Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di Aceh terdapat ujung jalan Indonesia, yaitu Kilometer Nol di Pulau Weh. Namun sulit menemukan ujung penjual makanan. Sepanjang mata memandang, berbagai warung menyajikan hidangan yang seperti tidak ada habisnya. Karena itu, sulit menulis hanya lima tempat makan di Aceh. Berikut ini pilihan kami berdasarkan variasi menu.
Rumah Makan Khas Aceh Rayeuk
Jalan Medan-Banda Aceh Kilometer 3,5, Lueng Bata, Banda Aceh.
Buka: Pukul 11.00-22.00 WIB
Bagi wisatawan yang datang dengan pesawat, posisi restoran ini strategis, berada di jalur penghubung Bandar Udara Sultan Iskandar Muda dan pusat Kota Banda Aceh. Menu andalannya adalah ayam tangkap. Hidangan ini populer sejak delapan tahun lalu. Bahan utamanya adalah ayam kampung yang berumur dua-tiga bulan. Dagingnya direndam air kelapa, ditambah rempah-rempah, seperti kunyit, daun pandan, dan daun salam. Ayam muda itu dicacah menjadi seukuran satu ruas jari, lalu digoreng bersama daun melinjo. Dijual Rp 60 ribu per satu ayam.
Rumah Makan Aceh Rayeuk—berarti Aceh Besar, kabupaten asal masakan tersebut—juga tempat yang tepat untuk mencicipi pliek 'u. Sayuran khas Aceh ini menggunakan bumbu yang terbuat dari kelapa yang dibusukkan. "Diperam sampai satu bulan," ujar Saddam Husein, 22 tahun, pelayan di sana. Rasa pliek 'u mirip gulai daun singkong, tapi lebih masam. Selain daun singkong, dicampurkan daun melinjo, daun kari, melinjo muda, dan kulit lembu dalam sayuran tersebut.
Warung Nasi Hasan
Jalan Laksamana Malahayati, Krueng Raya
Buka: Pukul 11.00-22.00 WIB
Buka sejak 25 tahun lalu, Warung Nasi Hasan menjadi tempat yang wajib dikunjungi wisatawan yang ingin mencoba masakan Aceh. Kami tetap menyarankan Anda singgah di sana meski sudah mencicipi hidangan Aceh Besar di tempat lain. Sebab, rumah makan ini memiliki menu istimewa, yaitu ayam goreng panas.
Nama menu itu memang tidak menjual. Penampakannya pun standar, berupa seperempat bagian ayam kampung yang berwarna cokelat tua pasca-penggorengan. Namun, begitu melewati gigitan pertama, sulit menyudahinya. Saya meninggalkan rumah makan itu setelah menelan dua dada dan dua paha—sama dengan satu ekor ayam.
"Saya makan ayam itu setiap hari, tapi tidak pernah bosan," ujar Muhammad Hasanusi, 25 tahun, pelayan di sana sejak 2009. Dia mengatakan ayam goreng itu merupakan satu-satunya masakan yang resepnya dipegang langsung oleh sang pemilik, Hasan. Saban pagi, Hasan berkeliling ke tiga warungnya untuk membumbui ayam tersebut. "Kami tidak pernah tahu apa bumbunya." Setiap hari, Warung Nasi Hasan menghabiskan 2 kambing dan 200 ayam.
Mie Aceh Razali
Jalan Panglima Polim 83-85, Banda Aceh
Buka: Pukul 10.00-22.00 WIB
Warung mi ini berawal dari Razali, pedagang mi keliling yang berjualan sejak 1967. "Awalnya pakai gerobak," kata Nazariyah, putri Razali. Sang ayah meninggal 14 tahun silam. Namun racikannya dipertahankan penerusnya, yang menonjolkan rasa kari pada masakan mereka.
Seiring dengan waktu, menu Mie Aceh Razali berkembang, termasuk mi kepiting. Dengan Rp 35 ribu, kita mendapat sepiring mi dengan lauk seekor kepiting.
Sate Gurita
Pujasera Kuliner, Sabang, Pulau Weh.
Buka: Pukul 16.00-24.00 WIB
Hidangan ini tergolong baru, sejak 2005. Siti Halimah, 32 tahun, awalnya hanya mencoba-coba mencari menu baru untuk warungnya yang menghidangkan sate sapi dan ayam. Warga Jalan Perdagangan itu lalu menjajal memasak gurita, yang di Pasar Sabang dijual dengan harga sepertiga daging sapi.
Halimah menawarkan dua bumbu sebagai pendamping sate gurita, yaitu bumbu Jawa—saus kacang seperti pada sate ayam Madura—dan bumbu Padang, yang terdiri atas campuran kunyit, jahe, lengkuas, tepung beras, dan tepung kanji, seperti di sate Padang. Meski gurita tergolong asing bagi masakan Aceh, pilihan bumbu itu membuat sate gurita lebih "dekat".
Sehari-harinya, Halimah menghabiskan tiga kilogram daging gurita di Pulau Weh, yang berpenduduk 30 ribu jiwa. Namun, pada hari besar, seperti Lebaran dan tahun baru, dagangannya meningkat sampai delapan kali lipat. "Sate gurita lebih digemari oleh tamu dari luar Sabang," katanya. Saat ini ada tujuh pedagang yang mengikuti jejak Halimah di pulau yang terletak di ujung barat Indonesia itu.
Sate Matang Yakin Rasa
Jalan Sri Ratu Syafiatuddin, Peunayong, Banda Aceh
Buka: Pukul 16.00-23.00 WIB
Sate ini diberi nama sesuai dengan daerah asalnya, yaitu Matang Glumpang Dua, desa di Kabupaten Bireuen, sekitar 220 kilometer dari Banda Aceh. Di tempat asalnya, sate yang berbahan sapi atau kambing ini dijual di warung kopi yang buka 24 jam. Tiga tahun lalu, UNESCO menobatkan sate matang sebagai warisan kuliner dunia dari Aceh.
Mulyadi, 29 tahun, warga Banda Aceh, merantau ke Bireuen untuk mempelajari pembuatan sate matang, sekitar 12 tahun lalu. Dia lalu membuka Yakin Rasa pada 2005. Kunci kelezatan sate ini, kata Mulyadi, terletak pada pembumbuan pra-pembakaran. "Kami pakai jahe, kemiri, lengkuas, kunyit, bawang, dan serai," katanya.
Dengan bumbu kacang, rasanya lebih gurih daripada kebanyakan sate kambing di Jakarta. Hanya, potongannya juga lebih kecil. Sate ini dijual Rp 20 ribu per porsi, sudah termasuk kuah soto. Sehari, Yakin Rasa menghabiskan 15 kilogram daging kambing dan 30 kilogram daging sapi.
Di Peunayong juga terdapat gerai lain yang menyuguhkan sate matang. Pilihan lain ada di Simpang Surabaya, Banda Aceh.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo