yang paling peka, yaitu kebijaksanaan pemerintah Saigon terhadap Cina Cholon. Pada 1978, menurut sebuah sumber, dinas inteli jen Vietnam menemukan strategi Cina untuk "memotong Vietnam dari Selatan". Cina mensponsori invasi Pol Pot dari Kamboja di barat, dan berusaha membangkitkan pemberontakan simultan oleh sel-sel komunis di chinatown Cholon. Apakah Le Quang Chanh mengetahui cerita ini?. "Kami memang pernah mendengar, Cina berusaha menggunakan sel-sel komunis di Cholon untuk membangkitkan semacam pemberontakan umum setengah juta hoakiau di sini," kata Chanh. "Meski kami toleran terhadap pedagang swasta, kami harus secepatnya mematahkan pengawasan saudagar-saudagar besar Cina terhadap seluruh hasil panen delta ini." "Intelijen kami bekerja baik," kata Chanh, tentunya. Untuk masa depan, "kami akan memukul sebelum mereka mulai beraksi." Agaknya, problem Saigon yang lebih kongkret bisa dilihat di Institut Perencanaan Kota, yang bermarkas di bekas kantor USAID. Direktur lembaga ini, Le Van Nam, senantiasa siap melayani tamu resmi yang berusaha mencari keterangan. Saigon yang direbut pemerintah Demokratis Vietnam pada 1975, menurut Nam, adalah "mimpi jelek setiap perencana". Baik kolonialis Prancis maupun Amerika tidak pernah mengintegrasikan transpor logistik kota ini dengan daerah basis permukiman. Rel kereta api melintas tanpa aturan. Pelabuhan Saigon yang setiap tahun mampu menampung enam juta ton muatan tidak didukung oleh jalan penunjang yang layak. Pintu keluar menuju daerah pinggiran tersumbat oleh beberapa jembatan kecil. Kemudian datanglah perang, yang membuat segala-galanya bertambah kalang-kabut. Banjir pengungsi meningkatkan kepadatan penduduk tanpa kendali. Di daerah tertentu, kepadatan mencapai 1.600 orang per hektar. Prancis hanya membangun satu riol utama. Dan ketikaarus pengungsi menyerbu Saigon pada 1960-an, tidak ada sistem riol baru yang mampu diterapkan. Sampah dan kotoran kota segera menggunung di mana-mana. Polusi meningkat, karena pabrik-pabrik sudah campur aduk dengan kawasan permukiman. Campuran kotoran dan sampah manusia dengan limbah pabrik boleh dikatakan meracuni semua pembuangan air kota ini. Sistem distribusi air yang ditinggalkan Prancis hanya melayani kuartir kolonial di pusat kota. Selebihnya penduduk menggantungkan diri pada sistem sumur, yang pada saatnya sudah ikut dicemari limbah rumah tangga dan pabrik. "Saigon" demikian Nam "sudah tidak bisa menenggang penambahan penduduk sama sekali." Satu-satunya jalan untuk menyelamatkan kota ini ialah memindahkan penduduk ke kota satelit. Dalam tahun 2000, konon, Saigon diperkirakan menjadi pusat metropolitan dengan lima juta penduduk, dikelilingi dua lapis kota satelit. Di lapis pertama terletak Bien Hoa yang industrialis dengan sekitar satu juta penduduk, dan petrokimia Vungtau dengan jumlah penduduk yang lebih kecil. Di lapis kedua terdapat lima pusat provinsial dengan penduduk sekitar satu juta. Dengan cara ini diharapkan para perencana Saigon bisa memecahkan kesulitan perumahan. Sementara itu, pemerintah tidak bermaksud menyita rumah pribadi. Misalnya, villa milik orang-orang kaya. Dalam keadaan seperti sekarang, Saigon tetap menarik pendatang dari pedalaman. Usaha pemerintah membatasi dan mencegah mereka sia-sia belaka. Satu-satunya jalan mengatasi urbanisasi ialah peningkatan taraf hidup di pedesaan. * * * * Dan inilah reruntuhan peninggalan kekuasaan Pol Pot: Phnom Penh, Kamboja. Turun dari pesawat terbang jet Ilyushin dengan airconditioning "sedingin Siberia", Alfred W. McCoy dijemput Phet Phanur, rektor Universitas Phnom Penh. Tokoh ini datang dengan bunga serangkai dan senyum terkembang. Lima menit setelah basa-basi, Phet Phanur segera berkeluh-kesah. "Di bawah pemerintahan Pol Pot," katanya dengan suara bergetar, "hidup sungguh menakutkan. Mereka membunuh istri saya dan membiarkan anak-anak saya hidup tanpa ibu." Dalam tiga hari berikutnya, Phet Phanur mengulangi cerita itu tidak kurang dari tujuh kali. Syahdan, setelah anak buah Pol Pot menaklukkan Phnom Penh, 1975 Phanur yang sedang berada di Paris untuk menyelesaikan program doktornya dipanggil pulang untuk "menempati sebuah pos penting". Tapi begitu menjejakkan kaki di Phnom Penh, Phanur langsung ditahan, kemudian bersama anak-istrinya dipindahkan ke sebuah dusun terpencil, kira-kira seminggu perjalanan di utara Ibukota. Selama tiga tahun berikutnya, 300 dari 900 tahanan yang disekap di kampung itu meninggal lantaran penyakit, kurang makan, atau dihukum mati. Anak-anak dipisahkan dari orangtua mereka, dan semua makanan dimasak di dapur komunal. Menyimpan makanan pribadi dinilai sebagai tindakan kejahatan. Phanur terpaksa menambah rangsum makannya dengan pelbagai serangga yang ditangkapnya di sawah. Tahanan diwajibkan bekerja 14 jam sehari. Kalau tidak di lapangan, menggali kanal irigasi raksasa. Disain kanal itu dibuat oleh kader setempat yang berumur belasan tahun. Suatu hari istri Phet Phanur jatuh sakit. "Kami tidak akan menyia-nyiakan obat untuk dia," ujar seorang kader Pol Pot. "Toh dia sudah tak bisa bekerja." Lalu, seperti dalam mimpi buruk, seorang prajurit berusia 16 tahun membunuh wanita itu -- di depan Phanur dan anak-anaknya. "Saya sudah sering membaca tentang kekuasaan absolut," ujar Phanur. "Tetapi pengalaman langsung ternyata jauh lebih pahit." Hampir semua penduduk Phnom Penh punya riwayat seperti Phanur, dengan sedikit variasi di sana-sini. Sebelum perang melanda Kamboja pada 1970, kota ini masih memiliki pesona dan keindahan Timur. Setelah mengusir para penyerbu Siam yang menjarah Angkor pada pertengahan abad XV, raja-raja Khmer membangun istana yang baru di tepi selatan Sungai Mekong. Kendati Prancis memerintah kerajaan ini hampir seabad, setelah Raja Norodom menerima 'proteksi' pada 1863, Phnom Penh -- berbeda dengan Hanoi dan Saigon -- tak pernah menjadi kota kolonial yang sesungguhnya. Para insinyur Prancis memang sempat membangun bulevard yang lebar dan trotoar yang teduh, namun corak kota ini tetap ditentukan oleh istana Raja, dengan menara-menaranya yang keemasan. Setelah Prancis mundur, 1953, Pangeran Sihanouk berusaha menandingi pengaruh arsitektur Prancis dengan mendirikan bangunan-bangunan moern bergaya Angkor. Sementara kota-kota besar Asia Tenggara umumnya makin cenderung mem-Barat, Phnom Penh bertahan dengan corak tradisional. Pada 1970 Sihanouk digulingkan melalui sebuah kudeta militer. Perang pun berkecamuk di pedalaman. Pengungsi membanjir masuk kota, membuat jumlah penduduk melonjak dari 550 ribu menjadi lebih dari dua juta. Dan setelah gerilyawan menguasai kota itu pada 1975, Pol Pot yang 'revolusioner' memasuki istana musim panas Sihanouk serta menyapu penduduk kota. Isi Phnom Penh tinggal 20 ribu orang -- sebagian besar para kader dan pasukan penembak Pol Pot. Selama empat tahun, sampai Vietnam melakukan invasi pada 1979, mereka inilah yang merajalela di ibu kota Khmer itu. Tapi berkendaraan dari lapangan terbang ke pusat kota, orang bisa melihat sisa-sisa perang pada bangunan dan jalan yang ternyata tidak begitu parah. Puing gedung Bank Sentral memang masih belum dibersihkan. Anak buah Pol Pot rupanya lebih getol menghancurkan gedung-gedung bergaya Barat. Mereka membenci listrik, merusakkan lampu jalan, lampu lalu lintas, dan lampu-lamu hias. Bahkan listrik di universitas, yang diperlukan untuk belajar, dibikin binasa. Mobil ditempatkan sebagai "musuh rakyat". Jalan-jalan kecil penuh bangkai Volkswagen dan Toyota, dengan bekas tembakan dan api. Pendidikan dihapuskan. Guru, mulai tingkat SD sampai perguruan tinggi, dibasmi. Di bekas fakultas kedokteran, ruang kuliah dan semua perkakas laboratorium dibikin remuk. Fakultas Teknik berubah menjadi kamp pengasingan. Perguruan Tinggi Seni Rupa diruntuhkan oleh kesatuan khusus yang tugasnya memang menjebol. Seraya vandalisme berlangsung dengan sistematis sepanjang bulevard Phnom Penh, kompleks istana tua untungnya tidak ikut binasa. Kuil Kerajaan dengan sendirinya muncul sebagai rumah perbendaharaan pelbagai kekayaan bangsa. Lantainya bertepi perak dalam jumlah lima ton. Dan dindingnya bertatahkan perak, emas, dan zamrud. Tak satu pun tersentuh oleh perang dan revolusi. Anjungan dan kamar-kamarnya dihiasi dengan lambang-lambang Budha purba. Melihat pemandangan kontras ini, patut disangsikan itikad Pol Pot mendirikan negara komunis. Menyimak sepak terjangnya, terutama yang membekas di Kota Phnom Penh, orang ini tampaknya malah tidak mau melangkah ke masa depan sosialisme dengan teknologi modern, melainkan mundur ke masa lampau kerajaan. Ia seperti menghidupkan kembali Angkor Purba, bukan mencoba menegakkan sosialisme. Selama tujuh abad, raja-raja Angkor menikmati kekuasaan yang hampir absolut, mengerahkan kaum tani membangun jaringan irigasi, dan mendirikan istana-istana monumental di Angkor Wat dan Angkor Thom. Mereka bertindak bagai raja-dewata yang memerintah segala-galanya, dan menuntut pengorbanan rakyat untuk membangun monumen-monumen mereka. Orang-orang yang tidak disenangi bisa langsung dibunuh. Tanah, rakyat, dan hasil panen, sepenuhnya milik penguasa. Pol Pot juga meninggalkan negeri ini dengan jaringan kanal yang semrawut. Kenangan paling buruk dari penduduk Phnom Penh yang selamat bukanlah tentang kerja keras di tanah pertanian, melainkan bagaimana mereka berjuang sehari suntuk menggali parit raksasa -- dengan sekop dan keranjang. Di sebelah barat Phnom Penh, masih bisa disaksikan tiga kanal dengan lebar 100 meter dan dalam sekitar 10 meter. Dibanding kanal-kanakAngkor, kanal peninggalan Pol Pot ini jauh tidak bermutu. Ia tidak bisa mengalirkan air. Pol Pot sudah membunuh para insinyur. Kanal ini dibuat oleh kader-kader yang tidak pernah makan sekolah. Untuk membangun kanal-kanal ini, Pol Pot membutuhkan bahan konstruksi. Tetapi dia tidak punya pabrik, tidak pula mengimpor apa-apa. Karena itu, untuk pengadaan bahan konstruksinya ia meruntuhkan gedung-gedung dan mengambil bahan-bahannya yang bisa dimanfaatkan. Kadang-kadang, untuk mengambil beberapa batang besi Pol Pot memerintahkan meruntuhkan sebuah bangunan. Yang penting kanal harus jadi. Di sebuah desa, dengan kanal yang sangat lebar dan dalam, McCoy bertanya kepada seorang pemuda mengapa Pol Pot membangun kanal demikian banyak. "Untuk menunjukkan kepada kami bahwa ia penguasa bumi" ujar petani itu. Seperti halnya raja-raja Angkor, Pol Pot selalu mencurigai persekongkolan, dan menuntut loyalitas mutlak dari para bawahan. Monumen kecurigaannya bisa dilihat dalam bentuk penjara Tuol Sleng. Tidak kurang dari 20 ribu orang terbunuh di sini. Menempati lokasi perguruan tinggi teknik di Phom Penh, Tuol Sleng adalah penjara untuk para pejabat, kader komunis, serta siapa saja yang dicurigai punya niat berkhianat. Di penjara ini juga diterungku dua awak kapal layar Australia yang tertangkap di lepas pantai Kamboja pada 1977. Semua yang dijebloskan ke sini harus dipotret, diinterogasi, disiksa, kemudian digiring ke kuburan massal, di luar kota. Dan setelah Pol Pot terusir, bau busuk konon menuntun orang ke kuburan massal ini. Akhirnya ditemukan tidak kurang dari 129 lubang pembantaian, yang hingga kini dibiarkan terbuka dengan tengkorak menumpuk di sisinya -- sebagai isyarat akan kekejaman yang ditinggalkan Pol Pot. Setidak-tidaknya kesan itulah yang ingin ditanamkan penguasa baru. Semua "pengakuan" penghuni penjara ini direkam. Mereka yang tewas di tengah interogasi, dipotret untuk kedua kali. Dalam waktu empat tahun 1.800 orang petugas penjara ini telah membunuh 20.000 orang tahanan. Kalau dibuatkan statistik, tiap petugas rata-rata membunuh dua tahanan setahun. Pada malam hari hanya tahanan istimewa boleh beistirahat di kamar tersendiri. Sebagian terbesar tidur bersesakan, rata-rata 100 orang dalam satu sel, dengan kaki dirantai bagai penghuni penjara abad pertengahan. Di salah satu sel masih bisa dibaca tulisan tembok Hu Nim, bekas menteri penerangan Pol Pot. Orang ini akhirnya juga ditembak mati. Di penjara ini pula bisa disaksikan "kejeniusan Pol Pot". Di dinding beberapa kamar dipajang foto 3.000 korban dan sekitar 500 pengawal, konon dipasang pihak Pol Pot sendiri. Foto para korban memperlihatkan bekas penyiksaan luar biasa, tetapi yang lebih mengejutkan ialah tingginya jumlah korban di bawah umur. Foto para pengawal tidak kurang menariknya. Sebagian besar mereka berusia 14 sampai 17 tahun. Didepan kamera, mereka rupanya berusaha menampilkan kesan menakutkan: menyeringai secara dibuat-buat, dan tampak menikmati kebanggaan dari tugas mereka. Pol Pot telah berhasil membangkitkan kebiadaban anak-anak muda ini untuk melayani revolusinya. Betapa pun, kawanan anak muda seperti itulah yang merayah kota-kota Kamboja dalam hari-hari gelap kekuasaan tokoh itu. Di komune-komune terpencil, semua pengawal berusia di bawah 18 tahun, dan tidak berasal dari desa tersebut. Ketika tentara Vietnam menyerbu Kamboja, Januari 1979, semua pengawal penjara Tuol Sleng melarikan diri bersama Pol Pot ke Muangthai. Bersama mereka ikut juga para pengawal kamp maut di erbagai desa dan provinsi. Tanpa senjata, orang-orang ini tidak akan pernah berani pulang ke Kamboja. Kini Pol Pot kabarnya membawahkan sekitar 20.000 gerilyawan muda yang sangat loyal. Seperti halnya para raja Angkor, Pol Pot menuntut tidak hanya loyalitas, melainkan pemujaan. Dalam lagu kebangsaannya disebutkan, Kambojanya Pol Pot "akan dibangun lebih megah daripada Angkor." Untuk mewujudkan niat itu Pol Pot memang tampak bersungguh-sungguh. Ia membunuh siapa saja yang dicurigai, terutama orang yang berpendidikan. Kehidupan keluarga dibuat berantakan. Suasana pedesaan diporak-porandakan. Penjara dan kamp maut tumbuh subur. Dan para gerilyawan remaja muncul sebagai penyiksa dan pembunuh yang buas. Tetapi sepeninggal Pol Pot, Kota Phnom Penh ternyata tidak membutuhkan waktu terlalu lama untuk kembali bernapas seperti sediakala. Dalam waktu dua tahun jumlah penduduk kembali meningkat menjadi 500 ribu, sama seperti sebelum huru-hara. Didukung oleh pelbagai bantuan internasional, sekolah-sekolah dibuka kembali. Begitu pula rumah-rumah sakit. Prasarana basis kota seperti air, listrik, dan tenaga, diusahakan pulih. Barang-barang kebutuhan juga mulai bermunculan di pasar. Suasana bertambah meriah dengan fungsi Kamboja sebagai jembatan penyelundupan antara Muangthai dan Saigon. Pusat Pasar Phnom Penh segera riuh sejak pagi sampai petang, dengan penjaja dan pemilik toko yang memakai busana rapi dari tekstil Siam. Di jalan-jalan raya, lalu lintas disibukkan oleh sepeda Muangthai dan sepeda motor Jepang. Jauh lebih berwarna ketimbang jalan-jalan raya Hanoi yang dikuasai sepeda. Tetapi ancaman belum sepenuhnya selesai. Daerah pedesaan yang hancur menyebabkan kota ini sangat tergantung pada bantuan pangan asing. Sementara krisis mulai surut, dan kekuatan-kekuatan besar politik turun tangan, hari depan bantuan asing itu masih sulit dipastikan. "Tetapi, apa pun yang terjadi, kota ini pasti mampu bertahan," kata Alfred W. McCoy. Ia telah memiliki syarat-syarat yang paling penting: bandar udara, pabrik, bangunan-bangunan permanen, jaringan telepon, listrik, dan angkutan kereta api. Kebangkitannya yang cepat setelah empat tahun kekuasaan Pol Pot membuktikan daya tahannya. "Sangat sulit menggeser fungsi kota-kota yang dibangun para kolonialis," kata Alfred W. McCoy dalam tulisannya. Bahkan Pol Pot tak mampu bergeser dari Phnom Penh. Semua sarana transportasi darat dan air sudah telanjur bermuara ke kota-kota itu. Gedung-gedung dan jalan rayanya bagaikan tanda pengenai yang hampir abadi, mengaitkan kenangan dan kerinduan setiap warga dan pengunjung. Karena itu pula, McCoy yakin, "Hanoi, Saigon, dan Phnom Penh akan bertahan sepanjang abad." Bahkan ketiga kota ini akan memegang peranan penting dalam menentukan hari depan Indocina yang masih saja sulit ditebak. Zaman dan penguasa berganti. Namun kota-kota besar Indocina itu tegak membisu bagai saksi sejarah, penuh riwayat, diam, dan tabah

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus