Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Banyaknya bumbu yang dipakai dalam makanan Aceh bisa dikaitkan dengan sejarah perdagangan rempah. Aceh pernah menjadi pelabuhan penyambung Maluku, sebagai penghasil rempah, dengan India dan Timur Tengah.
1507:
Sultan Ali Mughayat Syah mendirikan Kesultanan Aceh Darussalam, hasil penyatuan Kerajaan Lamuri, Perlak, Pasai, Pidie, dan Lingga.
1511:
Portugis menguasai Malaka. Para pedagang, terutama Islam, enggan mampir ke sana dan mencari pelabuhan baru untuk berdagang rempah-rempah.
1514:
Aceh Darussalam membuka bandar alternatif di muara Krueng (Sungai) Aceh. Letaknya di ujung utara Pulau Sumatera, pintu masuk Selat Malaka.
1537-1571:
Sultan Alauddin al-Kahar memerintah Aceh. Aceh menaklukkan Kerajaan Singkil, Trumon, Barus, Tiku, dan Pariaman di pesisir barat Sumatera. Di timur, kekuasaannya mencapai Deli dan Asahan. Permukiman Batak di pedalaman Swarnadwipa tidak disentuh karena sang Sultan hanya mengincar perkebunan yang dekat dengan pesisir dan pelabuhan. Penaklukan ini di antaranya untuk meningkatkan produksi lada--satu-satunya rempah yang dihasilkan Aceh.
1602:
Pada 5 Juni, pelaut Inggris, Sir James Lancaster, mendarat di Aceh. Dalam catatannya dia menulis, "Di pelabuhan, bersandar 16 kapal, di antaranya dari Gujarat, Bengal, dan Semenanjung Malaya. Ini merupakan pusat perdagangan yang penting, meski bukan sumber langsung rempah-rempah."
1873:
Perang Aceh berkecamuk. Belanda mendarat di pelabuhan Pante, sekitar dua kilometer di sebelah barat pelabuhan lama. Pada abad ke-19, perdagangan rempah Aceh sudah meredup, apalagi setelah Belanda masuk.
Di Beli lalu Ditanam
Lma abad lalu, sebagian besar rempah di Aceh tidak berasal dari tempat itu. Hanya lada yang sudah ada di Aceh sebelum perdagangan rempah internasional meramaikan kawasan itu. "Komoditas utama Aceh adalah lada. Rempah-rempah lain tidak dihasilkan di Aceh," kata Rusdi Sufi, sejarawan Universitas Syiah Kuala, Aceh, kepada Tempo, awal bulan lalu.
Untuk meningkatkan produksi ladanya, Sultan Alauddin al-Kahar meluaskan daerah kekuasaannya ke selatan. Pada masa pemerintahannya, 1537-1571, Aceh menaklukkan Kerajaan Singkil, Trumon, Barus, Tiku, dan Pariaman di pesisir barat Sumatera. Di timur, kekuasaannya mencapai Deli dan Asahan. Permukiman Batak di pedalaman tidak disentuh karena sang Sultan hanya mengincar perkebunan yang dekat dengan pesisir dan pelabuhan.
Perlahan penduduk Aceh mulai menanam sendiri rempah-rempah yang mereka butuhkan. Ilham Abdurrahman, agen rempah-rempah di Pasar Peunayong, Banda Aceh, mengatakan sebagian suplai rempah di tokonya dipasok dari kebun sendiri. Pria 44 tahun itu memiliki kebun pala warisan neneknya di Meukek, Aceh Selatan. Perkebunan cengkeh ada di Aceh Besar dan Sabang, ketumbar di Takengon, lada di Aceh Besar, kapulaga di Bireuen, kemiri di Aceh Selatan, dan lain-lain. "Ditanam sejak zaman Belanda," ujarnya.
Di antara tumpukan karung di kios Ilham, terdapat bahan yang asing bagi orang luar Aceh, yaitu kas-kas, yang berbentuk seperti pasir cokelat. Mirip, tapi lebih kecil dibanding lada. Ilham mengatakan bumbu tersebut berasal dari biji poppy (Papaver somniferum), tanaman yang bentuk keringnya dijadikan bahan opium. "Tapi ini tidak melanggar hukum karena berbentuk biji," katanya.
Menurut Ilham, rempah tersebut berkhasiat untuk melembutkan daging. Di tempat asal-muasalnya di Timur Tengah, bumbu itu disebut kashakish, sementara sebagian orang Aceh menyebutnya koca-kaci. Ilham tidak tahu tempat kas-kasnya ditanam. "Ini datang dari pelabuhan di Medan," ujarnya.
Enak di Lidah, Nyaman di Badan
Selain memanfaatkan rempah sebagai penyedap makanan, orang Aceh menggunakannya untuk kesehatan. "Rempah-rempah tidak hanya untuk memasak, tapi juga obat," ujar Rosmawati, asal Sibreh, Kecamatan Suka Makmur, Aceh Besar. Ia lalu menggerus pala di bate seumeupeh—semacam batu ulekan, tapi rata, untuk menggiling bumbu. Hasil kikisan yang kemerahan itu, kata dia, dioleskan ke dahi untuk obat sakit kepala.
Rosmawati, serta tetangga-tetangganya, juga mengandalkan rempah-rempah untuk masalah kesehatan lain. Misalnya menghirup aroma jintan saat pilek dan meminum campuran gilingan lada dan air hangat untuk menyetop mencret.
Dokter-dokter Eropa pada abad ke-16 juga bergantung pada rempah-rempah untuk menyelamatkan pasien mereka, sehingga rempah lebih bernilai daripada emas. Cengkeh untuk sakit telinga, misalnya, dan lada menjadi penolak flu. Bahkan pala menjadi satu-satunya obat untuk menanggulangi wabah flu mematikan—virusnya bisa membunuh penderita hanya dalam dua jam—pada abad ke-16.
Glosarium
Asam Sunti:
Terbuat dari buah belimbing sayur atau wuluh (Averrhoa bilimbi) yang digarami dan dijemur seminggu. Penggunaannya untuk masakan seperti asam keueng (ikan dengan kuah asam dan pedas) dan eungkot keumamah (ikan awetan)—orang Aceh menyebutnya ikan kayu.
Pliek 'u:
Hasil fermentasi kelapa yang sudah dipisahkan dari minyak. Kelapa tua yang diperam sampai lima hari lalu diparut, dan parutannya diperam lagi selama satu hari. Setelah itu, dari parutan tersebut diperas minyaknya—bisa digunakan sebagai obat, dari sakit perut sampai penurun panas. Pliek 'u menjadi bahan utama gulee pliek 'u, gulai yang terdiri atas campuran daun dan buah melinjo, nangka, pepaya muda, dan daun singkong.
Daun Temurui:
Orang Aceh menyebutnya eon temurui. Daerah lain mengenalnya dengan daun kari atau salam koja (Murraya koenigii). Daun ini digunakan di banyak jenis masakan, dari kari sampai ayam tangkap (ayam kampung dengan umur maksimal tiga bulan yang dicacah, lalu digoreng).
Ikan Kayu:
Ikan, biasanya tongkol (Euthynnus affinis), yang diawetkan secara alami lewat perebusan dan pengasapan, bisa juga dijemur berhari-hari. Disebut ikan kayu karena teksturnya yang keras dan berwarna cokelat kehitaman, seperti katsuobushi di Jepang. Ikan kayu bisa dimakan langsung atau dibuat menjadi eungkot keumamah, suwiran ikan kayu yang ditumis bersama asam sunti, cabai, bawang, kunyit, dan kelapa gongseng.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo