APABILA suara adzan subuh mulai terdengar, dengan cepat masjid
itu dipenuhi jamaah yang berpakaian serba putih. Tua dan muda.
Pria serta wanita. Selesai bersembahyang, mereka berdiri membuat
lingkaran. Satu lingkaran khusus untuk para wanita, lainnya bagi
pria. Dengan komando seorang imam, mereka berputar dalam
lingkaran masing-masing, sambil berzikir.
Suara zikir mula-mula terdengar pelan. Semakin keras -- dan
bertambah keras. Kemudian perlahan lagi. Sampai akhirnya imam
memberi tanda, bahwa "upacara" di dalam masjid berukuran 15 x 20
meter itu telah berakhir. Mereka pun saling bersalaman. Para
jamaah tua pulang ke rumah masing-masing -- sementara para
santri mulai memasuki kelas untuk siap menerima pelajaran hari
itu.
Pemandangan di Pesantren Fathiyyah di Kampung Pagendingan,
Kecamatan Cisayong, Tasikmalaya, itu terlihat setiap pagi.
Dengan urutan yang hampir tak pernah berubah. Dan, barangkali,
itulah salah satu keunikan perguruan ini dibandingkan dengan
pesantren pada umumnya.
Tapi tak kalah penting dari itu, di pesantren ini para santri
maupun guru sdalu berpakaian serba putih. Mulai dari peci dan
jubah bagi santri dan guru pria. Yang membedakannya hanya
"selendang": hijau untuk para santri, merah bagi dewan guru.
Santri wanita begitu pula: kain, mukena, berikut cadar penutup
muka. Serba putih. Bedanya, santri yang tinggal di luar
pesantren sering terlihat memakai kain dan cadar yang tidak
putih. Namun orang-orang Tasikmalaya sejak dulu sudah menyebut
para jamaah maupun santri pesantren ini sebagai "golongan
putih".
Berpakaian serba putih, ternyata bukan satu keharusan yang
mutlak diikuti para santri atau jamaahnya. Sebab, "kalau ada
yang berpakaian lain, tidak ada sanksi apa-apa," seperti kata
Hasbullah Gelar Tuan Rajo, 40 tahun, ketua Harian Yayasan
Pesantren Fathiyyah. Tetapi, tambah Hasbullah, "kami hanya
menyampaikan ajaran Islam tentang pakaian muslim dan muslimat
yang serba putih." Walau tak ada sanksi, semua santri dan jamaah
selalu patuh. "Saya kira ini kesadaran mereka saja," lanjut
Hasbullah. Pengurus pesantren kelahiran Majalaya yang mendapat
gelar Tuan Rajo karena pernah menyembuhkan orang gila di
Lampung.
Kiai Haji M.Dahlan, pini sepuh dan mursyid (pembimbing utama)
pesantren itu, menjelaskan lebih terperinci. "Berpakaian
putih-putih adalah sunnat yang dianjurkan Nabi. Pahalanya sama
dengan 100 orang mati syahid," katanya mengutip bagian hadis
Nabi. Tidak semua orang, katanya, kuat berpakaian seperti itu.
"Pada tingkat kesadaran paling tinggi, orang akan sadar
sepenuhnya untuk mengamalkan sesuatu yang paling baik. Yang
paling baik itu adalah apa yang dilakukan dan dikerjakan Rasul
sebagai panutan kita." K.H. Dahlan menunjuk contoh Buya Hamka
yang dulunya tak mau pakai surban dan qamis, tetapi belakangan,
sampai meninggal, mengenakan qamis dan surban putih setiap
berkhotbah.
Yang juga tergolong unik, di pesantren ini dilarang merokok.
"Kami bukan mengharamkan, karena kalau mengharamkan berarti ada
yang menghalalkan. Kami hanya menyampaikan bahwa merokok itu
haram," ujar K.H. Dahlan, 67 tahun, yang mewarisi pesantren itu
dari ayahnya.
Semua keunikan yang tak dijumpai di pesantren lain, sesungguhnya
sudah melalui suatu musyawarah dan diskusi yang panjang dan
hasilnya tertuang dalam suatu keputusan. Tentang merokok itu,
misalnya, kesimpulan diambil dalam diskusi ulama Tharieqat
Idrisiyyah di Pesantren Fathiyyah 29 November 1976. Pegangannya
antara lain hadis yang tercantum dalam kitab Bughyatul
Mustarsyidien. Bab berpakaian putih, hasil diskusi 18 Maret
1977. Berzikir sambil berdiri dan berputar membentuk lingkaran,
hasil diskusi para ulama 14 Juli 1977.
Pesantren Fathiyyah berada di atas tanah seluas 2 hektar.
Sekarang punya 100 santri tetap, artinya tinggal di asrama
pesantren di antaranya 43 santri wanita. Santri yang tidak
tinggal di pondok -- disebut: santri ngalong -- sekitar 300
orang. Pesantren ini memiliki pula madrasah Ibtidaiyah dengan
225 murid dan Tsanawiyyah dengan 64 murid. Untuk kedua madrasah
ini dibimbing 20 orang guru.
Fathiyyah menganut aliran Tharieqat Idrisiyyah, salah satu
aliran tasawuf yang mengkhususkan diri pada kesucian rohani.
Semua pengikut aliran ini -- tentu saja karena pernah belajar di
Pondok Fathiyyah -- disebut "murid". Menurut catatan, murid ini
berjumlah 24 ribu orang, tersebar di seluruh pelosok tanah air,
bahkan sampai Singapura dan Malaysia. Organisasinya pun rapi,
telah berdiri 27 cabang. Pengikut tharieqat ini semuanya
dibai'at di hadapan pimpinannya, yang kini dipegang K.H. Dahlan.
Bai'at bisa perseorangan atau massal. Seseorang yang akan
dibai'at harus memenuhi syarat: bersedia jadi murid yang cinta
dan patuh (mahabbah wa taslim) kepada sang kiai. Menganggap
K.H. Dahlan sebagai pucuk pimpinan atau "guru mursyid".
Pada bulan Maulud, semua murid dianjurkan berkumpul di pesantren
melaksanakan upacara qini. Artinya, peliharalah diri kami.
Pertemuan ini lebih ditekankan kepada penataran rohani dengan
acara penting: berzikir sambil berkeliling membentuk lingkaran.
Acara ini tak mengenal waktu lagi, dilakukan sampai tak sadarkan
diri. Zikir sampai pingsan ini, menurut Hasbullah, adalah taraf
zikir yang paling baik. "Mereka sudah mutlak berserah diri,"
katanya: "Pingsan itu tak ada dalam kamus, yang ada keasyikan,
hingga lupa sekitar, karena terlalu asyik memuja Tuhan."
Tidak ada catatan yang jelas, kapan pesantren ini berdiri. "Saya
lahir, pesantren ini telah ada," kata K.H. Dahlan. Pendirinya,
K.H. Abdul Fatah, dari Kampung Cidahu, Desa Mekarwani,
Tasikmalaya. Almarhum ini pernah berguru di Arab Saudi, dan
setelah pulang mengembangkan aliran Sanusiyyah yang kemudian
diubah jadi Idrisiyyah. Dan mendirikan pesantren di Cidahu.
Tahun 1932, K.H. Abdul Fatah mengungsi ke Jakarta dan aktif
dalam gerakan Hizbullah. Ketika kemerdekaan diproklamasikan,
Abdul Fatah kembali mengaktifkan pesantrennya dan kemudian
menyerahkan kepada putranya, K.H. Dahlan. Pesantren dipindahkan
ke Pagendingan. Tahun 1947, Abdul Fatah meninggal dalam usia 63
tahun.
K.H. Dahlan tidak selalu berada di pesantrennya. Kiai dengan 4
istri dan 18 anak ini mondar-mandir Tasikmalaya-Jakarta. Tiga
istrinya ada di pesantren dan seorang (istri ketiga) di Jakarta.
Rumah di Jakarta ini dijadikan Cabang Tharieqat Idrisiyyah. Di
sini ada pengajian setiap Kamis malam. Karena tak selalu di
pesantren itulah, K.H. Dahlan menunjuk iparnya, K.H. Zainal
Abidin, sebagai pembina pesantren.
Selain Pesantren Fathiyyah di Jawa Barat ini, di Jawa Timur juga
ada beberapa pesantren warna putih. Salah satu adalah Pesantren
Naudlatul Muta'allimin di Sawah Pulo, Kecamatan Semampir, Kota
Madya Surabaya. Semua santri yang akan melaksanakan salat
diwajibkan memakai jubah berwarna putih. Sementara kopiah putih
selalu dikenakan jika berada di dalam pesantren.
Untuk mengetahui santri yang tak memakai jubah dan tak salat
dikenakan absen yang ketat. Jika ada yang melanggar dikenakan
hukuman: kepalanya digundul.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini