DUA puluh dua dukun bayi se-Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah, berkumpul. Semuanya nenek-nenek di atas setengah abad. Ada yang mengenakan kebaya putih, selintas mirip penunggu bayi-baby sitter, gitu. Ada yang mengenakan kebaya lurik, selintas mirip penjual gudeg. Ada yang mengenakan kebaya kembangkembang, selintas mirip pesinden. Tentu saja, semuanya mengenakan kain. Dan, ciri khas baby dukun, sebagian besar mengunyah sirih. Ada perlombaan me-mrocot-kan bayi? Oh, bukan. Ada perlombaan pidato. Benar. Dukun bayi berpidato, memakai bahasa campuran, Jawa, Indonesia, dan bahasa Kebumen. Berdiri di mimbar juga? Tentu. Sebab, jangan lupa, mereka ini wakil-wakil rakyat yang berbobot: satu orang mewakili satu kecamatan, tak kurang tak lebih. Mereka masing-masing sudah berbicara di wilayah kekuasaan mereka itu pada Hari Kesehatan Nasional Kabupaten, dan lolos. Maka, awal Oktober kemarin itu sang 22 jagoan memasuki gerbang final. Penontonnya berjubel, ada 300-an orang. Seorang peserta, dari Kecamatan Puring, gemetar ketika naik mimbar -- maklum, kali ini disaksikan para pejabat yang lebih tinggi. Sambil pidato, tembakau susur tak lepas dari mulutnya, dan dengan gugup sekali-sekali membuka catatan. Hadirin ketawa. "Lho, Mbah, pidatonya dibuatkan orang, ya?", terdengar seruan -- ternyata dari seorang peserta lain (saingan, nih, ye?). Eh, Simbah ternyata bisa juga menjawab. "Masa!", katanya. "Ini buatan saya sendiri supaya jangan lupa masalahnya, gitu". Hadirin ketawa lagi. "Biar bayi tidak kuntet (terhalang pertumbuhannya), perlu diberi makanan bergizi. Seperti: bayam, ikan, dan wortel. Tapi jangan banyak-banyak -- karena, menurut Pak Mantri, bisa cacingan." Ini pidato nenek yang lain -- dan para dokter puskesmas serta mantri-mantri saling memandang: siapa yang memberi pengarahan kepada simbah yang satu ini, dengan ajaran yang aneh itu? Soalnya, para mantri di tiap-tiap kecamatan memang mengumpulkan mereka sebelum lomba, untuk diberi pengertian tentang tema pidato -- temanya saja. Tapi siapa tahu, bukan, Pak Mantri waktu itu melucu, dan terbawa sampai ke final? Seorang nenek maju ke mimbar dengan tampang meyakinkan. "Kalau musim hujan begini, bayi sering pipis (kencing). Jadi, harus diganti popoknya. Jangan cuma sibuk memopoki bapaknya saja!" Selesai pidato (yang dibatasi tujuh menit), peserta lain menggoda, "Yang bikin pidato anak sampeyan apa cucu sampeyan ?" Jawabnya bagus. "Asal membawakannya mantap, orang 'kan percaya saya yang bikin," katanya. Pidato itu, ceritanya, dibuat oleh cucunya yang kelas satu SMA. Tadinya malah diberi istilah-istilah keren dan bahasa Inggris segala -- atas permintaan si nenek sendiri. Tapi, "Sudah seminggu menghafal, kok tidak bisa mengucapkan juga, lha wis." Nenek ini tidak juara, memang. Yang menang adalah, berturut-turut, para wakil dari Kecamatan Mirit, Kutowinangun, dan Klirong. "Dukun bayi banyak peranannya untuk meningkatkan kesehatan di desa." Ini pidato Mohamad Sujoko, dokter puskesmas Kota Kebumen, ketua panitia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini