Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

kolom

Si Ayam

20 September 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ada seorang laki-laki yang merasa dirinya sebutir beras. Bila ini kurang aneh, masih ada tambahannya: ia merasa diri sebagai sebutir beras dan membayangkan ada seekor ayam besar yang membuntutinya, untuk mematuknya.

Siang dan malam ia cemas dan curiga. Tiap kali ia mengunci pintu dan jendelanya. Ia tak ingin tahu apa yang terjadi di jalan di sebelah rumah. Ia menutup kupingnya bila ia dengar ayam mengais dan berkotek.

Setelah berbulan-bulan ia merasakan itu, istrinya membawanya ke seorang psikiater. Selama 10 minggu lelaki itu diterapi, hingga akhirnya ia dapat diyakinkan bahwa ia memang bukan sebutir beras.

Tapi tak semuanya beres. Sang psikiater bingung, sebab laki-laki itu tetap saja ketakutan bahwa ia akan dipatuk si ayam besar.

”Kenapa masih ketakutan? Kan tuan sudah tahu, tuan bukan beras?”

”Benar. Aku bukan beras. Tapi si ayam mungkin masih menganggap begitu.”

Ini cerita fiktif tentang paranoia—tapi lebih dari itu, cerita bagaimana orang percaya kepada hal yang paling aneh karena ia memang mau percaya. Dunia di luar dirinya adalah dunia yang dibentuk menurut kecemasannya. Informasi cuma penting sepanjang cocok dengan kepercayaannya bahwa si ayam memang ada.

Tentu, kepercayaan itu jadi teror bagi dirinya. Tapi dengan itu ia dapat alasan kenapa hidupnya tak menyenangkan. Ia bisa mengeluh terus-menerus tentang keadaan tanpa melihat dirinya memang patut menjalani hidup yang celaka.

Lagi pula, bayangan tentang si ayam memberinya kepastian. Hewan khayali itu satu bentuk yang lebih bisa ia ”pegang”, dan itu menenteramkan. Ia gentar menghadapi gerak hidup yang tak berbentuk, yang acak, yang inkonsisten. Ia takut menghadapi khaos.

Dewasa ini kita berkali-kali menemukan sindrom beras & ayam itu, terutama dalam diri orang-orang yang ”beriman”. Agama tampaknya memberi peluang. Saya kira itu juga yang terjadi pada Terry Jones, seorang pendeta dari gereja fundamentalis di Gainesville, Florida, AS, yang berencana membakar Quran tiap hari.

Meskipun ia menulis buku Islam is of the Devil, ia mengakui ia tak tahu sedikit pun tentang hukum Islam. Bahkan, seperti terdapat dalam rekaman yang transkripnya diperoleh CBS News, sepanjang umurnya yang 51 tahun itu ia tak pernah bertemu dengan seorang muslim pun.

Baginya, informasi tak penting. Apalagi jika bertentangan dengan apa yang diyakininya. Dan yang diyakininya adalah bahwa hidup terdiri dari beras yang akan dipatuk dan ayam yang akan mematuk beras. Si ayam, atau si Setan, ada di mana-mana. Dari transkrip bertanggal 10 Agustus 2010:

T: Dan Anda percaya bahwa apa yang tak datang dari Tuhan berarti datang dari Setan? Benarkah?

J: Yah, saya kira begitu. Tapi ya itu bergantung pada apa yang Anda maksud. Saya tak percaya bahwa baseball itu berasal dari Setan hanya karena tak berasal dari Tuhan. Tapi, maksud saya, pada dasarnya, umumnya, jika sesuatu tak datang dari Tuhan, itu dari Setan. Benar.

T: Apakah agama Hindu dari Setan?

J: Ya, tentu.

T: Agama Buddha?

J: Ya.

T: Bagaimana tentang agama Yahudi?

J: Ya.

Jones dan jemaatnya yang cuma 50 keluarga memusuhi siapa saja yang berbeda dari dirinya. Sang pendeta selalu membawa sepucuk pistol ke mana-mana. Pada Agustus 2009, dua anak dari jemaat Jones pergi ke sekolah dengan mengenakan T-shirt bertuliskan ”Islam is of the Devil”—hingga mereka dilarang masuk kelas karena ”melanggar aturan berpakaian”.

Ia mengakui mengikuti Yesus, tapi kita tak tahu Yesus yang bagaimana. Ia pernah tinggal di Jerman dan mendirikan sebuah kongregasi di Kota Köln, Christliche Gemeinde Köln (CGK), dari 1981 sampai 2008. Ia didenda pengadilan kota itu karena memakai gelar ”Doktor”. Jones hanya pernah dua tahun belajar di universitas negeri di Missouri dan tak pernah dapat gelar apa pun di bidang teologi. Seorang pemimpin gereja di Kota Köln mengatakan, pendeta Amerika itu ”tak memancarkan nilai-nilai Injil dan Kristiani”, dan hanya membuat dirinya jadi ”pusat segala-galanya”.

Menjadikan diri pusat, itu juga gejala seorang yang menyangka dirinya akan dihabisi Musuh Besar. Dengan membayangkan adanya musuh sedahsyat itu, ia menjadikan dirinya istimewa. Di sini tampak, imajinasi diri sebagai sebutir beras (si lemah yang terancam) dan si ayam (si kuat yang mengancam) sebenarnya bertaut sejak semula dalam pandangan orang macam Terry Jones. Para bigot, Kristen atau Islam, begitu cemas bahwa kepercayaan dan nilai-nilai mereka akan dihancurkan—dan sebab itu menggelembungkan kekuatan diri dalam rasa benci.

Iman mereka kepada Tuhan adalah iman yang tertutup. Iman yang takut menemui orang lain, dunia lain, karena cemas diri mereka akan jadi cair. Sebab itu agama mereka adalah agama yang defensif. Terry Jones membawa Injil dan pistol, Taliban dan pelbagai variasinya di Indonesia membawa Quran dan golok. Ke luar, mereka galak. Ke dalam, mereka represif. Mereka terus-menerus ingin mengukuhkan persatuan, sebab itu anti-perbedaan di kaum sendiri. Mereka gemar melarang dan berseru ”awas”.

Tak mudah meyakinkan mereka bahwa iman yang tertutup itu akhirnya akan diterobos perubahan. Seperti ditunjukkan tokoh KH Ahmad Dahlan dalam film Sang Pencerah, ”agama itu proses”. Benda-benda yang dianggap ”kafir”—biola, pakaian Barat, meja dan bangku sekolah, dan juga kereta api—tak dapat ditolak selama-lamanya. Yang semula ”kafir” pun jadi bagian dari ”Islam”, bukan karena si kafir menyerah, tapi karena yang Islam bukan jadi benteng, yang tertutup, tapi jadi bahtera yang mengarungi lautan baru. Di dalamnya manusia bukan cuma sebutir beras yang ketakutan dan bukan juga seekor ayam yang ganas.

Goenawan Mohamad

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus