TIGA ratus orang lebih dibunuh. Dan rakyat bersorak-sorai. Dan
Dewan Perwakilan Rakyat tutup mulut. Suratkabar menghidangkan
foto mayat dan riwayat yang sadis. Majalah yang berjiwa
cendekiawan memberi laporan dua kali tentang dokter dan mantri
yang harus membedah mayat orang yang dibunuh.
Kalau di sana-sini didengar suara lemah yang bertanya mengenai
kuasa hukum atau hak warga negara, jawaban macam-macam: shock
therapy, killersquad, shortcut dan pelbagai kata lain. Kejadian
cukup jelas. Sejumlah unsur mafioso menjadi terlalu berani dan
terlalu sadis. Pelbagai operasi penegak hukum tidak berhasil,
sehingga orang memakai sistem militer, tembak dulu baru
bertanya. Semua itu rupanya sehat, efisien, penuh tanggung
jawab.
Adolf Hitler pernah menyuruh semua orang gila dibunuh. Aturan
itu sangat masuk akal. Seterusnya anak cacat dan mental
deficient disuruh bunuh. Juga masuk akal. Waktu dia mulai
membunuh orang berdasar asas rasial, waktu wartawan dan
cendekiawan disuntik, orang mulai bertanya di mana batas operasi
itu.
Mesin-mesin perusahaan hukum bergerak lambat. Kadang terlalu
lambat. Tapi ada batas dan mekanisme dikuasai. Lain dengan hukum
rimba: polisi membunuh penjahat, penjahat membunuh penjahat,
penjahat membunuh orang berhubung dengan aliran politik atau
agama, penjahat membunuh polisi, dan muncul situasi seperti di
Filipina sebelum martial law Marcos: setiap keluarga dan
instansi yang kaya punya killersquad dan setiap soal
diselesaikan dengan pistol.
Presiden Suriah harus dibunuh kata Mufti Yerusalem, dan kita
ingat cerita Alice in Wonderland dengan The Queen of Hearts yang
tidak bisa melihat orang mana pun tanpa berseru: "Head off!",
bunuhlah dia. Penaruh seperti itu bisa kuat, tapi negara ialah
negara korporatif selama haluan pemerintah dibimbing suara
pelbagai korporasi.
Dengan usaha yang banyak dan pembayaran yang besar orang
menciptakan MPR dan DPR. Tugas utama dua badan itu menjaga
keutuhan the rule of law. Sangat mengherankan bahwa pembunuhan
gali tidak menjadi persoalan dalam lingkungan itu. Juga dari
pihak kehakiman justru keadaan kehakiman ikut menyumbang
kemerosotan kuasa hukum. Hukuman yang dapat dibeli, sikap kebal
hukum pelbagai tingkat masyarakat, semua melemahkan kuasa
kehakiman -- dan orang bisa mengerti mengapa eksekutif mencari
akal yang lebih efisien. Meskipun bisa mengerti tidak berarti
bisa menyetujui.
Godaan shortcut atau shock therapy atau jalan pintas atau terapi
kejutan memang besar. Hanya moral restraint atau pengendalian
diri yang kuat bisa menyelamatkan the rule of law. Di Amerika
pernah terjadi pembunuhan seorang presiden, pembunuhan adiknya
yang Jaksa tinggi, pembunuhan seorang pemimpin besar, Martin
Luther King. Ada yang menuntut pembentukan killersquad -- tapi
bangsa dan pemerintah menguasai diri dan segala diatur sesuai
kuasa hukum.
Jerman, yang tidak bisa dianggap contoh demokrasi, juga
mengalami wabah pembunuh Der Rote Armee. Pembesar dibunuh pada
siang hari, dan jari banyak orangJerman menjadi gatal banyak
orang menuntut "aturan khusus". Tapi dengan moral restraint
orang menguasai diri. Orang Belanda yang negerinya dibanjiri
imigran Suriname, Ambon, Turki, Maroko, dan perbagai negeri
lain. mengalami pembajakan kereta api siang hari, tapi tetap
yakin bahwa juga soal itu bisa selesai berdasar proses yang
beraturan.
Demokrasi dan kuasa hukum baru menjadi mungkin berdasar tingkat
perkembangan budaya tertentu. Waktu King Arthur menyuruh para
pangeran mengabdikan diri pada kuasa hukum, raja yang bijaksana
itu ditertawakan. Ratusan tahun sesudahnya orang baru mengerti
seratus persen apa makna kuasa hukum.
Mencari dasar baru yang kekal, pasti, dan aman, bukan perkara
kecil. Satu langkah ke muka di bidang itu sangat susah. Satu
langkah ke belakang sangat gampang. Karena itu kita mudah
terjebak ke langkah mundur, dan itulah yang kini bisa terjadi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini