Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Kualitas udara Jakarta yang terus buruk sudah menggerakkan pemerintah untuk bergegas mengatasinya. Belakangan ini sedang ramai diperbincangkan, pemerintah menggelar penyemprotan air dari gedung-gedung tinggi untuk mengurangi polusi udara Jakarta. Namun, penyemprotan ini dianggap percuma bahkan dikritik oleh banyak ahli.
Teknologi modifikasi cuaca
Pemerintah mengadakan modifikasi cuaca melalui teknologi alternatif dalam skala mikro untuk mengatasi polusi udara di Jakarta dengan melakukan penyemprotan air yang dilakukan dari gedung-gedung tinggi di wilayah Jakarta.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hal ini dilakukan mulai dari penyemprotan jalan-jalan protokol di Jakarta sampai melakukan Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC) atau biasa disebut dengan hujan buatan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta menurunkan sekitar 20 mobil pemadam kebakaran untuk melakukan penyemprotan di sejumlah jalan protokol Jakarta. Hal ini dilakukan sebagai salah satu upaya mengurangi polusi udara Jakarta yang kian memburuk.
Bahkan, Dinas Pemadam Kebakaran menurunkan 20 unit mobil pemadam kebakaran dengan 200 personel yang akan melakukan penyiraman. Lalu, selain mobil milik pemadam kebakaran, ada juga mobil pengangkut air milik pemerintah daerah, seperti Dinas Sumber Daya Air dan Dinas Lingkungan Hidup.
Dilansir dari laman ANTARA, Direktur Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Sigit Reliantoro mengatakan operasi teknologi modifikasi cuaca dengan menyemai garam ke lapisan atmosfer masih belum optimal, karena hanya ada sedikit awan hujan akibat musim kemarau panjang.
Teknologi penyemprotan air tidak bisa menyelesaikan masalah polusi udara seluas Jabodetabek, sehingga pemerintah pusat akan memilih daerah-daerah prioritas untuk dilakukan kegiatan penyemprotan.
Dikutip dari VoA Indonesia, aktivis Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jakarta, Muhammad Aminullah, mengatakan polusi udara di Jakarta merupakan masalah struktural.
Aminullah mengatakan ada beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya polusi udara, termasuk maraknya penggunaan transportasi pribadi dan lemahnya pengawasan pemerintah terhadap sektor industri.
Bahkan, dalam catatan Walhi Jakarta tingkat ketaatan industri di ibu kota cukup lemah. Pada 2021 ada sekitar 474 usaha yang tidak taat soal perizinan izin lingkungan. Selain itu, Walhi juga mencatat, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta hanya mampu melakukan pengawasan terhadap 848 pemegang izin lingkungan setiap tahunnya. Padahal setiap tahunnya mereka mengeluarkan lebih dari 3.000 izin lingkungan.
Penyemprotan air dari gedung-gedung tinggi?
Modifikasi cuaca yang dilakukan oleh pemerintah dinilai BMKG bukan solusi yang tepat untuk mengatasi polusi udara Jakarta. Berdasarkan analisa BMKG, peluang untuk memodifikasi cuaca masih terbuka hanya saja peluang itu cukup berat untuk dilakukan dengan melihat kondisi musim kemarau yang minim awan kumulus yang menjadi target penaburan garam semai.
Selanjutnya: Pemerintah harus melakukan inventarisasi emisi secara berkala...
Dikutip dari laman Greenpeace Indonesia, Charlie Abajaili, Juru Kampanye Keadilan Perkotaan Greenpeace Indonesia menyatakan pemerintah harus melakukan inventarisasi emisi secara berkala, perketat standar pencemaran udara mengikuti ambang batas WHO, serta merancang sistem peringatan dini jika kualitas udara tercemar.
Dengan begitu, dampak polusi udara dapat ditekan dan warga bisa mendapatkan hak untuk menghirup udara bersih. Kebijakan pemberian subsidi kendaraan listrik adalah solusi palsu. Subsidi tersebut sebaiknya digunakan untuk memperbanyak transportasi umum massal berbasis listrik, bukan kendaraan pribadi. Terlebih lagi sumber listriknya masih berasal dari energi fosil.
Pendapat Charlie yang meragukan efek positif penyemprotan air di Jakarta diperkuat oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh China. Sebelumnya, penelitian para ahli dalam jurnal National Library of Medicine (NIH) yang dipublikasikan pada Mei 2021 menyatakan penyemprotan air skala besar justru berkontribusi, alih-alih mengurangi, menyebabkan polusi udara.
Penyemprotan air malah memicu peningkatan konsentrasi Partikulat Meter (PM) 2.5. Menurut peneliti, air yang disemprot dapat menghasilkan aerosol antropogenik baru atau partikel halus yang tidak terlihat dan dengan demikian menjadi sumber polusi udara baru.
Solusi yang digunakan pemerintah hingga melakukan TMC justru semakin memperburuk kondisi kualitas udara Jakarta. Penyemprotan air dari gedung-gedung tinggi percuma bukan menjadi solusi, namum malah bisa meningkatkan tingkat polusi udara Jakarta.