Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rumah bercat putih berdiri paling bersih di antara bangunan di sekitarnya. Bangunan bergaya Spanyol itu memadukan jendela dan pintu berbahan kayu dengan gaya lengkung dan lurus. Taman berukuran mini menghiasi rumah berlantai dua tersebut. Itulah museum milik peraih Nobel Sastra tahun 2010, Jorge Mario Pedro Vargas Llosa. Orang Peru memberi nama museum itu Casa Museo Mario Vargas Llosa.
Museum itu berlokasi di Avenida Parra 101, Arequipa, Peru. Arequipa berada di sebelah tenggara ibu kota Peru, Lima. Kota ini merupakan kota yang memiliki lanskap pegunungan El Misti. Dari Arequipa ke arah selatan, bisa menembus ke perbatasan Cile, juga ke sempadan dengan Bolivia. Kota yang dikenal sebagai kota tambang ini memiliki penduduk sekitar 844 ribu jiwa.
Bonanza tembaga, emas, dan perak menjadikan Arequipa menjelma sebagai kota terbesar kedua—setelah Lima. Di sana, antara lain, berdiri pabrik pengolah tambang Sociedad Minera de Cerro Verde, yang berafiliasi dengan Freeport McMoRan & Co. Perusahaan di kawasan Cerro Verde, Arequipa, itu merupakan perusahaan internasional raksasa yang berbasis di Arizona, Amerika Serikat. Dari Arequipa, Lima bisa ditempuh dengan pesawat selama satu setengah jam. Bisa juga menggunakan bus dengan waktu tempuh 17-18 jam.
Museum Vargas Llosa merupakan rumah tinggal keluarga sastrawan ini. Semula bangunan itu rumah biasa. Setahun lalu, pemerintah Peru melalui kementerian kebudayaannya memperbaiki rumah itu dan menjadikannya museum. Rumah seluas sekitar 16 x 14 meter itu dioperasikan sebagai museum sejak April 2014. Museum ini merupakan bentuk dokumentasi virtual dari perjalanan hidup Vargas Llosa, yang lahir di Arequipa pada 28 Maret 1936. Sastrawan 79 tahun itu kini menetap di Barcelona, Spanyol. "Mario Vargas datang ke rumah ini hampir setiap tahun, pada April," kata Felipe Machacca, 60 tahun, penjaga museum.
Semula rumah itu berantakan tak terurus. Atap kamar sebagian jebol sehingga bocor. Debu berserakan di mana-mana. Saudara sepupu Vargas Llosa, Luis Llosa, membenahi rumah itu untuk memproduksi film dokumenter tentang Vargas. Luis Llosa merupakan sutradara film Hollywood berjudul Anaconda.
Setelah dibuka untuk umum, museum ini melayani pengunjung mulai Senin hingga Sabtu, pukul 09.30-17.30. Pengelola membuat aturan pengunjung berjumlah minimal 5 orang dan maksimal 10 orang. Ongkos masuk ke museum untuk pengunjung yang berasal dari Peru 10 sol atau sekitar Rp 50 ribu. Untuk pelancong yang datang dari luar Peru, biayanya 28 sol atau sekitar Rp 140 ribu. Siswa sekolah yang berkunjung membayar biaya masuk lebih murah, yaitu 5 sol atau sekitar Rp 25 ribu. Sedangkan anak-anak di bawah 12 tahun bisa masuk secara gratis.
Felipe mengatakan pengunjung museum kebanyakan berasal dari Peru, Amerika Serikat, Kanada, Brasil, dan Spanyol. Pemandu museum ini sengaja disiapkan untuk berbicara dalam bahasa Inggris dan Prancis untuk memudahkan pengunjung yang tak bisa berbahasa Spanyol.
Ketika Tempo bertandang, museum sedang tutup. Hari itu Hari Nasional Spanyol. Peru, sebagai negeri yang pernah dijajah Spanyol, menghormati hari nasional itu dengan cara meliburkan semua warga negaranya. Kebetulan juga, Ahad hari berikutnya merupakan hari pemungutan suara untuk memilih Gubernur Arequipa. Karena hari libur, semua pintu dikunci.
Tempo berusaha keras bisa masuk ke museum itu meski sedang libur. Tempo menjelaskan datang jauh-jauh dari Indonesia dan sungguh ingin melihat isi museum. Semula Felipe ragu-ragu dengan bujuk rayu itu. Tapi, mungkin karena iba, ia akhirnya mengizinkan Tempo masuk ke museum. "Oke, silakan kalau begitu," ujar Felipe.
Ruang depan museum penuh dengan poster tentang Vargas. Umumnya poster berisi pesan tentang kegiatan yang menghadirkan Vargas. Ada sampul luar majalah dan koran, peluncuran buku, serta poster tentang seminar dan diskusi yang berlangsung di banyak negara, baik di Amerika Latin maupun Eropa. Poster-poster ini dilindungi pagar. Tujuannya agar pengunjung tidak menyentuh karya itu.
Ada poster tentang novel karya Vargas berjudul Who Killed Palomino Molero?, yang dibuat pada 1986. Ada pula gambar Vargas sebagai peraih Nobel tahun 2010 pada koran berpengaruh di Swedia, Expressen. Juga poster besar bergambar Vargas Llosa tengah mengisi kuliah di College of Arts and Sciences di Syracuse University, New York, Amerika Serikat.
Di samping sebuah meja kerja di dekat pintu masuk museum, kami disapa Mario Vargas Llosa secara virtual dengan teknologi hologram. "Selamat datang di museum maya ini. Saya lahir di rumah ini dan menghabiskan tahun pertama hidup saya bersama Ibu dan keluarga dari Ibu. Dan di sini Anda akan menyaksikan sekilas perjalanan saya sebagai penulis secara animasi," kata Vargas Llosa dalam hologram.
Luis Llosa, sepupu Vargas yang menggarap museum itu, menyatakan Casa Museo menggunakan gagasan unik dan inovatif. Luis adalah Presiden Iguana Producciones, yang memproduksi sejumlah film bioskop. Dialah yang memasang teknologi holografi di museum, sehingga museum itu lebih dekat secara emosional dengan masyarakat yang berkunjung. "Pengunjung seperti punya pengalaman berjumpa langsung dengan Vargas Llosa," ujar Luis, seperti dikutip Foxnews, September tahun lalu.
Pengunjung juga bisa menikmati pertunjukan hologram kehidupan Vargas sejak kanak-kanak di Cochabamba, Bolivia, hingga tinggal di kawasan bohemian di Distrik Barranco, Lima. Juga kedatangannya ke Paris serta tempat tinggalnya di Barcelona dan London. Bahkan hologram menyajikan gambar tiga dimensi bagaimana Vargas dilahirkan di atas ranjang yang kini tersimpan di museum itu.
Kasur putih berseprai hiasan renda mengisi ruangan yang berdebu tipis. Dua kelambu krem tersibak, ditambatkan pada dua pilar kayu. Empat pilar kokoh menopang kasur. Sebuah bantal bersandar pada satu kelambu. Wadah keramik putih mirip tempat untuk menginang ada di bawah kasur. Kasur itu menjadi tempat lahir Vargas. Tempat ini bernama "ruang kelahiran, nomor 3" atau "Sala 3: El Nacimiento" dalam bahasa Spanyol. Vargas lahir dari pasangan Ernesto Vargas Maldonado dan Dora Llosa Ureta. Mario Vargas adalah anak satu-satunya pasangan itu.
Ernesto dan Dora bercerai hanya beberapa bulan sebelum Vargas lahir. Sejak lahir, Vargas tinggal di rumah itu, yang merupakan tempat tinggal kakeknya dari garis sang ibu, Pedro Llosa. Namun, ketika perceraian orang tuanya berusia setahun, Vargas harus meninggalkan Arequipa. Ia ikut kakeknya, yang mendapat tugas dari pemerintah Peru sebagai konsul kehormatan di Cochabamba, kota di Bolivia, selatan Peru.
Kamar tempat lahir Vargas lengkap dengan aneka perabot mewah dan antik. Lampu hias kuno berwarna putih berdiri di atas bufet kayu pendek. Ada pula jam weker putih lawas. Foto berbingkai kayu melengkapi perabot di atas bufet.
Barang antik itu di antaranya oleh-oleh hasil kunjungan keluarga Vargas ke sejumlah negara, seperti Bolivia, Spanyol, Amerika Serikat, Jerman, dan Prancis. "Keluarga Mario Vargas gemar berburu barang antik," kata Felipe.
Bufet berbahan kayu lengkap dengan kaca rias juga berdiri berdekatan dengan kasur. Tiga botol parfum, wadah keramik, dan sebuah sisir berada di atas meja rias. Dua foto perempuan sedang tersenyum terpajang di meja. Lampu kuno berwarna putih berdiri di samping bufet. Besi berwarna hijau bersusun agak memudar berdiri menyangga ember putih keramik bermotif kembang. Teko atau ceret keramik diletakkan di atas ember putih. Kain putih yang dilipat rapi terdapat di bawah teko dan ember.
Patung kuda bercat putih dan berpelana menghadap ke sebuah mesin ketik mini yang diletakkan di atas meja kecil berselimut kain cokelat. Karpet dari kain menghampar di tengah ruangan. Foto-foto lengkap keluarga Vargas juga terpajang menghiasi dinding ruang keluarga itu. Foto pun menyambut pengunjung di bagian depan ruang keluarga. Di antara yang mencolok, ada foto seorang perempuan bergaun putih menjuntai hingga ke lantai.
Perempuan berambut hitam yang digelung pada bagian atas kepala, khas gaya rambut bangsawan, itu sedang berdiri. Tangan kanannya menyentuh sandaran kursi bagian atas. Dia adalah nenek Vargas, Carmen Ureta de Llosa. Perempuan ini mengasuh Vargas ketika orang tuanya bercerai.
Di hampir setiap sudut ruangan terpampang foto keluarga. Foto-foto itu tak hanya menghiasi dinding, tapi juga ditempatkan di meja dan bufet. Selain foto neneknya, foto ibunda Vargas, Dora Llosa Ureta, menghiasi ruangan. Dora dalam foto tersebut masih bocah dan berpose dengan saudaranya, Pedro Llosa Ureta. Ada pula foto Dora Llosa yang beranjak dewasa bersama keluarga besarnya. Buku-buku tebal disusun memenuhi bufet-bufet besar pada ruang yang sama.
Ruang keluarga itu berada di lantai dua museum, berdekatan dengan tangga rumah. Ini salah satu ruangan dari setidaknya 14 ruangan di dalam museum. Di pintu masuk kamar Vargas itu, ada tulisan "Sala Operaciones" atau ruang operasi. Di ruang keluarga inilah suasana magis menyusup. Bulu kuduk merinding. Hening mendera ruangan. Mungkin ini akibat hari itu sedang libur sehingga sunyi. Apalagi lampu penerang ruangan tak dinyalakan.
Aneka buku milik Vargas juga tersimpan rapi di museum ini. Buku itu berupa karya-karya Vargas dan koleksi buku yang ia beli dari banyak negara ketika sedang melakukan kunjungan. Novel Vargas banyak berkisah tentang struktur kekuasaan dan perlawanan individu. Ia juga memasukkan unsur sejarah, misteri pembunuhan, politik, dan komedi. Novel Vargas antara lain The Time of the Hero, The Green House, Conversation in the Cathedral, Who Killed Palomino Molero?, dan Aunt Julia and the Scriptwriter.
Kepiawaian Vargas memetakan struktur kekuasaan dan perlawanan individu secara tajam dalam novel-novelnya diganjar Nobel Sastra tahun 2010. Ini bermula dari dering telepon pada 7 Oktober 2010 ketika Vargas berada di New York, Amerika. Panitia Hadiah Nobel dari Akademi Swedia meneleponnya dan mengucapkan selamat. "Saya bertanya apakah itu benar atau hanya lelucon dari seorang kawan," kata Vargas seperti dikutip dalam situs resmi Hadiah Nobel.
Karya Vargas banyak yang bermuatan politis. Dia menggambarkan bahaya otoritarianisme dan korupsi di Amerika Latin. Vargas merupakan intelektual antitotaliter lewat karya-karyanya. Ia menghasilkan lebih dari 30 karya nonfiksi, drama, dan novel. Satu di antara novel Vargas yang melukiskan pembunuhan brutal berjudul Who Killed Palomino Molero?. Ia menciptakan novel bergaya detektif itu pada 1986. Karya ini mengungkap misteri pembunuhan seorang anak muda di pangkalan militer di wilayah Peru utara dengan latar Peru 1950-an.
Tema tentang kekuasaan dalam militer terungkap dalam karya berjudul The Time of the Hero, yang dibuat pada 1963. Ini satu di antara novel kunci Vargas yang menimbulkan protes keras dari akademi militer Peru. Protes dilakukan dengan membakar setidaknya seribu eksemplar novel.
Novel itu mengkritik kekuasaan yang sewenang-wenang dan tidak adanya hukum. Inspirasi menciptakan karya ini muncul ketika Vargas menghabiskan waktunya, yakni pada 1950-1951, di Akademi Militer Leoncio Prado. Vargas masuk sekolah itu ketika berusia 14 tahun. Vargas pun terpaksa menahan keinginannya belajar sastra.
The Time of the Hero merupakan novel pertama Vargas yang diterbitkan dalam bahasa Spanyol, yakni La Ciudad y Los Perros. Dalam bahasa Indonesia, ini berarti "Kota dan Anjing-anjing". Novel ini kemudian difilmkan oleh sutradara Peru, Francisco Lombardi.
Vargas juga tertarik pada bidang politik. Pada 1987, di masa Presiden Alan Gabriel Ludwig Garcia Perez berkuasa, Vargas memimpin aksi menolak kebijakan nasionalisasi perbankan. Ia melihat kebijakan itu sebagai strategi menempatkan bisnis di tangan pemerintah. Vargas menjadi pemimpin Frente Democrático, partai oposisi. Ia maju, bersaing dengan Alberto Fujimori, pada pemilihan presiden 1990. "Vargas Llosa sangat berani mengkritik kepemimpinan otoriter," ujar Ronald, warga Arequipa, kepada Tempo.
Dalam banyak jajak pendapat, Vargas diunggulkan. Tapi orang Peru yang punya keyakinan kuat pada Katolik menganggap Vargas sebagai orang yang tak percaya agama. Alberto Fujimori pun menang. Belakangan, Fujimori masuk penjara karena kejahatan kemanusiaan.
Sebagai warga negara, Vargas merasa punya hak politik dan kewajiban moral memperbaiki Peru yang gawat dicekik inflasi dan kediktatoran. Vargas, kini profesor yang mengajar sastra Amerika Ibero dan budaya di Georgetown University, Washington, Amerika, menyampaikan ihwal ini ke panitia Nobel: "Ketika demokrasi di Peru rapuh, aku harus terlibat."
Shinta Maharani (Arequipa, Peru)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo