Presiden Megawati tahu betul cara mengendurkan urat saraf yang tegang. Ketika para pemimpin PDI Perjuangan melakukan rapat di kantor Partai di Lenteng Agung, Jakarta Selatan, Selasa siang pekan lalu, Mega, yang juga ketua umum partai berlambang banteng itu, memilih pergi ke vilanya di kawasan Gunung Geulis, Bogor, Jawa Barat. Diantar oleh sejumlah pengawal pribadi, ia membawa dua mobil penuh tanaman hias. Siang itu ia berkebun di sana.
Padahal hari itu jajaran pengurus pusat partainya sedang menghadiri rapat penting. Salah satu agenda yang dibahas adalah nasib M.A. Rachman, Jaksa Agung yang kini sedang jadi sorotan publik. Rachman dianggap bersalah karena tidak melaporkan sebuah rumah seharga Rp 1,8 miliar miliknya kepada Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN). Tidak sekadar kelalaian administratif, Rachman dinilai berbohong. Dalam pernyataannya kepada Komisi Pemeriksa, ia berjanji rela diberhentikan dari jabatannya jika ternyata pernyataan yang dibuatnya tak benar.
Jika Mega hadir, persoalannya mungkin bisa lebih jelas. Sedianya, menurut rencana, ia akan menyampaikan titahnya. Kata akhir untuk Rachman kini memang bergantung pada Presiden Megawati, yang notabene atasan Jaksa Agung. Sejumlah pengurus yakin, Bos Besar akan datang. Sekretaris Jenderal Sutjipto menolak berkomentar ketika ditanya tentang sikap partainya sehari sebelum rapat. "Tunggulah sampai besok (Selasa). Kalau saya berkomentar sekarang, malah membingungkan orang," katanya. Seorang aktivis PDIP asal Yogya yang dekat dengan Presiden mengaku khusus datang ke Lenteng Agung untuk mendengar kabar tentang vonis Rachman yang menolak mundur itu.
Tak aneh kalau banyak kalangan Banteng ambil peduli. Persoalan Rachman memang bukan hanya problem eksekutif. Cacatnya dinilai bisa mengurangi kredibilitas pemerintahan Megawati, dan otomatis pula kredibilitas PDIP.
Tapi apa yang terjadi Selasa lalu di luar harapan banyak orang. Mega tak datang. "Rapat akhirnya hanya membicarakan persoalan rutin," kata seorang pengurus. "Ya, kita bicarakan nantilah, kalau Ibu datang," kata Wakil Sekretaris Jenderal, Mangara Siahaan. Wakil Sekretaris Jenderal Pramono Anung mengatakan kepada pers bahwa Partai menyerahkan keputusan tentang Rachman kepada Megawati.
Gampang ditebak jika para pengurus Partai sebal terhadap sikap Rachman. Nada yang agak keras datang dari Roy B.B. Janis, Ketua Fraksi PDIP di DPR. "Data-data yang sudah dibuka KPKPN dan dipublikasikan ke masyarakat sudah cukup punya satu landasan bagi Ibu Presiden untuk mengambil keputusan," kata Roy, lantang. Tapi hingga akhir pekan lalu keputusan itu tak kunjung tiba. Padahal, menurut sumber TEMPO yang dekat dengan Presiden, Megawati sebenarnya sangat kecewa dengan kinerja Rachman. "Ia dinilai tak bisa bertindak tegas seperti almarhum Baharuddin Lopa," kata sumber itu.
Sikap RI-1 sejauh ini cuma samar terdengar. Sebelum hasil Komisi itu meledak ke publik, Mega telah memanggil anggota legislatif asal PDIP, Panda Nababan. Ia meminta Panda mengingatkan Rachman agar secara sukarela berkemas-kemas meninggalkan Kejaksaan Agung jika tidak ingin dipermalukan. Pertemuan Mega dengan Panda terjadi dua kali: tanggal 22 dan 30 September lalu. Dalam pertemuan kedua, mereka bertemu dalam sebuah jamuan makan pagi di kediaman presiden di Jalan Teuku Umar, Jakarta Pusat.
Panda memang sengaja dipilih. Ia dan Rachman dikenal telah lama saling mengenal. Bekas wartawan senior itu bukan orang asing di lingkungan kejaksaan. "Aku bisa ketemu Rachman tanpa janji dulu," katanya. Menurut Panda, sedikitnya sebulan sekali ia bertemu Jaksa Agung untuk mengurus berbagai "persoalan". "Pendeknya, Ibu berpesan agar Pak Rachman mengundurkan diri saja," kata sumber TEMPO di Istana.
Panda bertemu dengan Rachman pada 24 September lalu. Di sanalah ia menyampaikan pesan Presiden, dan Rachman mengaku siap mundur dari jabatannya. Seorang kenalan dekat Panda Nababan bercerita, ketika itu Panda mengatakan, "Sudahlah, Pak, kalau masalah ini meledak ke luar, jadi lebih berat. Saya sudah dengar soal itu dari wartawan dan beberapa anggota Komisi Hukum DPR. Tampaknya bukan aku saja yang tahu." Sampai Sabtu, 5 Oktober lalu, banyak pihak yang meyakini Rachman akan benar-benar mundur.
Tapi tak ada yang pasti di dunia ini, termasuk sikap Rachman. Senin sore pekan lalu, melalui juru bicara Kejaksaan Agung, Barman Zahir, Rachman mengambil sikap berbeda: ia bertekad tak akan mundur dan menyerahkan keputusan tentang jabatan Jaksa Agung kepada Presiden. "Cerita bahwa Jaksa Agung akan mundur itu hanya isu media massa," kata Barman. Rachman ngotot bertahan karena merasa telah memberikan keterangan yang jujur dan lengkap kepada Komisi Pemeriksa. "Jaksa Agung akan mempertanggungjawabkan semua laporan itu," tambah Barman.
Mengapa Rachman berbalik? Tak ada jawaban pasti. Panda menggelengkan kepala. "Aku enggak tahu kenapa dia berubah pikiran. Tapi ini soal kekuasaan. Enak kan jadi Jaksa Agung, selalu dibukakan pintu oleh ajudan," kata Panda. Sikap Rachman, yang memilih bungkam kepada media massa, bisa diraba dari pernyataan putri sulungnya, Chairunnisa. Tak ada rumus mundur bagi bapaknya, apalagi untuk kasus rumah Cinere yang katanya sudah jelas duduk perkaranya. "Kalaupun Bapak mundur, bukan karena kasus rumah ini, dan harus secara terhormat," katanya kepada TEMPO.
Ada dugaan perubahan siap itu terjadi setelah Rachman menghadap Presiden, Senin pagi pekan lalu—sehari sebelum rapat PDIP untuk membahas masalah skandal rumah Jaksa Agung. Ini pertemuan kedua kalinya secara langsung antara Mega dan Rachman setelah persoalan rumah Cinere mencuat ke publik. Sebelumnya, mereka bertemu pada Rabu, 2 Oktober malam. Tapi tak ada yang tahu isi pertemuan tertutup pada Senin pagi tersebut. Kabarnya, Rachman menjelaskan ihwal hibah rumah untuk putri sulungnya itu. Mega mengangguk, lalu, "Pak Rachman dipesan untuk bekerja seperti biasa," kata seorang karib dekat Jaksa Agung. Pers juga tak usah dilayani.
Sejumlah petinggi Banteng meragukan bahwa saat itu Mega memberi konsesi kepada Rachman agar bertahan di kursi Jaksa Agung. Tapi sejak itu Rachman menjadi lebih percaya diri. Bukan sekadar memilih bertahan, ia juga merapatkan barisan. Sepanjang pekan lalu, jaksa agung muda dan sejumlah jaksa tinggi dari berbagai daerah berkumpul di kantor Jaksa Agung. Misinya untuk memberikan dukungan kepada Rachman.
Mereka berkumpul di ruang kerja Rachman, Senin lalu. Lantai dua gedung utama Kejaksaan Agung, Jakarta, ramai dipenuhi bos kejaksaan. Di sana tampak Jaksa Agung Muda Bidang Pengawasan Achmad Lopa, Kepala Kejaksaan Tinggi Jakarta Muljohardjo, Wakil Kepala Kejaksaan Tinggi Papua Tarwo Hadi Sadjuri. Tiga hari kemudian, Kamis pekan lalu, lima jaksa agung muda ditambah sejumlah kepala kejaksaan tinggi memberikan pernyataan resmi untuk mempertahankan Rachman. Basrief Arief, Jaksa Agung Muda Intelijen, yang dijagokan Banteng menggantikan Rachman, juga masuk dalam barisan para pendukung.
Rachman juga melancarkan serangan balik kepada Kito Irkhamni, Kepala Kejaksaan Negeri Sungai Liat, Sumatera Selatan. Kito diduga sebagai tokoh yang membeberkan aib Jaksa Agung kepada Komisi Pemeriksa. Kitolah yang meminjamkan uang kepada Rachman untuk membeli rumah dan mobil anak-anak Rachman serta mengatur pengalihan nama rumah Rachman di Graha Cinere, Depok, Jawa Barat, yang dipersoalkan Komisi. Kejaksaan Agung kini sedang memeriksa kegiatan Kito selama di Sungai Liat. "Apa yang dilakukan Kito tentu punya konsekuensi," kata Bachtiar Fachri Nasution, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum.
Sayang, Rachman tak bisa ditemui untuk dimintai komentar tentang aksinya itu. Sejak sepekan lalu, ia jarang datang ke kantor. Apel rutin yang biasa diadakan Jumat sore kini dijalankan tanpa Rachman. Ia tengah sibuk menghadapi pemanggilan Komisi, Senin pekan ini. Komisi akan mengonfirmasi sejumlah saksi. Selain Rachman, putrinya, Chairunnisa, juga kembali harus bertandang ke kantor Komisi. Sampai akhirnya tim pemeriksa memutuskan kata final terhadap kasus ini.
Apa pun hasil temuan Komisi, toh nasib Rachman tetap terpulang kepada Megawati. Repotnya, menebak sikap Mega bak menebak keheningan lautan biru. Ia bukan tokoh yang gampang diraba keinginannya. "Saya kira Megawati akan menunda penyelesaian masalah ini sampai keadaan jadi lebih tenang. Ini berdasarkan pemahaman saya terhadap tipe kepemimpinan Mega," kata Cornelis Lay, staf ahli bidang politik Sekretariat Wakil Presiden. "Kita tunggu saja. Tiga-empat bulan yang lalu, Megawati selalu bilang, 'Saya masih percaya sama dia.' Sekarang saya kira Mega tidak percaya lagi," kata Panda.
Dengan kata lain, baik Mega maupun Rachman masih punya waktu. Mega bisa berpikir untuk mengatasi problem ini tanpa menggoyang ketenteraman kabinet. Rachman punya waktu untuk menunda kejatuhannya. "Saya yakin, Ibu akan mencopotnya, soal kapan, hanya Tuhan dan Mega yang tahu," kata seorang asisten khususnya di Teuku Umar. Waduh.
Arif Zulkifli, Fajar W.H., Arif Kuswardono, Kurie Suditomo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini