Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PULUHAN penyidik Badan Reserse Kriminal Kepolisian RI merangsek masuk ke kantor PT Pelabuhan Indonesia II di Tanjung Priok, Jakarta Utara, Jumat siang dua pekan lalu. Kepala Bareskrim Komisaris Jenderal Budi Waseso memimpin tim yang dikawal pasukan bersenjata itu.
Setelah menunjukkan surat perintah penggeledahan, polisi menyebar ke beberapa lantai gedung perusahaan negara itu. Di antaranya ruang kerja Direktur Utama Pelindo II Richard Joost Lino di lantai tujuh. Penggeledahan berakhir menjelang tengah malam.
Menurut Direktur Tindak Pidana Ekonomi dan Khusus Bareskrim Brigadir Jenderal Victor Edison Simanjuntak, penggeledahan merupakan bagian dari penyidikan atas pengadaan sepuluh unit alat angkat untuk bongkar-muat barang oleh Pelindo II. Dia mengatakan timnya menyidik perkara ini sejak 27 Agustus lalu. "Pengadaan mobile crane tak sesuai dengan aturan. Kami menggeledah mencari bukti," ujarnya.
Sewaktu rombongan polisi datang, Lino sedang berada di luar kantor. Ketika kembali, ia terkaget-kaget melihat polisi menggeledah kantornya. Lino lantas menghubungi Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional Sofyan Djalil melalui telepon yang suaranya dikeraskan. "Begitu saya datang, media sudah begitu banyak. Saya dibuat seperti kriminal. Bapak tolong kasih tahu Presiden. Bila begini caranya, saya berhenti," kata Lino.
Penggerebekan Pelindo mengagetkan banyak pejabat pemerintah. Menteri Badan Usaha Milik Negara Rini Soemarno sampai menghubungi Kepala Polri Jenderal Badrodin Haiti untuk mempertanyakan hal ini. Wakil Presiden Jusuf Kalla, yang sedang berada di Seoul, Korea Selatan, pun menghubungi Budi Waseso.
Tiga hari sebelum polisi menggeledah kantor Pelindo, Presiden Joko Widodo mengumpulkan semua pemimpin lembaga hukum di Istana Bogor. Presiden mewanti-wanti agar aparat berhati-hati menyidik perkara "yang berpotensi mengganggu perekonomian dan pembangunan". Alasannya, perekonomian sedang kalang-kabut. Penyerapan anggaran negara pun rendah karena pejabat takut mengambil tindakan. Dalam rapat koordinasi itu, disepakati penyidikan kasus dugaan korupsi tak diekspos ke media sebelum memasuki masa penuntutan.
Menurut sejumlah informasi, perkara di Pelindo berawal dari laporan perwakilan pengurus Serikat Pekerja Pelindo II ke Markas Besar Polri pada awal tahun ini. Beberapa karyawan yang dipecat dan bersengketa dengan direksi menyerahkan setumpuk dokumen pengadaan sepuluh unit alat angkat pelabuhan. "Kami melaporkan kejanggalan lelang mobile crane," kata Hendra Budi, seorang pelapor, Rabu pekan lalu.
Pengadaan bermula pada 2010, ketika manajemen pusat Pelindo II mengusulkan pembelian sepuluh unit alat angkat berkapasitas 25 ton dan 65 ton. Proses lelang berlangsung dua kali. Lelang pertama, pada 2011, diikuti Guangxi Narishi Century Equipment Co Ltd dan PT Ifani. Kala itu, hanya Guangxi yang lolos syarat administrasi dan teknis. Menurut polisi, lelang pertama gagal karena salah satu komponen barang yang ditawarkan Guangxi di atas harga perhitungan sendiri Pelindo.
Pada lelang kedua, Guangxi bersaing dengan PT Altrak 1978. Kali ini, harga perhitungan sendiri Pelindo untuk sepuluh unit mobile crane adalah Rp 46,2 miliar. Adapun tawaran Guangxi sebesar Rp 45,9 miliar. Perusahaan asal Cina ini pun keluar sebagai pemenang lelang.
Setelah barang kiriman Guangxi tiba pada 2013, Pelindo II hendak membagikan mobile crane itu ke delapan pelabuhan cabang. Kedelapan cabang itu adalah Pelabuhan Panjang, Palembang, Pontianak, Bengkulu, Teluk Bayur, Banten, Cirebon, dan Jambi. Namun pelabuhan cabang menolak alat angkat itu, yang dianggap ketinggalan zaman. "Kapasitasnya kurang. Kalau dipaksakan, tidak optimal," ujar Hendra.
Menurut dokumen ringkasan hasil penyidikan, polisi menyebutkan ada indikasi tindak pidana korupsi dan pencucian uang dalam kasus ini. Modusnya, antara lain, membuat perencanaan yang tidak benar dan tidak didasari analisis kebutuhan pengadaan barang. Polisi juga menilai pemenang lelang tidak memiliki pengalaman dan kapabilitas dalam pengadaan alat angkat. Lebih jauh lagi, polisi menyebutkan ada upaya menguntungkan diri sendiri atau korporasi dengan mengubah sistem lumsum (pembayaran sekaligus) menjadi pembayaran bertahap, sebanyak 20 persen untuk uang muka dan sisanya dicicil.
Berbeda dengan kesimpulan polisi, sejumlah lembaga yang mengaudit pengadaan mobile crane tidak menyebut indikasi pidana. Pada Februari 2013, Kantor Akuntan Publik Hadori Yunus, yang disewa Pelindo II, memang memberikan catatan khusus atas pengadaan alat angkat ini. Namun, berdasarkan dokumen, tim auditor hanya menyebut sejumlah indikasi mismanajemen. Di antaranya penyelesaian pekerjaan yang melampaui tenggat dalam perjanjian. Sesuai dengan kontrak, pekerjaan seharusnya rampung pada 4 Desember 2012. Faktanya, sampai 23 Februari 2013, alat angkat belum tiba di Tanjung Priok.
Badan Pemeriksa Keuangan juga telah mengaudit pengadaan alat angkat ini. Menurut dokumen audit BPK, pengadaan ini melalui dua kali addendum atau perubahan perjanjian kontrak. Addendum pertama, pada 3 Desember 2012, mengubah skema pembayaran dan kurs pada jaminan pembayaran. Adapun addendum kedua, pada 8 Agustus 2013, mengubah tempat penyerahan barang, dari semula ke delapan cabang menjadi hanya ke Pelabuhan Tanjung Priok. Perubahan ini disertai pengurangan biaya Rp 190 juta.
Menurut anggota BPK, Achsanul Qosasi, lembaganya tak menemukan indikasi kerugian negara. "Kami hanya menemukan ketidakcermatan dalam pengadaan," ujar Achsanul. Lembaga auditor negara itu pun menemukan kekurangan penerimaan sebesar Rp 456,5 juta sebagai penalti atas keterlambatan pengiriman. Namun, menurut Achsanul, kekurangan penerimaan itu sudah diselesaikan Pelindo II. Hasil audit BPK sudah diserahkan kepada Presiden, Menteri BUMN, dan direksi Pelindo II sejak Februari 2015.
Corporate Secretary PT Pelindo II Banu Astrini mengatakan, di samping oleh BPK dan auditor independen, pengadaan mobile crane telah diaudit oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan. Hal ini, kata Banu, untuk memastikan pengadaan barang itu tidak melanggar aturan.
Toh, polisi berkukuh bahwa cacat pada pengadaan alat angkat ini bukan hanya soal administratif. "Saya jamin, bukan seratus persen, tapi seribu persen, ada pidana korupsi," kata Budi Waseso, Jumat pekan lalu. Akhir pekan lalu, polisi pun menetapkan salah seorang direktur Pelindo II sebagai tersangka.
Perkara ini ternyata menjadi "riak terakhir" yang muncul setelah Budi Waseso menjadi Kepala Badan Reserse Kriminal. Sebelumnya, berbagai kasus membuat heboh publik, termasuk penangkapan pemimpin Komisi Pemberantasan Korupsi, awal tahun ini. Pekan lalu, Markas Besar Kepolisian menggesernya menjadi Kepala Badan Narkotika Nasional.
Yuliawati, Syailendra, Ayu Prima, Moyang Kasih, Putri Adityowati
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo