Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosial

Upacara subuh golongan putih

Keunikan di pesantren fathiyyah di kampung pagedingan, tasikmalaya. menganut aliran tharieqat idrisiyyah. para santrinya berpakaian serba putih dan bercadar. (ag)

6 Agustus 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

APABILA suara adzan subuh mulai terdengar, dengan cepat masjid itu dipenuhi jamaah yang berpakaian serba putih. Tua dan muda. Pria serta wanita. Selesai bersembahyang, mereka berdiri membuat lingkaran. Satu lingkaran khusus untuk para wanita, lainnya bagi pria. Dengan komando seorang imam, mereka berputar dalam lingkaran masing-masing, sambil berzikir. Suara zikir mula-mula terdengar pelan. Semakin keras -- dan bertambah keras. Kemudian perlahan lagi. Sampai akhirnya imam memberi tanda, bahwa "upacara" di dalam masjid berukuran 15 x 20 meter itu telah berakhir. Mereka pun saling bersalaman. Para jamaah tua pulang ke rumah masing-masing -- sementara para santri mulai memasuki kelas untuk siap menerima pelajaran hari itu. Pemandangan di Pesantren Fathiyyah di Kampung Pagendingan, Kecamatan Cisayong, Tasikmalaya, itu terlihat setiap pagi. Dengan urutan yang hampir tak pernah berubah. Dan, barangkali, itulah salah satu keunikan perguruan ini dibandingkan dengan pesantren pada umumnya. Tapi tak kalah penting dari itu, di pesantren ini para santri maupun guru sdalu berpakaian serba putih. Mulai dari peci dan jubah bagi santri dan guru pria. Yang membedakannya hanya "selendang": hijau untuk para santri, merah bagi dewan guru. Santri wanita begitu pula: kain, mukena, berikut cadar penutup muka. Serba putih. Bedanya, santri yang tinggal di luar pesantren sering terlihat memakai kain dan cadar yang tidak putih. Namun orang-orang Tasikmalaya sejak dulu sudah menyebut para jamaah maupun santri pesantren ini sebagai "golongan putih". Berpakaian serba putih, ternyata bukan satu keharusan yang mutlak diikuti para santri atau jamaahnya. Sebab, "kalau ada yang berpakaian lain, tidak ada sanksi apa-apa," seperti kata Hasbullah Gelar Tuan Rajo, 40 tahun, ketua Harian Yayasan Pesantren Fathiyyah. Tetapi, tambah Hasbullah, "kami hanya menyampaikan ajaran Islam tentang pakaian muslim dan muslimat yang serba putih." Walau tak ada sanksi, semua santri dan jamaah selalu patuh. "Saya kira ini kesadaran mereka saja," lanjut Hasbullah. Pengurus pesantren kelahiran Majalaya yang mendapat gelar Tuan Rajo karena pernah menyembuhkan orang gila di Lampung. Kiai Haji M.Dahlan, pini sepuh dan mursyid (pembimbing utama) pesantren itu, menjelaskan lebih terperinci. "Berpakaian putih-putih adalah sunnat yang dianjurkan Nabi. Pahalanya sama dengan 100 orang mati syahid," katanya mengutip bagian hadis Nabi. Tidak semua orang, katanya, kuat berpakaian seperti itu. "Pada tingkat kesadaran paling tinggi, orang akan sadar sepenuhnya untuk mengamalkan sesuatu yang paling baik. Yang paling baik itu adalah apa yang dilakukan dan dikerjakan Rasul sebagai panutan kita." K.H. Dahlan menunjuk contoh Buya Hamka yang dulunya tak mau pakai surban dan qamis, tetapi belakangan, sampai meninggal, mengenakan qamis dan surban putih setiap berkhotbah. Yang juga tergolong unik, di pesantren ini dilarang merokok. "Kami bukan mengharamkan, karena kalau mengharamkan berarti ada yang menghalalkan. Kami hanya menyampaikan bahwa merokok itu haram," ujar K.H. Dahlan, 67 tahun, yang mewarisi pesantren itu dari ayahnya. Semua keunikan yang tak dijumpai di pesantren lain, sesungguhnya sudah melalui suatu musyawarah dan diskusi yang panjang dan hasilnya tertuang dalam suatu keputusan. Tentang merokok itu, misalnya, kesimpulan diambil dalam diskusi ulama Tharieqat Idrisiyyah di Pesantren Fathiyyah 29 November 1976. Pegangannya antara lain hadis yang tercantum dalam kitab Bughyatul Mustarsyidien. Bab berpakaian putih, hasil diskusi 18 Maret 1977. Berzikir sambil berdiri dan berputar membentuk lingkaran, hasil diskusi para ulama 14 Juli 1977. Pesantren Fathiyyah berada di atas tanah seluas 2 hektar. Sekarang punya 100 santri tetap, artinya tinggal di asrama pesantren di antaranya 43 santri wanita. Santri yang tidak tinggal di pondok -- disebut: santri ngalong -- sekitar 300 orang. Pesantren ini memiliki pula madrasah Ibtidaiyah dengan 225 murid dan Tsanawiyyah dengan 64 murid. Untuk kedua madrasah ini dibimbing 20 orang guru. Fathiyyah menganut aliran Tharieqat Idrisiyyah, salah satu aliran tasawuf yang mengkhususkan diri pada kesucian rohani. Semua pengikut aliran ini -- tentu saja karena pernah belajar di Pondok Fathiyyah -- disebut "murid". Menurut catatan, murid ini berjumlah 24 ribu orang, tersebar di seluruh pelosok tanah air, bahkan sampai Singapura dan Malaysia. Organisasinya pun rapi, telah berdiri 27 cabang. Pengikut tharieqat ini semuanya dibai'at di hadapan pimpinannya, yang kini dipegang K.H. Dahlan. Bai'at bisa perseorangan atau massal. Seseorang yang akan dibai'at harus memenuhi syarat: bersedia jadi murid yang cinta dan patuh (mahabbah wa taslim) kepada sang kiai. Menganggap K.H. Dahlan sebagai pucuk pimpinan atau "guru mursyid". Pada bulan Maulud, semua murid dianjurkan berkumpul di pesantren melaksanakan upacara qini. Artinya, peliharalah diri kami. Pertemuan ini lebih ditekankan kepada penataran rohani dengan acara penting: berzikir sambil berkeliling membentuk lingkaran. Acara ini tak mengenal waktu lagi, dilakukan sampai tak sadarkan diri. Zikir sampai pingsan ini, menurut Hasbullah, adalah taraf zikir yang paling baik. "Mereka sudah mutlak berserah diri," katanya: "Pingsan itu tak ada dalam kamus, yang ada keasyikan, hingga lupa sekitar, karena terlalu asyik memuja Tuhan." Tidak ada catatan yang jelas, kapan pesantren ini berdiri. "Saya lahir, pesantren ini telah ada," kata K.H. Dahlan. Pendirinya, K.H. Abdul Fatah, dari Kampung Cidahu, Desa Mekarwani, Tasikmalaya. Almarhum ini pernah berguru di Arab Saudi, dan setelah pulang mengembangkan aliran Sanusiyyah yang kemudian diubah jadi Idrisiyyah. Dan mendirikan pesantren di Cidahu. Tahun 1932, K.H. Abdul Fatah mengungsi ke Jakarta dan aktif dalam gerakan Hizbullah. Ketika kemerdekaan diproklamasikan, Abdul Fatah kembali mengaktifkan pesantrennya dan kemudian menyerahkan kepada putranya, K.H. Dahlan. Pesantren dipindahkan ke Pagendingan. Tahun 1947, Abdul Fatah meninggal dalam usia 63 tahun. K.H. Dahlan tidak selalu berada di pesantrennya. Kiai dengan 4 istri dan 18 anak ini mondar-mandir Tasikmalaya-Jakarta. Tiga istrinya ada di pesantren dan seorang (istri ketiga) di Jakarta. Rumah di Jakarta ini dijadikan Cabang Tharieqat Idrisiyyah. Di sini ada pengajian setiap Kamis malam. Karena tak selalu di pesantren itulah, K.H. Dahlan menunjuk iparnya, K.H. Zainal Abidin, sebagai pembina pesantren. Selain Pesantren Fathiyyah di Jawa Barat ini, di Jawa Timur juga ada beberapa pesantren warna putih. Salah satu adalah Pesantren Naudlatul Muta'allimin di Sawah Pulo, Kecamatan Semampir, Kota Madya Surabaya. Semua santri yang akan melaksanakan salat diwajibkan memakai jubah berwarna putih. Sementara kopiah putih selalu dikenakan jika berada di dalam pesantren. Untuk mengetahui santri yang tak memakai jubah dan tak salat dikenakan absen yang ketat. Jika ada yang melanggar dikenakan hukuman: kepalanya digundul.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus