Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Pada Mulanya Kelapa

Orang Minang sudah berabad-abad memasak makanan bersantan seperti rendang dan gulai. Selain rendang daging, kini berkembang rendang telur dan singkong. Ada pengaruh India dalam bumbunya.

1 Desember 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sofian, lelaki pemetik kelapa asal Pariaman, menarik-narik tali panjang yang mengikat leher beruknya. Sang monyet sedang memanjat pohon kelapa. Dari tadi binatang piaraannya itu hanya memegang-megang buah kelapa tanpa memetiknya.

"Capeklah! Lah abis pindah kasiko! (Cepatlah! Sudah habis, pindah ke sini!)," ujar lelaki itu seraya menarik tali tersebut ke arah lain.

"Hu… hu…," sahut beruk itu.

"Dia sudah mau minum. Kalau sedang kerja begini, dia mendapat nasi dan susu," kata Sofian.

Sudah sekitar 15 tahun Sofian menjadi pemetik kelapa di Padang Pariaman, kabupaten di sebelah barat laut Kota Padang. Pada Ahad awal November lalu, dia bersama tiga rekannya sedang memanen kelapa di kebun kelapa milik Sipung, yang luasnya sekitar setengah hektare, di samping Sekolah Dasar Negeri 9, Desa Toboh Sikumbang, Kecamatan VII Koto Sungai Sariak, Padang Pariaman. Bukan dia yang memetik kelapa itu, melainkan beruknya, yang dibelinya dari seorang pelatih beruk di daerah Padang Sago, tak jauh dari kebun tersebut. Kelapa dijual ke pasar dan warung nasi. "Yang kelas super, yang ukurannya besar, dijual ke Pekanbaru. Yang lebih kecil biasanya dibuat rendang," kata Sofian.

Santan kelapa adalah bahan dasar utama masakan Minang. Santan itu diolah dengan sayur, ikan, atau daging dengan banyak bumbu. Menurut Nur Indrawaty Lipoeto, guru besar ilmu gizi di Fakultas Kedokteran Universitas Andalas, Padang, karena dulu suka merantau, orang Minang harus membuat makanan yang tahan lama. "Bumbu-bumbu inilah yang membuat makanan itu menjadi lebih tahan lama," katanya.

William Marsden, pegawai East India Company, perusahaan dagang Inggris, mencatat dalam The History of Sumatra (1784) bahwa ada dua tumbuhan paling penting di Sumatera pada masa itu: padi dan kelapa. Hingga kini pun kedua tanaman itu masih menjadi tanaman utama. Nasi adalah makanan pokok penduduk. Adapun kelapa diolah menjadi santan untuk membuat gulai. Tapi Marsden saat itu belum menyebut rendang.

Menurut guru besar sejarah Universitas Andalas, Gusti Asnan, keterangan pertama Belanda tentang rendang muncul secara implisit dari catatan Jenderal Hubert Joseph Jean Lambert de Stuers, panglima militer dan residen Padang pada masa pemerintahan kolonial Belanda, tentang kuliner dan sastra Sumatera Barat, pada 1827. Stuers menggambarkan "suatu teknik membuat masakan yang menggunakan susu kelapa yang dihanguskan". "Ini mengarah pada rendang. Rendang baru disebutkan dalam catatan Belanda pada abad ke-20," kata penulis buku Dunia Maritim Pantai Barat Sumatera itu.

Karambia, sebutan orang Minang untuk kelapa, mudah dijumpai di sekujur ranah Minang. Sepanjang perjalanan kami—juru foto Aditia Noviansyah dan saya—dari Padang ke Payakumbuh melalui Padang Panjang, pohon kelapa tampak tegak di hampir semua rumah penduduk. Di pegunungan pun pohon itu selalu mencuat di antara berbagai tumbuhan hutan.

Udara panas pesisir yang kami rasakan di Padang berubah jadi hawa sejuk pegunungan ketika kami memasuki Payakumbuh. Ini adalah sebuah kota kecil di Kabupaten Lima Puluh Kota, di kaki Bukit Barisan di sebelah timur laut Padang. Kota ini ramai karena menjadi jalur utama menuju Riau dan terletak sekitar dua jam dari Bukittinggi, salah satu pusat wisata utama Sumatera Barat.

Kelapa, yang banyak dipanen orang di Pariaman, bertemu dengan daging sapi, cabai merah, dan beragam rempah di Pasar Ibuh Timur. "Pasar basah" ini berada di sisi timur Jalan Ahmad Yani dan beberapa ratus meter dari Jembatan Ratapan Ibu—tempat tentara Belanda membantai para pejuang kemerdekaan di zaman penjajahan Belanda. Untuk ke sana, kami masuk dari sisi barat jalan raya, tempat "pasar kering" Pasar Ibuh Barat berdiri, dengan melalui lorong di bawah jalan raya.

Di sinilah Fahdia Ilham, perempuan separuh baya pemilik usaha Rendang Nikmat, biasa membeli bahan pembuatan rendang. Pada Rabu siang di awal November itu Fahdia, dengan didampingi suaminya, Ade Taufik, berbelanja daging, kelapa parut, dan rempah-rempah. Para pedagang menyapa mereka dengan ramah. Meski hari sudah tengah hari, berbagai sayur dan rempah di sana tampak masih segar. Setelah membeli berbagai bahan untuk bumbu rendang, mereka berboncengan naik sepeda motor bebek kembali ke rumahnya di kawasan Balai Nan Duo, tak jauh dari gedung Kerapatan Adat Nagari Koto Nan Ampek.

Rumah Fahdia yang bercat putih itu tak begitu besar, tapi ruangan dalamnya luas. Guru SMP 2 Payakumbuh ini mewarisi keahlian memasak rendang dari ibunya. "Mulanya hanya lihat-lihat saja ibu saya memasak. Lalu saya coba sendiri. Sekali coba, dua kali coba, sampai bisa," katanya.

Fadhia mengakui, pada masa coba-coba itu, ia sering gagal. Saat memasak rendang telur, misalnya, dia pernah membuatnya jadi kering seperti kerupuk, sehingga terpaksa dibuang. Bumbu rendangnya juga pakai jurus coba-coba, sebelum menemukan komposisi yang pas seperti sekarang. "Dulu itu bumbu diambil pakai tangan saja, dikira-kira. Kemudian saya perbaiki lagi, sampai ketemu jumlah yang pas, baru ditimbang, sehingga jadi standar," katanya.

Fahdia mulai memasak rendang untuk dijual pada 2002. Mutu rendangnya diakui kemudian, ketika dia tiga kali berturut-turut menjadi juara pertama Festival Rendang Padang di Payakumbuh selama 2011-2013. Setelah usahanya berkembang, dia tak hanya membuat rendang basah, tapi juga rendang kering, yang dikemas per kotak seberat 250 gram dan dipasarkan hingga ke Jakarta dan Bandung.

Rendang pada dasarnya adalah racikan santan dan berbagai bumbu dengan isi beragam, dari telur hingga singkong. Fahdia pada mulanya hanya membuat rendang telur dan rendang daging, tapi kini juga membuat rendang suwir, rendang singkong, dan "rendang bakso", rendang dengan daging bulat seperti bakso. "Rendang bakso ini yang paling susah. Kalau saat dibulatkan tidak kukuh, dagingnya pecah lagi dan jadi bumbu semua. Kalau pecah satu, yang lain juga pecah," katanya. Rendang daging Fahdia berwarna kuning kecokelatan, tidak hitam seperti pada umumnya. "Rendang hitam itu kelapanya dioseng dulu, terus digiling sampai berminyak."

Hari itu Fahdia memasak rendang runtiah. Dia mula-mula memasak santan, lalu memasukkan daging sapi yang disuwir-suwir tapi tak putus. Umumnya orang memasak rendang dengan memasak dulu dagingnya, tapi Fahdia tidak. Daging itu matang bersamaan dengan matangnya berbagai bumbu lain.

Dia juga tidak memasukkan semua bumbu sekaligus, tapi memasukkan satu per satu cabai merah giling, jahe, laos, bawang merah, bawang putih, daun salam, daun jeruk, serai, dan daun kunyit ke dalam kuali. "Ini namanya rendang Koto Nan Ampek. Bumbunya hanya ini," ujarnya. Semua bumbu itu diiiris halus, "Sehingga nanti bumbunya meresap dalam rendang, tak ada yang dibuang," katanya sambil sesekali mengaduk masakan rendangnya yang mulai meletup-letup di kuali.

Untuk memasak sedikit rendang, Fahdia memakai kompor minyak tanah. Untuk memasak rendang dalam skala besar, dia memakai kuali besar di sebuah dapur tambahan di samping rumahnya. Di dapur itu ada lima kuali sebesar meja makan untuk memasak 20 kilogram daging dalam sehari. Dapur itu berupa rumah tanpa kamar yang beratap tinggi. Di dalamnya ada tiga tungku dengan bahan bakar kayu. Dindingnya menghitam oleh asap. Butuh waktu sekitar tiga jam untuk memasak rendang dengan kuali ini.

Setelah beberapa jam menunggu, rendang pun matang dan Fahdia menghidangkannya di meja untuk kami cicipi. Sepiring rendang runtiah dan sepiring rendang telur tersaji di meja makannya. Rendang itu rasanya manis, tidak pedas. "Cabai itu hanya tambahan. Kami tambahkan banyak bila yang pesan adalah orang Minang yang suka pedas," katanya.

Selain rendang, lauk utama orang Minang adalah gulai. Kuahnya dari santan yang dimasak di kuali. Isinya bisa ikan atau daging. Bumbunya tergantung selera juru masaknya, seperti ketumbar, jintan, jahe, asam Jawa, laos, pala, cengkeh, kunyit, kulit kayu manis, bawang merah, bawang putih, daun salam, daun limau, dan serai. Banyaknya bumbu itu, kata Nur Indrawaty, menunjukkan pengaruh budaya India dalam masakah Minang.

Menurut penelitian Gusti Asnan, pada abad ke-13 dan ke-14 sudah ada orang India yang ke Sumatera Barat. Tome Pires, pengelana Portugis, mencatat bahwa pada awal abad ke-16 ada kapal dari Gujarat yang datang ke pantai barat Sumatera. Mereka berdagang dan mendarat di pelabuhan Tiku (kini di Kabupaten Agam) dan pelabuhan di Pariaman. "Kalau awal abad ke-16 sudah tercatat mereka datang kemari, tentu jauh sebelumnya mereka sudah masuk juga," katanya.

Gusti juga menjelaskan hubungan Minangkabau dengan Afrika dan India yang sudah lama terjadi karena adanya arus dan angin yang berputar bolak-balik antara pantai barat Sumatera ke India dan Afrika. "Enam bulan sekali, kapal orang pantai barat Sumatera bisa diantar arus ke India, lalu ke Afrika. Enam bulan berikutnya sebaliknya, dari Afrika, India, lalu ke pantai barat Sumatera," katanya.

Budaya tabuik (tabut) yang masih bertahan hingga kini di Pariaman adalah salah satu bukti hubungan kuat antara India dan Minang. "Tradisi tabuik sudah seribu tahun lalu berkembang di Iran, lalu menyeberang ke Pakistan, India, dan sampai di Pariaman," kata atase kebudayaan Kedutaan Besar Republik Islam Iran, Hujjat Ibrahimian, saat menghadiri acara puncak Pesta Budaya Tabuik Pariaman 2014 di Kota Pariaman pada awal November lalu. Tabuik adalah tradisi kaum Syiah untuk memperingati Hari Asyura (10 Muharam) dan wafatnya Husein, cucu Nabi Muhammad.

Salah satu jenis masakan Minang yang paling jelas keterkaitannya dengan India adalah gulai korma. Gulai ini tidak mengandung kurma, tapi namanya mirip dengan korma India, semacam kari daging atau ikan dengan kuah yoghurt. Gulai korma adalah gulai daging atau ikan dengan kuah santan yang banyak mengandung rempah. "India utara tidak memakai santan. Mereka pakai yoghurt atau kacang-kacangan untuk pengental. Tapi India selatan pakai santan. Ini menjelaskan bahwa pengaruh budaya India di Sumatera itu datangnya dari India selatan," kata William Wongso, pakar kuliner Nusantara.

Zal Nasir, pemilik Lapau Nasi Zal Nasir di Pasar Bandar Buat, Padang, bercerita bahwa ayahnya, Nasir, yang mendirikan lapau ini pada 1942, membuat gulai korma setelah berkenalan dengan orang-orang India. "Gulai korma kami memakai tambahan bumbu kapulaga dari India dan kas-kas dari Pakistan," katanya.

Zal masih memasak gulai korma secara tradisional, yakni memasaknya di atas tungku kayu bakar. "Kalau tidak dengan tungku akan lain rasanya," ujar lelaki asal Solok ini. Gulai korma, kata dia, jarang dijual di rumah makan. Umumnya orang Minang memesannya untuk upacara akikah. "Bahkan rumah makan besar memesan kepada kami bila ada yang menginginkannya," ucapnya seraya menunjukkan beberapa nota pesanan dari beberapa restoran terkenal di Kota Padang.

Kuah gulai korma dari lapau Zal ini berwarna hijau, berbeda dengan gulai pada umumnya yang berwarna kuning. Gulai korma ini ternyata tidak pedas, bahkan cenderung manis dan berasa "berhawa" seperti efek cengkeh. Kuah santannya juga kental. "Santannya memang perasan santan pertama yang masih kental," katanya. Perasan santan berikutnya, yang kurang kental, biasanya dia gunakan untuk masakan lain, seperti gulai kikil.

Kami kembali ke Pariaman ketika upacara Tabuik Pariaman akan diakhiri dengan membuang dua tabut ke Pantai Gandoriah, yang tak jauh dari pusat Kota Pariaman. Ribuan orang menyemut di pantai tersebut untuk menonton atau berebut mengambil serpihan tabut yang dibuang pada senja hari.

Tak jauh dari pantai itu berdiri Kedai Nasi Pauh milik Budi Alif, lelaki asal Desa Pauh, Pariaman. Kami duduk menikmati gulai ikan gabuah (ikan kuwe). Lagi-lagi kami menemukan bahwa gulai ikan ini pun tidak pedas seperti kebanyakan gulai ikan di rumah makan Padang di Jakarta. Dari kedai itu tampak pohon-pohon kelapa melambai. Dari pohon itulah kuah gulai ini berasal.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus