Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Kursi untuk Penyokong Baru

Pemerintah sempat menunggu konflik Partai Golkar selesai untuk merombak kabinet. Muncul opsi reshuffle tanpa Golkar.

14 Maret 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MOHAMAD Suleman Hidayat sengaja bertandang ke kediaman Aburizal Bakrie di Jalan Mangunsarkoro, Menteng, Jakarta Pusat, pada Selasa petang pekan lalu. Sembari menyeruput teh hangat, Hidayat ingin mendengar langsung jawaban Ketua Umum Partai Golkar itu tentang isu politik teranyar, yakni musyawarah nasional dan perombakan kabinet. Mantan Menteri Perindustrian ini tak cukup puas mendengar perang pernyataan kader Golkar di media massa.

Aburizal menuturkan, kata Hidayat, pelaksanaan musyawarah nasional paling cepat dilakukan pada akhir Juli 2016. Aburizal merasa perlu waktu menata organisasi partai setelah Mahkamah Agung menolak gugatan kubu Agung Laksono. Hidayat kemudian bertanya tentang wacana pemerintah mengajak Golkar bergabung. Jawabannya, Aburizal mempersilakan pemerintah merombak kabinet dalam waktu dekat tanpa perlu menunggu suksesi partai berlambang beringin itu. "Silakan jalan tanpa Golkar," ujar Hidayat, Kamis pekan lalu, menirukan ucapan Aburizal.

Opsi menggandeng Golkar ke kabinet muncul setelah keluar pernyataan mendukung pemerintah melalui rapat kerja nasional yang digelar pada Januari lalu. Menurut seorang pejabat di Istana, rencana itu klop dengan kehendak Presiden Joko Widodo agar konsolidasi partai politik selesai tahun ini. Jokowi tak ingin kisruh dua partai politik, yakni Golkar dan Partai Persatuan Pembangunan, mengganggu stabilitas pemerintahan. Tatkala mendengar Golkar memutuskan mendukung pemerintah, Istana mengutus sejumlah menteri hadir dalam penutupan rapat kerja Golkar.

Beberapa hari setelah rapat kerja nasional berakhir, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Hamonangan Laoly mengeluarkan surat keputusan memperpanjang enam bulan masa kepengurusan hasil musyawarah Riau. Harapannya, ketua umum baru terpilih adalah figur yang bisa diajak bekerja sama oleh pemerintah.

Tahap menuju suksesi awalnya berjalan mulus. Indikasinya terlihat saat kepengurusan Golkar hasil musyawarah Riau 2009 mengadakan rapat pada 4 Februari lalu. Ini merupakan rapat gabungan pertama setelah Golkar terbelah menjadi dua kubu selama dua tahun terakhir. Tiga pekan berikutnya, rapat kembali digelar untuk membahas teknis pelaksanaan musyawarah, seperti jadwal dan kepanitiaan. Rupanya, hasil rapat harian ini tak kunjung dibawa ke rapat pleno.

Tahap suksesi justru gelita ketika Mahkamah Agung menyatakan musyawarah Bali sah secara hukum. Putusan ini membuat jadwal rapat pleno penetapan jadwal musyawarah nasional menjadi tidak jelas. Sekretaris Jenderal Partai Golkar Idrus Marham menampik tudingan bahwa Aburizal mengulur-ulur waktu. Menurut dia, partainya sedang dalam tahap menindaklanjuti putusan Mahkamah Agung. "Kami mau mengharmonisasi kepengurusan, mengakomodasi kubu lain," ujar Idrus, Kamis pekan lalu.

Tarik-ulur di kalangan internal Golkar, menurut seorang politikus, juga menjadi faktor maju-mundur perombakan kabinet. M.S. Hidayat mengakui soal wacana ini. Menurut dia, tawaran masuk ke pemerintah memang pernah terlontar dari lingkaran dalam Istana meskipun tak langsung datang dari Jokowi. "Memang belum konkret," kata Hidayat. Menurut dia, reshuffle bakal segera terlaksana seandainya partainya segera memilih ketua umum baru. "Jika proses di Golkar cepat, tentu perombakan bisa jalan."

Idrus Marham menampik anggapan bahwa molornya waktu musyawarah itu karena menunggu kepastian waktu perombakan kabinet. Menurut dia, dukungan ke pemerintah dilakukan tanpa syarat, apalagi diikuti permintaan kursi menteri. Aburizal tak secara langsung membantah adanya tawaran masuk kabinet. "Kalau menolak, nanti dibilang sombong. Kalau menerima, nanti dibilang karakternya memang begitu," ujar Aburizal.

Para calon ketua umum partai berlambang beringin ini bukannya tak bermanuver untuk merapat ke pemerintah. Salah satu yang intens berkomunikasi dengan Istana adalah Ade Komarudin. Komunikasi Ade dengan Jokowi relatif cair karena jabatannya sebagai Ketua Dewan Perwakilan Rakyat. Beberapa kali keduanya bersua untuk membicarakan isu krusial, seperti perubahan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Ade mengakui tradisi Golkar selama Orde Baru adalah selalu berada di pemerintahan. Akibatnya, hampir mustahil melihat partainya berperan sebagai oposisi. Sejumlah orang dekatnya menuturkan Ade kerap bertemu secara informal dengan Jokowi. Dimintai konfirmasi soal ini, Ade hanya berujar, "Saya ini apa, sih."

Calon Ketua Umum Golkar lain yang bergerak merapat ke pemerintah adalah Airlangga Hartarto. Tiga pekan lalu, mantan Ketua Komisi Badan Usaha Milik Negara DPR ini bertamu diam-diam ke Istana Merdeka. Kedatangannya lolos dari perhatian media massa. Sejumlah politikus menuturkan, kedatangan Airlangga antara lain membahas pencalonannya sebagai Ketua Umum Golkar.

Airlangga tak membantah kabar tentang pertemuannya dengan Jokowi. Hanya, menurut dia, kedatangannya ke Istana bertujuan membahas peta jalan industri kehutanan. "Terutama perkembangan hutan tanaman industri, yang mandek satu dekade," kata Airlangga. Saat ditanya mengenai dukungan pemerintah terhadap pencalonannya, Airlangga hanya memberikan tanda jempol.

Selain Golkar yang merapat ke pemerintah, Partai Amanat Nasional pun menanti perombakan kabinet. Sejak resmi menyatakan bergabung dengan pemerintah, PAN belum kebagian jatah kursi. Meskipun tak pernah meminta terang-terangan, partai berlambang matahari ini sempat mengirim kode ke Istana soal jatah menteri.

Pada Desember tahun lalu, Ketua PAN Aziz Subekti tiba-tiba menyatakan Presiden bakal merombak susunan pembantunya. Aziz kala itu mengklaim partainya bakal mendapat jatah dua kursi kabinet, yaitu Menteri Perhubungan, yang bakal diduduki Taufik Kurniawan, serta Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, yang ditempati Asman Abnur.

Klaim Aziz langsung dibantah Sekretaris Kabinet Pramono Anung. Presiden Jokowi, kata dia, belum membuat kesepakatan dengan partai apa pun soal kabinet. Belakangan, Pramono membenarkan adanya partai politik yang meminta jatah dua kursi di kabinet.

Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan mengatakan apa yang dikatakan Aziz tidak mewakili suara resmi partai. "Kader kami memang bebas berbicara apa saja," ujar Zulkifli. Seorang politikus PAN menuturkan, partainya menyadari Presiden tak bisa ditekan secara terbuka. Akibatnya, mereka memilih tak melontarkan pernyataan terbuka di media.

Seorang pejabat di Istana menuturkan, semula PAN mengincar kursi Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, yang pernah ditempati Zulkifli di era pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono. Politikus ini menyadari posisi itu susah didapat karena sudah diisi politikus Partai NasDem. Belakangan, kata pejabat ini, PAN mengincar posisi Menteri Pertanian. "Lebih baik menggeser kursi nonpartai," ujarnya.

Zulkifli Hasan tak bersedia berkomentar banyak tentang perombakan kabinet. Dia mengakui beberapa kali berdiskusi dengan Presiden, tapi tak pernah menyinggung soal perombakan menteri. Menurut dia, segala sesuatu tentang kabinet adalah kewenangan Presiden. "Kami menyerahkan sepenuhnya kepada beliau," kata Zulkifli.

Wayan Agus Purnomo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus