Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PERBAIKAN pipa di lapangan produksi minyak Main Pass dan East Kameron Teluk Meksiko itu membetot perhatian Medco Energi dalam sebulan terakhir ini. Perusahaan nasional milik Arifin Panigoro ini menargetkan kedua blok itu bisa beroperasi awal tahun depan. "Momentumnya sangat bagus," kata Chairman Medco Energi, Hilmi Panigoro, kepada Tempo, Senin pekan lalu.
Yang dimaksud Hilmi tak lain adalah prospek kenaikan harga minyak pada 2010. Upaya pemulihan perekonomian di sejumlah negara, terutama Amerika Serikat sebagai pasar minyak terbesar, diperkirakan akan mengerek permintaan. Tak cuma itu, naiknya permintaan juga didorong makin meningkatnya ekonomi dan industri di Cina, India, dan Timur Tengah. Faktor pemicu lainnya, menurut Kepala Divisi dan Pasar Minyak International Energy Agency (IEA) David Fyfe, adalah meningkatnya konsumsi negara berkembang.
Menurut Fyfe, besaran kenaikannya bakal mencapai 1,7 persen per hari atau setara dengan 1,4 juta barel. Artinya, seperti yang dilansir laporan bulanan IEA pada Oktober lalu, permintaan minyak akan naik menjadi rata-rata 86,1 juta barel per hari tahun depan. Sedangkan pada 2009, angkanya hanya 84,6 juta barel per hari.
Dengan ramalan itu, kata Hilmi, harga minyak tahun depan diperkirakan US$ 70-80 per barel. Sedangkan menurut polling Reuters yang dilakukan pada Oktober 2009, perkiraan harganya akan berada di level US$ 74 per barel. Lain lagi dengan departemen energi Amerika, yang menetapkan di angka US$ 72,42 per barel. Kisaran yang agak lebar diperkirakan oleh Centre for Global EnergyStudies. Lembaga riset yang bermarkas di London ini mematok di angka US$ 62,4-76,5. Bandingkan dengan tahun ini, yang harga rata-ratanya tidak akan jauh dari US$ 60 sampai 65 per barel.
Pada prakteknya, menurut mantan Gubernur Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC) Indonesia, Maizar Rahman, harga bisa di atas perkiraan. Ini terjadi ketika naiknya permintaan berbarengan dengan adanya konflik di negara produsen minyak seperti Timur Tengah. Tak hanya itu, kata Maizar, spekulasi perdagangan di pasar berjangka yang memperdagangkan komoditas ini, New York Mercantile Exchange dan International Petroleum Exchange, London, perlu diwaspadai. "Ini terjadi jika dolar melemah terhadap euro," kata pria yang kini menjabat komisaris Pertamina ini.
Soal aksi spekulan ini, Maizar mencontohkan booming minyak pada 2008. Saat itu harga minyak pada triwulan kedua selalu bertengger di atas US$ 120 per barel. Bahkan, pada Juni, harganya sempat menyentuh level US$ 140 per barel. Situasi ini dipicu oleh terus melemahnya dolar terhadap euro akibat krisis kredit perumahan di Amerika. Harga mulai susut sampai akhirnya terjun bebas ke level US$ 50 per barel pada November, ketika dolar kembali menguat terhadap euro. Penyebabnya persepsi negatif pelaku pasar terhadap kondisi perekonomian saat itu.
Nah, persoalannya ada di sini. Sejauh ini, kata Maizar, fluktuasi harga lebih banyak dipicu faktor nonfundamental. Spekulasi itu contohnya. Sedangkan faktor fundamental, seperti permintaan, suplai, stok, dan cadangan minyak, tak begitu banyak berpengaruh. "Tak mengherankan kalau harga minyak tak pernah bisa ditebak," kata dia. Situasi bisa menjadi-jadi manakala melonjaknya permintaan tidak dibarengi oleh suplai yang memadai.
Untuk tahun depan, kata Maizar, anggota OPEC, terutama negara di wilayah Timur Tengah, dan non-OPEC seperti Rusia, berkomitmen menambah pasokan paling sedikit 300 ribu barel per hari. Di luar itu, OPEC juga masih menyisakan cadangan 6 juta barel per hari minyak. Diperkirakan, tambahan produksi ini bisa menutup tambahan permintaan. "Kalau dua hal itu seimbang, tren harga tahun depan tidak jauh dari tahun ini," kata Maizar.
Pemerintah Indonesia tetap akan mewaspadai tren harga itu. Menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani, pergerakan harga minyak dipelototi hari demi hari. Fluktuasi harga komoditas ini akan berpengaruh besar terhadap besaran subsidi bahan bakar minyak di dalam negeri. Sebab, dari kebutuhan sekitar 1,4 juta barel per hari, 500 hingga 600 ribu barel masih harus diimpor. Belum lagi asumsi harga minyak yang dipakai jauh lebih rendah dari realisasi harga minyak dunia. "Kami akomodasi semua risiko dalam APBN," kata dia.
Asumsi harga minyak yang dipatok di APBN (Indonesian Crude Price-ICP) sebesar US$ 60 per barel dengan target produksi (lifting) 965 barel per hari. Sayangnya, dari jumlah produksi itu, hanya 700 barel per hari yang masuk ke pemerintah. Sisanya dibagikan ke kontraktor dan diekspor karena tidak bisa diolah di dalam negeri. Besaran inilah yang kemudian dikritik pengamat perminyakan Kurtubi. Ibaratnya, lampu sudah kuning, tapi pemerintah tidak berbuat apa-apa. Di tengah risiko naiknya harga karena naiknya permintaan, Kurtubi mengatakan, "Angka itu terlalu konservatif."
Kurtubi meminta pemerintah belajar dari pengalaman. Pada 2008, misalnya. Saat itu pemerintah beberapa kali merevisi asumsi harga minyak akibat fluktuasi yang begitu cepat. Meskipun sudah menaikkan asumsinya dari US$ 83 per barel menjadi US$ 95 per barel, toh upaya itu tidak berhasil menutup tekor anggaran. Jurus pamungkas menaikkan harga minyak pun dilakukan untuk menutup subsidi yang membengkak. Bukan tidak mungkin hal itu terulang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo