SUDAH lama para bankir, orang-orang bisnis dan penjual saham di
seluruh Eropa tergantung pada Financial Times di dalam
mendapatkan berita perdagangan sehari-hari. Tetapi sudah hampir
dua bulan ini koran terkenal dari London itu tidak terbit.
Pemogokan para wartawan, yang menuntut kenaikan gaji dan
penghentian pengurangan karyawan serta pudarnya harapan bakal
dapat perumahan, merongrong koran tua itu.
Meskipun sebagian masyarakat finansial di London sudah berpaling
ke The Wall Street Journal edisi Eropa, lainnya masih merasa
kikuk. "Orang membeli berbagai macam koran dan menafsirkan
berbagai macam hal. Akibatnya tidak ada suatu kesepakatan di
kota ini," keluh Iain Stephenson, seorang penjual saham di
London. "Ini sungguh malapetaka," seperti diberitakan Newsweek
bulan lalu.
Tahun-tahun belakangan ini media massa di Britania Raya memang
dirundung wabah pemogokan, manajemen yang ketinggalan zaman dan
teknologi rongsokan, serta meningkatnya persaingan dengan
televisi. The Times, misalnya, pada usianya yang ke-194, empat
tahun lalu, pernah diboikot karyawannya sendiri yang menentang
penggunaan teknologi komputer. Times, yang sekarang beroplah
sekitar setengah juta eksemplar, sempat membredel diri hampir
setahun lamanya.
Koran itu terbit kembali setelah pihak manajemen membujuk
karyawannya dan menjanjikan: memasukkan teknologi komputer ke
bagian set dan opmak secara bertahap dalam tempo 2-3 tahun
(TEMPO, 1 Desember 1979). Dan FT, harian yang tak kurang pula
tuanya, 99 tahun, merupakan korban terakhir dari hubungan yang
jungkir balik antara para buruh di Fleet Street -- itu pusat
persuratkabaran di London.
Pada 1 Juni silam, dua lusin karyawan bagian produksi -- hanya
sebagian kecil pekerja FT -- meninggalkan tempat kerjanya dan
membuat koran itu tutup. Pokok masalahnya adalah ketegangan
antara NGA (National Graphical Association, Perkumpulan Grafis
Nasional) yang mewakili para wartawan, melawan kelompok lain:
Sogat 82, yang terdiri dari para karyawan pers.
NGA beberapa tahun ini memang berjuang untuk mendapat kenaikan
gaji. Tapi, terakhir, bayaran para karyawan persnya justru yang
malah naik. Ditambah lagi permintaan kalangan manajemen FT, agar
menaikkan produksi, membuat NGA turun ke jalanan.
Pemogokan tersebut sangat memukul FT, yang sejak Januari telah
harus bersaing keras melawan The Wall Street Journal edisi
Eropa, yang dimiliki Dow Jones & Co. Pada waktu itu oplah
Journal cuma 17.500 -- tak berarti jika dibandingkan dengan FT
yang 178.000 di Inggris saja, ditambah 44.000 eksemplar lagi di
daratan. Tetapi perlahan-lahan, Journal mulai meningkat dengan
1.000 eksemplar per hari di London saja, sampai menjelang
pemogokan yang tiba-tiba itu.
Di pihak lain, Dow Jones menekankan, tidak akan memanfaatkan
pemogokan di FT itu. "Koran kami sangat terpercaya," kata
seorang juru bicara. "Kami tidak akan mengambil kesempatan dari
ketidakberuntungan orang lain."
Jika pemogokan ini diperlama, seperti yang terjadi pada The
Times bisa jadi bakal menghancurkan FT. Sampai sejauh ini
pemogokan itu menyedot kocek FT US$ 1,5 juta dalam seminggu.
Bahkan edisi Eropa FT, yang sudah berlangsung selama tiga tahun
ini, bisa dikikis habis oleh Journal, jika pemogokan jalan
terus. Dua pekan lalu NGA menolak usulan untuk mencari perantara
independen. Karena, bagaimanapun, dianggap tidak bakal mampu
menaikkan tawaran FT.
Sebagai jawaban, Pemimpin FT Alah Hare berkata, ia akan
menghubungi para anggota kelompok lain, terutama para anggota
Sogat 82 -- barangkali saja bisa menutup NGA demi kebaikan.
Tetapi tindakan macam itu bakal merusak undang-undang perburuhan
klasik yang mendominasi industri penerbitan di Inggris. George
Jerrom dari NGA menduga bahwa usaha macam itu malah akan
"meledakkan pemogokan bersama barangkali malah membunuh Fleet
Street."
Tanpa ada jadwal perundingan, agaknya orang-orang bisnis harus
menunggu lama sekali, untuk mendapatkan FT yang baru.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini