USUL Sutan Takdir Alisjahbana dalam forum Temu Budaya 1986, yaitu agar Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa (disingkat: Pusat Bahasa) dihapuskan, telah menjadi pembicaraan terutama di kalangan, apa yang disebut Rosihan Anwar, "ayatulah-ayatulah bahasa". Istilah ayatulah bahasa saja sudah cukup menyentakkan. Orang lalu berasosiasi semua ahli bahasa di Pusat Bahasa berpakaian seperti Ayatulah Khomeini. Bayangkan: bagaimana "Ayatulah" Anton Moeliono duduk berfatwa sambil mengelus-elus jenggotnya yang putih panjang berjela-jela. Tangan kiri di lutut dan tangan kanan turun naik seirama dengan kehati-hatiannya berbicara. Asyik juga kelihatannya. Walau Anton Moeliono dan pendahulunya, Amran Halim, tidak beserban, berjubah, dan berjenggot (berkumis saja pun tidak) dan Rujiati Mulyadi (pendahulu Amran Halim) tidak berjilbab, rupanya pekerjaan mereka dianggap sama kualitasnya dengan pekerjaan para ayatulah Iran itu oleh para "syah bahasa", yang diwakili Takdir dan Rosihan. Mudah-mudahan Kedutaan Iran tersenyum mendengarnya, karena kita ikut memopulerkan istilah mereka. Apa yang disesalkan para "syah" itu ? Konon, karena istilah-istilah yang dihasilkan Pusat Bahasa sering tidak berasal dari satu disiplin ilmu atau masalah. Takdir menilai cara kerja Pusat Bahasa tidak efisien dengan membuat istilah yang hanya mengacaukan perbendaharaan bahasa Indonesia saja. Misalnya, istilah canggih pengganti sophisticated, dan pantau pengganti monitor, yang terdengar tidak biasa di telinga. Sebenarnya sebelum satu istilah ditetapkan oleh panitia, pembicaraan selalu didahului dengan beberapa pertimbangan. Ada sejumlah langkah yang dilakukan. Pertama, istilah asing yang akan diindonesiakan itu dicari dahulu padanannya dalam bahasa Indonesia yang lazim dipakai. Kedua, bila tidak ditemukan, dicari pula kata Indonesia yang tidak lazim lagi (jarang) dipakai. Ketiga, jika tidak ada, kita beralih kepada bahasa serumpun (daerah) yang lazim dipakai. Keempat, bila tak ada lagi, seperti juga kata Indonesia, dicari pula kata yang tidak lazim digunakan. Kelima, kalau tak diperoleh juga, baru kita beralih kepada kata bahasa asing, terutama bahasa Inggris. Keenam, andai kata langkah yang terakhir ini pun tak berhasil, baru digunakan kata bahasa asing lainnya yang internasional. Langkah terakhir ialah memilih yang terbaik di antara istilah baru hasil langkah pertama sampai keenam. Syarat pemilihan kata untuk istilah baru ini ialah, ungkapannya paling singkat, maknanya tidak menyimpang, tidak berkonotasi buruk, dan enak didengar. Istilah-istilah yang dibentuk melalui langkah kelima, yaitu dengan mengambil kata Inggris, dilaksanakan dengan persyaratan antara lain penyesuaian ejaan dan lafal atau tanpa perubahan sama sekali. Penerimaan kata asing ini perlu pula melalui pertimbangan, yaitu bila ungkapan asing itu dianggap lebih cocok, lebih singkat, memudahkan pengalihan antarbahasa, dan memudahkan kesepakatan. Jadi, kata asing tidak diambil begitu saja. Contohnya sangat banyak ditemukan dalam pemakaian sehari-hari, terutama dalam forum resmi atau kalangan pejabat. Itulah sebagian kecil keterangan penting mengenai prosedur pembentukan istilah yang telah ditetapkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan melalui Panitia Pengembangan Bahasa Indonesia, Pusat Bahasa (1975). Sekarang dalam langkah mana istilah canggih dan pantau dibentuk? Kalau kita perhatikan Kamus Umum Bahasa Indonesia, kata canggih dan pantau adalah kata Indonesia yang kurang lazim dipakai atau tidak banyak diketahui umum. Pengertiannya ada beberapa macam. Di antaranya, ada yang bertalian dengan arti yang dimaksud oleh sophisticated dan monitor, yaitu rumit dan menengok (menjenguk). Sekarang kata-kata itu dimanfaatkan sebagai istilah baru untuk mendukung makna atau konsep baru sebagaimana yang dimaksudkan istilah Inggris tersebut. Begitu juga halnya istilah dampak untuk impact, dan citra untuk image. Jadi, melalui langkah kedua. Contoh istilah yang dibentuk melalui langkah pertama dapat kita sebut acak untuk random, anggun untuk elegant, anjungan untuk platform atau pavillion, kawasan untuk region, masukan untuk input, padat karya untuk labour intensive, dan peringkat untuk rank (pemeringkatan untuk ranking). Contoh istilah baru melalui langkah ketiga (dari bahasa serumpun, daerah) dapat kita sebut mapan (bahasa Jawa) untuk established, gambut (bahasa Banjar) untuk peat, nyeri (bahasa Sunda) untuk pain, dan senjang (bahasa Minangkabau) untuk gap. Soal tidak biasanya didengar kata-kata yang diberi makna baru ini bukanlah menjadi alasan untuk menolaknya. Banyak kata baru yang tadinya tidak biasa, sekarang jadi biasa. Sebagaimana dikatakan TEMPO (25 Oktober 1986), betapa seringnya sekarang kata canggih dan pantau itu dipakai dalam berbagai media massa (cetak dan elektronik), yang cukup membuat telinga dan mata kita terbiasa. Alangkah baiknya jika Takdir memberikan pilihan dan saran untuk menentukan kata yang akan ditetapkan menjadi istilah baru itu, atau bahkan saran untuk menyempurnakan cara kerja Pusat Bahasa. Bukan dengan mengusulkan Pusat Bahasa itu dibubarkan. Jika ini dilakukan, sama halnya dengan maksud sebuah peribahasa Minangkabau: "Berang ka mancik, rangkiang nan dipanggang" yang terjemahannya: marah pada tikus, lumbung yang dibakar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini