Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Letoi Berburu Duit Dresdner

Deposito pemilik lama Bank Century senilai Rp 1,3 triliun di Swiss yang seharusnya disita negara terancam lenyap. Manajemen baru Century dituding lalai. Pemerintah pun tak serius.

20 September 2010 | 00.00 WIB

head1330.jpg
Perbesar
head1330.jpg

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

AWALNYA sepucuk surat dari pemerintah Swiss yang diterima pada September tahun lalu. Isinya pemberitahuan adanya sengketa kepemilikan deposito US$ 155 juta lebih atau sekitar Rp 1,3 triliun di Bank Dresdner, yang melibatkan Bank Century dan pemilik lamanya. Perkara itu ditangani Pengadilan Distrik Zurich.

Menerima surat dari Swiss, tim bersama pemerintah yang memburu aset pemilik lama Bank Century mencium ketidakberesan. ”Kami tidak pernah diberi tahu soal ini sebelumnya,” kata Wakil Jaksa Agung Darmono, yang memimpin tim bersama, kepada Tempo dua pekan lalu.

Duit jumbo itu sudah tercatat dalam daftar aset pemilik lama Bank Century yang dikejar pemerintah. Dengan sejumlah aset pemilik lama, pemerintah berharap bisa mengembalikan sebagian biaya penyelamatan. Menganggap penutupan bank berdampak sistemik, pemerintah telah mengucurkan dana Rp 6,7 triliun buat Century melalui Lembaga Penjaminan Simpanan sejak November 2008. Dengan 100 persen kepemilikan saham oleh pemerintah, bank berubah nama menjadi Mutiara.

Toh, sengketa di Zurich itu tak pernah dikabarkan ke pemerintah. Padahal, setelah penyelamatan Century, pemerintah sedang giat mengejar aset yang dibawa kabur pemilik lamanya. ”Direksi baru Century seharusnya merespons dan menginformasikan ke pemerintah,” ujar Darmono.

Sumber Tempo di pemerintahan menuduh ada keteledoran direksi baru Bank Century. Ia menunjuk pemberitahuan tentang soal ini oleh direksi secara tak langsung dalam sebuah rapat antardepartemen pada 4 September 2009. Dalam pertemuan itu, tim bersama meminta manajemen Century menyerahkan sejumlah dokumen aset pemilik lama.

Empat hari kemudian, dalam surat nomor 1014/Century/D/IX/2009, direksi Century menyerahkan sejumlah dokumen. Di antaranya surat perjanjian deposito di Dresdner tadi. Dari puluhan berkas, terselip dua lembar surat petisi Bank Dresdner ke pengadilan Zurich. Selain itu, ada dokumen korespondensi manajemen Century dengan Dresdner. ”Dari situ tim bersama baru mengetahui adanya persoalan hukum atas deposito,” kata sumber itu.

Berbagai dokumen yang diperoleh Tempo memperkuat dugaan kelalaian manajemen Century dalam mempertahankan deposito yang tercatat atas nama Telltop Holding Ltd.—perusahaan milik Rafat Ali Rizvi, dulu pemegang saham pengendali Bank Century dan kini menjadi buruan polisi.

Satu surat menunjukkan petisi sudah diajukan kuasa hukum Bank Dresdner pada 3 April 2009, enam bulan sebelum salinan suratnya disampaikan ke tim bersama. Isinya, Dresdner menyerahkan deposito senilai US$ 156 juta untuk ditempatkan dalam penguasaan pengadilan Zurich, menunggu putusan hukum tentang kepemilikannya.

l l l

SEBAGAI hasil perkawinan Bank CIC, Bank Pikko, dan Bank Danpac, Bank Century memiliki aset ”misterius” di luar negeri. Proses merger ketiga bank ini digagas pada 2001. Namun, sejak awal, proses penggabungannya bermasalah dan berlarut-larut. Di tengah proses merger, ditemukan penyelewengan dan pelanggaran oleh Bank CIC dan Bank Pikko. Tak aneh, persetujuan Bank Indonesia atas penggabungan cukup lama. Baru pada 7 Desember 2004, bank sentral menyatakan ketiga bank resmi bergabung dalam Bank Century.

Bukannya bertambah baik, bank hasil penggabungan ini ternyata juga memble. Setahun setelah merger, muncul problem likuiditas dan permodalan. Bank ini juga masih membawa penyakit lama CIC, yakni memiliki Credit Link Note Republic of Indonesia. Bank Indonesia meminta Century menjual surat berharga ini karena dianggap tak layak investasi. Century malah berinvestasi pada surat utang valas senilai US$ 246 juta. Pada 3 Oktober 2005, Bank Indonesia menegur Century agar menjual surat-surat berharga tersebut.

Century hanya bisa menjual sebagian kecilnya. Surat berharga senilai US$ 203,4 juta tak bisa dijual. Bank Indonesia pun memaksa Rafat dan Hesham al-Warraq, dua pemegang saham pengendali Century, menambah modal. Keduanya menandatangani perjanjian pengelolaan aset dengan Century pada 2006. Rafat berjanji menyelesaikan surat berharga itu dalam waktu tiga tahun. Aset dalam bentuk surat berharga itu kemudian pengelolaannya diserahkan ke Telltop, perusahaan abal-abal beralamat di British Virgin Islands.

Sebagai jaminan, Rafat menyerahkan deposito senilai US$ 220 juta di Bank Dresdner, Swiss. Dia berkomitmen menyetor duit segar ke Century secara bertahap hingga 2010. Tiga tahun berselang, Telltop hanya sanggup menjual sebagian kecil dari surat berharga tersebut. Hasil penjualan pun tidak seluruhnya masuk ke kas Bank Century, melainkan mengalir ke rekening First Gulf Asia Holding Limited, perusahaan lain milik Rafat.

Badan Pemeriksa Keuangan, yang melakukan audit investigasi Bank Century, juga mengendus permainan nakal Rafat dalam mengelola surat berharga Century. Auditor negara ini menemukan perjanjian pengelolaan aset tidak berjalan efektif. Sebab, dari US$ 204,3 juta, hanya US$ 32 juta yang diterima Bank Century.

Dari US$ 171,48 juta yang tersisa, US$ 23 juta telah jatuh tempo dan dibayar tunai. Pada 2007, Bank Century hanya pernah menerima bunga dari First Gulf Asia sebesar US$ 40 juta. Pembayaran itu tidak dilakukan dalam bentuk tunai, melainkan berupa surat berharga. ”Sehingga dari transaksi itu Bank Century rugi US$ 163,48 juta (Rp 1,7 triliun),” seperti yang tertulis dalam audit itu.

Belakangan Rafat membantah isi perjanjiannya dengan Century. Dalam wawancara khusus dengan Tempo akhir tahun lalu, dia mengatakan perjanjian itu tidak pernah efektif karena Bank Century tidak pernah menyetorkan aset. ”Lagi pula Bank Indonesia tidak pernah menyetujui perjanjian itu,” katanya.

Duit jaminan yang ditempatkan Rafat di Bank Dresdner itulah yang menjadi bahan sengketa. Saling klaim berawal ketika Tarquin Limited, perusahaan yang beralamat di Cayman Islands, mengaku berhak mendapatkan deposito itu. Perusahaan ini membawa bukti security assignment agreement yang dibuat dengan Telltop pada 15 Maret 2006. Perjanjian menyebutkan Telltop memberikan jaminan atas dana yang ditempatkan Rafat di Dresdner.

Klaim diajukan perusahaan ke Bank Dresdner pada 17 Maret 2009. Untuk deposito yang sama, pada 9 Februari, Bank Century mengajukan klaim serupa. Diwakili kuasa hukumnya, Pradjoto & Associates, Bank Century membawa berkas asset management agreement (AMA) yang telah diteken Rafat lewat Telltop pada 17 Februari 2006.

Kemudian pengadilan Zurich mengeluarkan penetapan atas petisi Dresdner pada 24 April 2009. Pertama, Tarquin telah menunjuk kuasa hukum. Kedua, Tarquin, Bank Century, dan Telltop sebagai responden memiliki kesempatan untuk mengajukan klaim atas status deposito tersebut.

Ketiga, kepada tiga responden tersebut diberikan waktu 20 hari sejak tanggal penetapan pada 13 Mei 2009 agar mengajukan pembelaan secara tertulis. Dalam pembelaan itu, masing-masing diminta mengajukan secara terperinci dasar klaim atas deposito itu dengan melampirkan bukti dokumen.

Alih-alih menyiapkan dengan cepat aneka dokumen, menurut sumber Tempo di pemerintahan, Bank Century justru tak melakukan apa pun. Dari laporan investigasi auditor independen KPMG yang dirilis pada 29 Maret 2010, disebutkan direksi Bank Century tidak memenuhi sejumlah syarat yang diminta pengadilan Zurich. Pradjoto, selaku kuasa hukum, melewatkan begitu saja 20 hari waktu yang diberikan pengadilan.

Langkah itu tentunya sangat merugikan Bank Century. Sebab, dengan tidak memenuhi permintaan pengadilan, kesempatan bank ini mengajukan klaim telah hilang. ”Bisa-bisa deposito itu lenyap begitu saja,” ujar sumber tadi.

Selain mengungkap keengganan Century memperjuangkan deposito itu, KPMG mendapatkan sebuah temuan penting. Menurut laporan itu, telah terjadi tiga pencairan dana deposito Telltop yang semula berjumlah US$ 220 juta. Pengambilan pertama dilakukan pada 25 Maret 2008 sebesar US$ 38,14 juta oleh pihak yang tidak diketahui. Pada tanggal yang sama juga cair US$ 1,857 juta yang diterima Arlington Assets Investment Limited. Perusahaan yang juga milik Rafat ini kembali menerima US$ 25 juta pada 6 Juni 2008.

Sekretaris perusahaan Bank Mutiara Rohan Hafaz menolak berkomentar tentang tudingan perusahaannya tak serius mengurus aset di Swiss itu. ”Silakan tanya ke Pradjoto, kuasa hukum kami,” katanya. ”Mereka yang berwenang menjelaskan soal proses hukum itu.”

Pradjoto, yang dihubungi pada Kamis pekan lalu, menolak berkomentar tentang hal ini. Hanya Mahareksha Singh Dillon, yang bersedia mewakili kantor hukum Pradjoto, memberikan pernyataan. Ia menolak tudingan bahwa kantornya lalai. Dia mengatakan kliennya memang tidak memberi kuasa untuk mengurus aset di luar negeri. ”Menurut direksi Century, itu kewenangan tim bersama pemerintah,” ujarnya.

Wakil Jaksa Agung Darmono tetap melihat kejanggalan pada kelambanan direksi Century untuk mengurus dana jumbo itu. Dia mengatakan telah meminta Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus untuk meneliti kemungkinan adanya pelanggaran pidana dalam kasus ini. ”Kalau terbukti melanggar, akan kami tindak,” ujarnya.

Arif Hafaz Oegroseno, Direktur Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional Kementerian Luar Negeri, yang juga anggota tim bersama, mengatakan pengejaran aset bekas pemilik Century masih terus dilakukan. Dia mengatakan penarikan aset-aset itu dilakukan melalui mutual legal assistance dengan negara tempat aset berada. ”Prosesnya masih berjalan. Dana-dana itu statusnya sudah diblokir,” katanya.

Seorang pejabat Kementerian Luar Negeri meragukan pengembalian aset bekas pemilik Century bisa dengan cepat dilakukan. Dia menyorot ketidaksiapan tim bersama dalam menjalankan tugas. Misalnya, untuk hal teknis semacam proses penerjemahaan dokumen dari bahasa Inggris ke bahasa Prancis pun sangat lambat. ”Ada juga kejadian, perwakilan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia tidak membawa dokumen sama sekali saat datang ke Swiss,” katanya.

Darmono membantah soal itu. Menurut dia, lamanya waktu pengurusan disebabkan proses sinkronisasi sistem hukum dua negara yang berbeda. Ia juga menyanggah soal ketidaksiapan dokumen oleh pejabat Kementerian Hukum. ”Kedatangan ke sana atas nama delegasi, bukan perorangan,” katanya.

Didi Irawadi Syamsuddin, anggota tim pengawas Century DPR, berjanji akan mempertanyakan kelambanan pengejaran aset bekas pemilik Century. ”Pengejaran aset-aset itu adalah amanat DPR,” katanya.

Setri Yasra, Budi Setyarso, Oktamandjaya Wiguna

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus