Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SUARA tawa dan cekikikan anak kecil terdengar riuh pagi itu. Anak-anak itu tampak agak takut memberikan wortel kepada beberapa rusa di dalam kandang. Orang tua mereka punya aktivitas sendiri: menjepret polah sang anak dan ber-selfie ria.
Ini bukan pemandangan di Taman Safari atau Ragunan, melainkan di Insan Cendekia Madani (ICM) Boarding School-sekolah Islam yang terletak di Jalan Ciater Raya, Kampung Maruga Ciater, Serpong, Tangerang Selatan. Kebun binatang itu terletak di balik gerbang sekolah, sebelah kiri jalan masuk.
Sabtu dua pekan lalu, kami mengunjungi sekolah itu untuk menemui kepala sekolahnya, Heri Sriyanto. Lalu-lalang mobil mewah jadi pemandangan awal ketika kami mengelilingi sekolah dengan sistem asrama itu. Yang pasti, Anda tidak akan merasa berada di pesantren, tapi seperti sedang mengunjungi Sekolah Hogwarts, tempat Harry Potter belajar sihir.
Bagaimana tidak, bangunan gedung dan asramanya begitu megah. Halamannya luas dan banyak pepohonan. Kapasitas total asrama mencapai 600-an orang. Satu kamar berisi empat siswa. Itu diperuntukkan bagi siswa-siswi level sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas. Sekolah dasarnya ada, tapi tidak berasrama. Luas sekolah itu 8,5 hektare.
Di tempat inilah ketiga anak Sri Rahayu Sugiati, 48 tahun, bersekolah. Mereka adalah Ghoza Ya'afi Nu'maa, 17 tahun, duduk di kelas XII; Ghofari Sabilil Haq Taufiqurrahman (15), duduk di kelas X; dan Ghofira Muna Khansa Salsabila (12), kelas VIII. "Saya ingin anak saya pintar sekaligus kuat agamanya," kata Yayuk-nama panggilan Sri Rahayu-Senin pekan lalu.
Keempat anaknya memang telah belajar di sekolah Islam sejak prasekolah. Putra pertamanya, Ghozi Zul Fauzim, 19 tahun, sudah lulus sekolah menengah atas dan sekarang sedang kuliah di Jurusan Geologi Universitas Trisakti.
Pengusaha penangkaran ikan ini puas atas pilihannya. Ia merasa dirinya dan suami, Refa Mikanoma, 50 tahun-manajer perusahaan swasta-tidak salah pilih. Menurut dia, sekolah Islam telah membantu mendidik putra-putrinya dengan baik, khususnya bidang agama. "Anak-anak sudah khatam (menamatkan) Al-Quran berkali-kali. Hal ini pada gilirannya mengingatkan saya juga beribadah," katanya.
Sekolah Islam juga menjadi pilihan Lina Indriana, pegawai sebuah badan usaha milik negara, untuk mendidik putranya Andranata Bagus Pratama, 5 tahun. Ibu dua anak berusia 33 tahun ini menyekolahkan putranya itu di Yafiah Azhar Islamic School-prasekolah Islam-di Rawalumbu, Bekasi, Jawa Barat.
Lina ingin putranya itu lebih dalam mempelajari Islam di samping memiliki ilmu pengetahuan berkualitas sehingga dapat lanjut ke perguruan tinggi papan atas, baik di dalam maupun luar negeri nanti. Selain bersekolah Islam, Andra juga les piano di Yamaha dan bahasa Inggris di English First. "Banyak ajaran Islam yang dikenalkan sejak dini ke Andra. Kalau di rumah, gue enggak ada waktu mengajarinya," ujarnya Kamis pekan lalu.
Yayuk dan Lina, yang memilih sekolah Islam untuk anak-anaknya, mendukung paparan Yuswohady dalam bukunya, Marketing to the Middle-Class Moslem, tentang preferensi mendidik anak di kalangan kelas menengah muslim Indonesia. Menurut pakar marketing dari Center for Middle-Class Studies dan Inventure itu, saat ini telah terjadi pergeseran pilihan sekolah dibanding pada era 1980-1990.
Dulu pilihan pertama jatuh ke sekolah negeri. Kalaupun menyekolahkan anak ke sekolah swasta, pilihannya adalah sekolah Katolik atau Kristen, yang memang dianggap lebih maju daripada sekolah Islam pada 1970-an sampai 1990-an awal. Saat itu sekolah Islam untuk kelas menengah muslim bisa dihitung dengan jari. Al-Azhar adalah sedikit di antaranya. Sekolah Islam swasta saat itu tidak merepresentasikan kelas menengah.
Kini sekolah swasta Islam justru merupakan sekolah mahal dan mewah. Muslim kelas menengah siap membayar berapa pun harganya. "Orang tua tak selalu seharian bersama anaknya, karena sama-sama bekerja. Kompensasinya adalah menyekolahkan anak di sekolah yang dianggap mampu membangun karakter," kata Yuswohady, saat berdiskusi dengan Tempo beberapa waktu lalu.
Pembicaraan publik tentang kelas berkantong tebal Indonesia meningkat menjelang akhir 2011. Dalam berbagai diskusi dan pemberitaan media terungkap, jumlah kelas menengah Indonesia terus meningkat beberapa tahun terakhir. Jumlah mereka kini diperkirakan 60 persen lebih dari total penduduk Indonesia.
Apa ukuran seseorang atau satu keluarga termasuk kelas menengah? Secara sederhana, salah satu tim penulis buku setebal 300 halaman itu, Farid Fatahillah, mengatakan ukuran kelas menengah muslim yang dimaksud dalam surveinya ialah yang pengeluarannya Rp 4-17 juta per orang per bulan.
Dari data yang dimilikinya, 75 persen kelas menengah muslim yang disurvei tersebut menyekolahkan anaknya di sekolah Islam. Menurut Farid, mayoritas kelas menengah ini masuk kategori universalist-yang dalam buku itu didefinisikan sebagai orang berwawasan luas dan menerapkan nilai-nilai Islam dalam kehidupan keseharian. "Sosok muslim seperti ini lebih mau menerima perbedaan dan cenderung menjunjung tinggi nilai universal," kata Farid.
Fenomena sekolah asrama berkarakter Islam dengan pelajaran agama yang tidak seketat dan sekeras pesantren jadul marak pada 2000-an. Insan Cendekia Madani Islamic Boarding School adalah salah satu sekolah yang menawarkan sistem asrama dengan fasilitas premium. "Selain fasilitas nomor satu, siswa bisa mengikuti ekstrakurikuler menarik, seperti panahan dan berkuda," kata Heri Sriyanto, Kepala Sekolah Insan Cendekia Madani Islamic Boarding School.
Tata audio dan perangkat komputer modern juga melengkapi setiap ruang kelas dengan penyejuk udara. Kemudian terdapat kolam renang putra dan putri yang dipisah. Hampir setiap sudut dibekali fasilitas Wi-Fi untuk warga santri yang ingin berselancar di dunia maya.
Mereka juga bekerja sama dengan Cambridge International, yang merupakan penyedia pendidikan internasional terbesar di dunia. "Di sini pendekatannya gabungan aspek agama, sosiologis, dan humanis. Lebih moderat, bukan doktrinasi, melainkan pemahaman," tuturnya.
Ia mengakui untuk masuk sekolah ini cukup mahal. Orang tua harus merogoh kocek Rp 70 juta pada tahun pertama. Sedangkan pada tahun kedua, orang tua dibebani uang sekolah Rp 5 juta per bulan. "Biaya bukan masalah bagi sejumlah orang tua yang menyekolahkan anaknya di sini," ujarnya.
Hal itu dibenarkan Yayuk. "Soal biaya tidak ada masalah. Saat saya meninggal, yang ditanya adalah ilmu yang berguna dan anak yang saleh," ujar Yayuk, yang mengaku memiliki pendapatan Rp 50 juta per bulan. Wali murid sekolah ini beragam, dari anggota Dewan, petinggi polisi, direktur perusahaan, sampai ustad terkenal.
Salah satu siswa di sekolah ini adalah Farras Fauzan Syah Syarif, 15 tahun, seorang anak petinggi polisi. Ia mengatakan orang tuanya khawatir dirinya terpengaruh pergaulan bebas dan narkoba di kalangan remaja. Maka orang tuanya ingin memberikan pendidikan agama yang bagus untuknya. "Gue malah senang kok di sini, banyak teman dan belajar disiplin," katanya saat ditemui Tempo seusai salat zuhur bersama teman-temannya di kompleks asrama pada Sabtu dua pekan lalu.
Di sekolah dengan enam lapangan futsal ini, Farras bisa menyalurkan hobi sepak bolanya. Dandanan Farras, yang memiliki tinggi 179 sentimeter dan berat 70 kilogram, sama sekali tidak seperti santri. Meski hanya memakai kaus dan jins, penyuka band Muse, My Chemical Romance, dan Guns N' Roses itu tampak modis.
Dari kunjungan Tempo sejak siang hingga sore, di sekolah yang di bawah naungan Yayasan Edukasi Sejahtera ini memang tidak ada pemandangan pria berjanggut panjang, berjidat hitam, dengan celana panjang mengatung. Yang ada adalah pria dengan gaya rambut slick back-yang sekarang sedang menjadi tren-sedang mengaji di masjid. "Islam itu, menurut gue, adalah agama damai, hanya telah disalahartikan. Makna jihad itu besar, tidak merusak. Salah satunya adalah belajar keras," kata Farras.
Gunjingan di antara mereka begitu global, dari kehancuran Gaza, korupsi, Pharrell Williams, sampai Louis van Gaal, yang menjadi pelatih baru Manchester United. "Gue suka Van Persie karena dia muslim, tapi agama gue tetap Barcelona," kata Farras, yang punya cita-cita sederhana: menjadi imam keluarga yang baik bagi istri dan anak-anaknya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo