Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PRESIDEN Joko Widodo biasa berdiskusi kecil dengan orang-orang dekatnya pada pagi sembari minum teh. Tempatnya di beranda belakang menghadap taman Istana Kepresidenan. Menteri Sekretaris Negara Pratikno dan Teten Masduki, yang pekan lalu dilantik menjadi Kepala Staf Kepresidenan, sering menemaninya.
Pada pertengahan Juli lalu, ketika koran pagi memberitakan penetapan Ketua Komisi Yudisial Suparman Marzuki dan Komisioner Taufiqurrahman Syahuri sebagai tersangka pencemaran nama hakim Sarpin Rizaldi oleh Badan Reserse Kriminal, Jokowi murka. Menurut saksi mata, di tengah diskusi kecil di beranda Istana, Jokowi berdiri dan menunjuk koran di atas meja: "Orang ini, masak putusan KY diproses juga."
"Orang ini" yang dimaksud Jokowi adalah—siapa lagi kalau bukan—Komisaris Jenderal Budi Waseso, Kepala Badan Reserse Kriminal Kepolisian RI. Memimpin sejak 19 Januari lalu, Budi membuat badan itu "mengerikan" bagi para aktivis antikorupsi. Sejumlah orang yang dikenal pro-Komisi Pemberantasan Korupsi ketika berkonflik dengan kepolisian dicari-cari kesalahannya, lalu dijadikan tersangka.
Menurut orang-orang dekatnya, Jokowi sebenarnya gerah ketika Budi Waseso menetapkan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Bambang Widjojanto sebagai tersangka perkara pengaturan keterangan palsu di Mahkamah Konstitusi. Status hukum yang membuat Bambang harus nonaktif itu disematkan pada puncak perseteruan Markas Besar Kepolisian dengan komisi antikorupsi, setelah calon Kepala Polri Komisaris Jenderal Budi Gunawan dijadikan tersangka perkara gratifikasi.
Seorang pejabat Istana menceritakan, Jokowi sudah lama berniat mencopot Budi Waseso. Namun, dia berdalih, Presiden tidak ingin muncul kesan didikte media massa dalam pengambilan keputusan. Namun, Selasa malam pekan lalu, dalam pertemuan yang dihadiri Wakil Presiden Jusuf Kalla di Istana, Jokowi memerintahkan Kepala Polri Jenderal Badrodin Haiti mencopot Budi Waseso.
Penyebabnya adalah penggeledahan aparat Badan Reserse Kriminal yang bersenjata ke kantor PT Pelindo II di Tanjung Priok, Jumat pekan sebelumnya. Budi Waseso mengklaim, penggeledahan dilakukan sebagai bagian penyidikan perkara korupsi pengadaan sepuluh unit alat angkat untuk bongkar-muat barang. Richard Joost Lino, direktur utama perusahaan pelat merah itu, memprotes dan mengancam mundur jika penggeledahan diteruskan.
Beberapa petinggi Istana menuturkan, Jokowi dan Kalla mempersoalkan pengusutan sejumlah kasus yang hanya memunculkan keriuhan. "Presiden senang Budi Waseso memberantas korupsi, tapi enggak suka gaduh," ujar seorang pejabat.
Kepala Staf Kepresidenan Teten Masduki mengatakan pencopotan Budi Waseso tidak berkaitan dengan penggeledahan di kantor Lino. "Ini akumulasi," ujarnya.
JENDERAL Badrodin memanggil Budi Waseso pada Rabu pagi untuk menyampaikan hasil pertemuan dengan Presiden dan Wakil Presiden malam sebelumnya. Menurut sumber di kepolisian yang mendapat cerita dari Budi Waseso, Badrodin mengatakan, "Dengan berat hati harus saya sampaikan bahwa Anda dimutasi atas permintaan Presiden."
Namun, kepada Tempo, Badrodin mengatakan tidak ada perintah dari Presiden untuk mencopot Budi Waseso. Ia menyatakan rencana penggantian anak buahnya itu telah dipertimbangkan lama. Terutama sejak Budi Waseso melakukan perang pernyataan terbuka dengan mantan Ketua Pengurus Pusat Muhammadiyah Syafii Maarif. "Tidak ada arahan dari Presiden," katanya.
Mendengar kabar itu, menurut sejumlah sumber, Budi Waseso segera bergerak ke beberapa tempat. Di antaranya, ia bertemu dengan pemimpin Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan pada Rabu malam. Di situ, menurut seorang peserta, Budi Waseso, yang ditemani sejumlah perwira penyidik, mempresentasikan potensi kerugian negara senilai Rp 3,1 triliun di PT Pelindo II. Kepada elite partai banteng, ia mengklaim, perkara pengadaan crane hanya akan menjadi pintu masuk perkara jumbo itu.
Presentasi yang kurang-lebih sama kemudian disampaikan Budi Waseso ketika bertemu dengan beberapa anggota Komisi Kepolisian Nasional pada Kamis pagi. Ia memaparkan perkembangan penyidikan kasus Pelindo II, termasuk hasil pemeriksaan saksi dan penggeledahan. Dia pun menerangkan perkembangan penyidikan beberapa kasus lain yang tak kunjung masuk pengadilan.
Itu sebabnya para politikus PDIP menentang pencopotan Budi Waseso. "Penegakan hukum jangan diintervensi," ujar Dwi Ria Latifa. Masinton Pasaribu, juga anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari partai itu, bahkan menuding Istana dikangkangi kepentingan anti-pemberantasan korupsi. Bawahan Jokowi, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo, pun bersuara bahwa partainya menolak penggantian Budi Waseso.
Budi Waseso mengatakan tidak melobi partai penguasa itu untuk mempertahankan jabatan. "Saya prajurit Bhayangkara, jadi tidak pernah berhubungan ke sana-sini, apalagi minta tolong ke mana-mana," katanya.
Orang-orang dekat Budi Waseso juga bergerak. Pada Rabu siang, Kepala Lembaga Pendidikan Kepolisian Komisaris Jenderal Syafruddin mendatangi Jusuf Kalla. Menurut sejumlah sumber, ajudan Kalla ketika menjadi wakil presiden pada 2004 itu mencoba mengubah situasi. Ia antara lain mengatakan sebaiknya Budi Waseso tidak diganti sekarang. Alasannya, Kalla akan dituding "ngotot Budi Waseso diganti gara-gara kasus Pelindo". Ia menyarankan penggantian satu atau dua bulan lagi.
Juru bicara Wakil Presiden, Husein Abdullah, mengatakan tidak tahu detail pertemuan Kalla dengan Syafruddin. "Tapi, menurut keyakinan saya, Pak JK pasti bilang ke Pak Jokowi bahwa pencopotan Buwas sebaiknya diundur. Jangan dilakukan dalam waktu dekat ini," ujarnya.
Jusuf Kalla mengatakan tak mengintervensi kepolisian. Menurut dia, Polri merupakan bagian dari pemerintah yang dipimpin Jokowi-JK. "Kalau bosmu berbicara, apakah itu intervensi? Bukan, kan?" ujarnya.
MESKI Presiden telah memerintahkan penggantian Budi Waseso pada Selasa malam pekan lalu, calon penggantinya belum ditentukan hingga esok harinya.
Pada Kamis siang, dalam rapat Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Luhut Binsar Pandjaitan dengan Komisi Kepolisian Nasional, penggantian Budi Waseso juga dibahas. Menurut anggota Komisi Kepolisian, Edi Saputra Hasibuan, Badrodin menyampaikan tiga kandidat pengganti Budi Waseso, yakni Anang Iskandar, Saud Usman Nasution, dan Kepala Kepolisian Daerah Jawa Barat Inspektur Jenderal Moechgiyarto.
Dewan Jabatan dan Kepangkatan Polri baru menggelar rapat pada Kamis sore. Ada empat calon yang dibahas, yakni Syafruddin, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme Komisaris Jenderal Saud Usman Nasution, Sekretaris Utama Lembaga Ketahanan Nasional Komisaris Jenderal Suhardi Alius, dan Kepala Badan Narkotika Nasional Komisaris Jenderal Anang Iskandar.
Menurut Badrodin, Suhardi langsung disingkirkan karena alasan kesehatan. "Saya mendengar beliau sakit, jadi tidak usahlah menjabat," katanya.
Posisi Saud menguat. Namun kawan seangkatan mantan Kepala Polri Jenderal Sutarman itu juga disingkirkan karena lima bulan lagi pensiun. Syafruddin tak dipilih lantaran tak memiliki pengalaman menjadi reserse. "Syafruddin lebih kompeten di bidang profesi dan pengamanan, lalu lintas, dan pendidikan," ujar Badrodin.
Pilihan dialihkan ke daftar perwira Polri bintang dua. "Saya akhirnya pilih bintang tiga. Kalau ambil bintang dua, nanti bintang tiga tidak ada job," kata Badrodin. Karena alasan itu, Anang Iskandar pun bertukar posisi dengan Budi Waseso.
Versi lain disampaikan narasumber di kepolisian. Dalam rapat itu, menurut dia, Wakil Kepala Polri Komisaris Jenderal Budi Gunawan menolak Saud karena alasan angkatan. Budi Gunawan, yang seangkatan dengan Budi Waseso, menganggap Saud "orang Sutarman" karena berasal dari angkatan yang sama, yakni alumnus Akademi Kepolisian 1981. "Kubu Budi Gunawan menerima mutasi Budi Waseso asalkan bukan Saud penggantinya," ujarnya.
Budi Waseso menerima kabar tentang posisi barunya di Badan Narkotika Nasional pada Kamis menjelang tengah malam. Ia baru saja bertamu di rumah Budi Gunawan sejak sore. Kabar dari Istana itu menyebutkan keputusan presiden tentang mutasinya telah diteken. "Saya bertemu dengan beliau (Budi Gunawan) sampai jam delapan tadi malam," kata Budi Waseso, Jumat pekan lalu.
BUDI Waseso memimpin Badan Reserse Kriminal sejak 19 Januari 2015. Ketika itu, Suhardi Alius dicopot tiba-tiba karena dituduh membocorkan berbagai rahasia kepolisian ke komisi antikorupsi. Hubungan kedua lembaga dalam titik terpanas setelah Budi Gunawan, yang diajukan Presiden menjadi calon tunggal Kepala Kepolisian ke DPR, dinyatakan sebagai tersangka gratifikasi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.
Meski telah disetujui DPR, Budi Gunawan tak kunjung dilantik menjadi Kepala Kepolisian RI. Badrodin, yang ditunjuk sebagai pelaksana tugas—sebelum resmi dicalonkan menjadi Kepala Kepolisian—ketika itu melantik Budi Waseso di ruang tertutup, terkesan diam-diam. Budi Waseso dikenal publik memiliki hubungan dekat dengan Budi Gunawan, ajudan Megawati Soekarnoputri ketika menjadi presiden pada 2001-2004. Dalam uji kelayakan di DPR, Budi Waseso bahkan mendampingi kawan seangkatannya itu.
Dilantik dalam sepi, Budi Waseso segera membuat heboh. Ia memerintahkan penangkapan Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto dan penyidik senior Novel Baswedan. Ia juga memerintahkan penetapan Ketua KPK Abraham Samad sebagai tersangka. Sejumlah aktivis antikorupsi yang membela lembaga antikorupsi itu "diperkarakan".
Budi Waseso ditopang sejumlah perwira yang juga dekat dengan Budi Gunawan, termasuk Brigadir Jenderal Victor Edison Simanjuntak, yang kemudian menjadi Direktur Tindak Pidana Ekonomi Khusus. Badan Reserse Kriminal banyak melakukan penggeledahan, operasi yang sebelumnya selalu sukses menjadi perhatian publik ketika dilakukan komisi antikorupsi.
Penggeledahan itu justru menjadi faktor pemicu pencopotan Budi Waseso. Ia memimpin penggerebekan kantor Pelindo II pada 28 Agustus lalu. Datang bersama sejumlah wartawan, ia masuk ke ruang kerja Direktur Utama Richard Joost Lino. Situasi memanas karena Lino menelepon Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional Sofyan Djalil, memprotes penggeledahan.
"Saya mundur saja besok," kata Lino, yang meminta Sofyan melaporkan penggeledahan itu kepada Presiden Jokowi. Lino pun menyebutkan sejumlah nama menteri yang dia hubungi, antara lain Menteri Badan Usaha Milik Negara Rini Soemarno serta Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Luhut Binsar Pandjaitan.
Rini membenarkan kabar bahwa ia dihubungi Lino. Ia bahkan mengaku menelepon Badrodin soal penggeledahan itu. Menurut dia, selain Lino, banyak direktur BUMN yang takut mengambil kebijakan setelah penggeledahan. Seperti halnya Rini, Menteri Luhut mempersoalkan penegakan hukum yang menimbulkan "kegaduhan".
Jusuf Kalla pun turun tangan. Dari Seoul, Kalla menelepon langsung Budi Waseso. "Saya tanya apa yang terjadi. Dijelaskanlah," ujar Kalla, Kamis pekan lalu. Selama ini, Kalla tak pernah mempersoalkan langkah Budi Waseso secara terbuka, termasuk ketika jenderal yang akrab disapa Buwas itu bermanuver di pusaran konflik polisi dengan KPK.
Kalla mengatakan, "Saya bilang kepada Budi Waseso bahwa kebijakan korporasi jangan dipidanakan. Itu prinsip yang telah kita pakai dan sesuai dengan aturan Undang-Undang Administrasi Pemerintahan."
Peran Kalla ini memunculkan tuduhan kedekatan pribadinya dengan Lino. Penunjukan Lino sebagai direktur utama sejak 2008, ketika Sofyan menjabat Menteri BUMN dan Kalla wakil presiden era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, dijadikan alasan. Sofyan juga menjadi Komisaris Utama PT Pengembang Pelabuhan Indonesia, anak usaha Pelindo II, sejak 2012. "Pak Sofyan mengundurkan diri setelah menjadi Menteri BUMN," kata Sekretaris Perusahaan PPI Hambar Wiyadi, Kamis pekan lalu. "Hubungan kami hanya secara profesional," ujar Sofyan.
Beredar pula kabar bahwa keluarga Lino memiliki 46 persen saham di PT Bukaka Teknik Utama Tbk, perusahaan keluarga Kalla. Keluarga Lino disebut-sebut membeli saham Bukaka melalui perusahaan Malaysia, Armadeus Acquisitions Ltd. Namun Kalla membantah kabar tersebut. Adapun Lino tak menjawab pertanyaan soal ini.
Juru bicara Wakil Presiden, Husein Abdullah, mengatakan telepon Kalla ke Budi Waseso tak menunjukkan hubungan apa pun dengan persoalan pribadi. Menurut Husein, Kalla mengingatkan Budi Waseso karena penggeledahan Pelindo II dilakukan hanya tiga hari setelah Presiden dan Wakil Presiden mengumpulkan pejabat penegak hukum di Istana Bogor.
Dalam pertemuan itu, petinggi lembaga penegak hukum disuguhi fakta bahwa pengusutan kasus korupsi telah menakutkan birokrasi, sehingga penyerapan anggaran negara hanya 25 persen. Ada lima poin yang disepakati dalam pertemuan itu. Intinya, kesalahan administrasi jangan dipidanakan. "Tapi, kalau jelas-jelas mencuri uang negara, tak jadi masalah diusut," kata Kepala Staf Kepresidenan Teten Masduki.
Dalam rapat koordinasi itu, Presiden pun meminta tersangka dari pejabat negara jangan diumumkan ke publik sebelum memasuki penuntutan, supaya tak terjadi kegaduhan. Jika terus ribut, kata Presiden, tujuan penegakan hukum tak akan tercapai. "Tanggal 25 diberi tahu, eh, tanggal 28 ada penggeledahan. Itu kan mempermalukan," ujar Husein.
BS, Jobpie Sugiharto, Mitra Tarigan, Moyang Kasih, Ananda Teresia, Yuliawati, syaiLendra Persada, Sunudyantoro
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo