Awal April lalu, Doktor Nurcholish Madjid menyajikan makalahnya yang menarik di forum Konperensi Asosiasi Studi Asia (KASA) di Washington. Dalam makalah yang berbicara tentang konsep memajukan muslim Indonesia itu, Cak Nur mengutarakan kekurangdewasaan sebagian kaum terpelajar Indonesia. "Salah satu tesis untuk menghadapi masalah tersebut adalah perlunya gerakan intelektual," kata Nurcholish (Jawa Pos, 9 April 1992). Apa yang dilontarkan Cak Nur bukanlah hal baru. Malah hal itu merupakan salah satu obsesinya. Gerakan intelektual, di samping untuk mendewasakan kaum terpelajar, juga berkaitan dengan upaya mencairkan kebekuan (kejumudan) pemikiran Islam yang tengah melanda sebagian negara muslim, termasuk Indonesia. Khusus di Indonesia, Fachry Ali menggambarkan, "Islam masa Orde Baru ini merefleksikan 'kelelahan intelektual' " (TEMPO, 19 Juli 1986, Kolom). Meskipun demikian, kita harus mengakui bahwa Islam di Indonesia mengalami kemajuan beberapa langkah dalam beberapa tahun terakhir ini. Misalnya, semakin meriahnya syiar Islam, meningkatnya kepedulian dari banyak kalangan terhadap Islam, dan tumbuhnya beberapa institusi keislaman baru seperti ICMI, Bank Muamalat, dan Festival Istiqlal. Tapi kita tidak boleh terlena dengan kenyataan itu, yang hanya merupakan riak-riak kecil di tengah samudra persoalan yang amat luas. Sampai sekarang masih banyak agenda permasalahan kehidupan sosial-ekonomi umat yang belum terselesaikan, umpamanya kemiskinan, kebodohan, dan keterbelakangan, yang masih membelenggu sebagian umat Islam. Belum lagi jika ditambah dengan masalah ukhwah Islamiyah yang masih rawan dan perselisihan antara sesama negara muslim di Timur Tengah. Semua itu menjadi penghambat bagi upaya umat Islam dalam mengatasi berbagai problem sosial, politik, dan ekonomi yang dihadapi. Untuk menghadapi berbagai masalah tersebut, diperlukan pengembangan pemikiran Islam. Adalah tantangan bagi para ulama dan cendekiawan untuk merumuskan kerangka metodologis baru yang sesuai dengan paradigma pemikiran Islam. Kerangka metodologis itu harus sahih, baik secara ideologis maupun sosiologis. Cak Nur merumuskan tiga macam cara pengembangan pemikiran Islam seperti yang pernah disampaikanya di Dewan Kesenian Jakarta beberapa waktu lalu. Ketiga cara itu meliputi: liberalisasi, sekularisasi, dan liberating attitude. Liberalisasi, menurut Cak Nur, adalah pembebasan dari nilai tradisional yang bersifat menghambat. Sekularisasi maksudnya pembebasan masalah-masalah dan urusan-urusan duniawi dari belenggu keagamaan yang tidak pada tempatnya. Sedangkan yang dimaksudnya dengan liberating attitude adalah bentuk-bentuk sikap pembebasan berupa pengembalian agama Islam sebagai agama perorangan, di mana tidak terdapat semacam lembaga kependetaan dengan suatu wewenang keagamaan. Pengembangan pemikiran Islam Cak Nur itu sejalan dengan pendapat Dr. Hisham Thalib, seorang cendekiawan muslim Amerika yang baru-baru ini datang ke Jakarta. Menurut Dr. Hisham Thalib, ulama dan cendekiawan muslim agar mengembangkan pemikiran Islam dalam menghadapi era globalisasi dewasa ini. Ia mengajak umat Islam agar dapat menghilangkan perbedan-perbedaan kecil untuk menyatukan langkah bersama. Langkah awal ke arah itu adalah mengonsolidasi potensi (dalam arti menggali, menghimpun, dan menggerakkan) yang dimiliki umat. Kemudian, pengembangan dan pemasyaratan konsep-konsep Islam dalam bidang pemikiran, kemasyarakatan, pendidikan, dan lain-lain. SYAHRUDDIN ADENAN Ketua Kelompok Studi Ilmu dan Pendidikan Islam Jalan Rakha, PO Box 102 Amuntai 71471 Kalimantan Selatan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini