Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PEKAT telah menyelimuti Samarinda, Jumat malam dua pekan lalu. Lampu-lampu halogen yang ditancapkan dengan sebilah bambu membuat terang area tambang CV Bukit Pinang Bahari. Embun yang mulai turun tak membuat Damin kedinginan. Bertelanjang dada, dia cekatan memasukkan bongkahan batu bara ke karung.
Bersama 50 pekerja lepas lain dari Samarinda Ulu, Damin menggarap lahan satu hektare itu hanya bermodal sekop dan cangkul. "Kalau lembur kayak gini, bisa 130 karung," kata Damin. Dengan upah Rp 1.000 per karung, ayah empat anak ini paling sedikit bisa mengantongi Rp 100 ribu sehari.
Menurut Irwan, General Manager Bukit Pinang, walau penambangan dilakukan secara tradisional, pemegang kuasa pertambangan ini mampu menjual 20 kontainer batu bara dalam sepekan. Setiap kontainer berisi 320 karung senilai Rp 9 juta-10 juta.
Bukit Pinang hanya satu dari empat kuasa pertambangan yang dimiliki Muhdiyat Noor. Di Samarinda Utara, sarjana kehutanan Universitas Mulawarman itu menguasai CV Tiara Bara Borneo. Karena area ini jauh lebih besar, sekitar 400 hektare, Tiara Bara mengerahkan 73 unit alat berat seperti ekskavator dan truk jumbo.
Sejak area tambang ini dibuka dua bulan lalu, Tiara Bara telah menjual 20 ribu ton. Batu bara itu dikirim ke pembangkit listrik tenaga uap Tanjung Jati, Jawa Tengah. "Kami sudah kontrak tiga tahun untuk memasok 40 ribu ton per bulan," kata Fariz Moh Farizudin, Project Manager Tiara Bara.
Menjalin kontrak dengan pembeli besar merupakan sukses tersendiri bagi Muhdiyat. Sebab, pemegang kuasa pertambangan jarang memiliki pembeli tetap. Biasanya mereka baru bertransaksi setelah batu bara berada di dermaga. Kelincahan pengusaha muda itu membuat namanya cukup berkibar di Kalimantan Timur walau baru menggeluti bisnis tambang setahun lalu.
Hampir tiap semester lelaki 30 tahun ini juga mengantongi izin membuka lahan baru dari pemerintah daerah. Padahal ongkos membuka satu area tambang bisa sampai Rp 2 miliar. Menurut dia, selain untuk perizinan, juga untuk pengeboran dan pembebasan lahan. "Kalau bakal ada tambang, harga tanah langsung melonjak," kata Muhdiyat. Harga setiap hektare bervariasi Rp 20 juta hingga 50 juta.
Tak peduli butuh modal jumbo, Muhdiyat meninggalkan bisnis lamanya sebagai kontraktor. Laba besar dari harga batu bara yang fantastis jadi satu alasan. Apalagi, ia memperkirakan, permintaan barang tambang ini terus meningkat.
Untuk menggenjot pertumbuhan ekonomi hingga 6 persen, pemerintah memang mengandalkan batu bara sebagai salah satu pendorong. Menurut Sekretaris Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara Said Didu, penyumbang utama pertumbuhan 1,5 persen di badan usaha negara berasal dari pertambangan.
Investor juga tengah menggandrungi batu bara. Sejumlah perusahaan yang tak bergerak di pertambangan pun melirik komoditas ini. Misalnya, perusahaan kontraktor PT Duta Graha tengah mengincar kontrak pertambangan di Sumatera dan Kalimantan. Alasannya, proyek pertambangan memiliki jeda kontrak yang panjang.
PT Medco Energi Internasional, yang bergerak di industri minyak dan gas, tahun ini malah mengakuisisi dua perusahaan tambang, PT Duta Tambang Sumber Alam dan PT Duta Tambang Rekayasa, senilai US$ 886 ribu atau sekitar Rp 8,7 miliar. Bagi Medco, nilai tersebut tentu begitu kecil. Maklum, produksinya hanya sekitar 600 ribu ton setahun. "Ini bisnis baru. Kami sedang belajar," kata Hilmi Panigoro, Chairman Medco Energi.
Menurut Hilmi, masuk ke batu bara merupakan kiat perusahaan melebarkan sayap usaha. Permintaan akan fosil tumbuhan ini terus meningkat, untuk memenuhi kebutuhan pembangkit listrik, sehingga pasarnya jelas. Ia memperkirakan, hingga 15 tahun mendatang, posisi batu bara begitu penting sebagai sumber energi.
Direktur Masyarakat Batu Bara Indonesia Singgih Widagdo mengatakan, di pasar domestik, permintaan terbesar berasal dari PT Perusahaan Listrik Negara. Saat ini perusahaan pelat merah itu membutuhkan 35 juta ton batu bara. Dengan perhitungan 10 juta ton cukup untuk menggerakkan 3 ribu megawatt, kebutuhan tambahan proyek 10 ribu megawatt sekitar 33 juta ton.
Permintaan luar negeri juga mudah ditebak. Menurut Singgih, Cina dan India tetap menjadi tujuan utama. Setiap tahun Negeri Panda itu menambah kapasitas listrik 8 ribu megawatt. Di India, laju pembangkit listrik juga cepat. Jadi, walau dua negara tersebut merupakan produsen utama batu bara, mereka tetap mengimpor. Tahun depan mereka diperkirakan membutuhkan suntikan 125 juta ton (lihat tabel).
Nah, untuk memasok ke sana, Australia menjadi pesaing terkuat. Menurut Singgih, problem Indonesia dengan Negeri Kanguru itu mirip, yakni kelebihan pasokan dalam negeri. Bedanya, di Indonesia penyebabnya proyek pembangkit yang tak kunjung kelar, sedangkan Australia kelebihan pasokan lantaran semua kebutuhan bahan baku energinya sudah tercukupi.
Dalam persaingan ini, posisi Indonesia sebagai pemasok utama kawasan Pasifik dapat tergeser. Menurut Singgih, negeri benua itu terus meningkatkan infrastruktur untuk menopang sektor tambang, misalnya memperbesar pelabuhan. "Ditambah pengangkutan kapal yang murah, Australia makin kompetitif," kata Singgih. Apalagi pemasok untuk kawasan Atlantik seperti Afrika Selatan mulai menerobos India.
Sandiaga Uno, pemegang saham PT Adaro Energy, berpandangan serupa. Menurut dia, prospek batu bara tahun depan sangat baik. Sumber energi itu tetap jadi bintang komoditas didorong permintaan Cina dan India. "Tetapi infrastruktur masih menjadi kendala," kata Sandiaga.
Bila persoalan ini diselesaikan, pelaku usaha memperkirakan laju permintaan batu bara makin kencang pada tahun Macan. Bila semua gambaran itu terwujud, kata Singgih, batu bara tahun depan akan diperdagangkan pada kisaran US$ 75 per metrik ton. Namun angka itu bisa melonjak di atas US$ 100 bila para spekulan ambil bagian. Kemungkinan ini dapat terjadi ketika perbaikan ekonomi bergerak dengan cepat disertai banjir likuiditas.
Siapa Berebut Bara Hitam (Juta Ton)
Pengekspor | Tahun 2009 | Tahun 2010 |
Indonesia | 195 | 215 |
Australia | 135 | 145 |
Rusia | 85 | 90 |
Kolombia | 70 | 75 |
Cina | 62 | 65 |
Afrika selatan | 25 | 27 |
Amerika | 20 | 22 |
Lain-lain | 70 | 90 |
Pengimpor | Tahun 2009 | Tahun 2010 |
Jepang | 115 | 115 |
Korea Selatan | 80 | 83 |
Cina | 60 | 65 |
Taiwan | 55 | 60 |
India | 40 | 60 |
Malaysia | 16 | 18 |
Asia lainnya | 30 | 34 |
Eropa | 200 | 215 |
Lain-lain | 80 | 85 |
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo