Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jarak tiang listrik terakhir di Jalan Tirtayasa, Serang, Banten, sekitar delapan kilometer dari desa ini. Gelap menyelimuti sepanjang jalan menuju Desa Tengkurak, Kecamatan Tirtayasa, Serang. Setelah perjuangan hampir satu jam di jalan berbatu yang penuh lumpur itu, barulah titik cahaya terlihat.
Pendar cahaya itu berasal dari rumah Leman, 37 tahun, petambak rumput laut (seaweed) di Tengkurak. Sinar di rumah pria ini bersumber dari lampu yang energinya dihasilkan oleh rumput laut yang telah disulap menjadi biogas. Dengan kain yang bisa terbakar seperti lampu petromaks, dari rumput laut yang banyak dipakai untuk membuat agar-agar itu terbitlah listrik.
"Listrik memang belum masuk ke permukiman tambak di sini," kata Leman saat ditemui di rumahnya, dua pekan lalu. Tak ada jejak PLN di desa ini. Selain rumah Leman, ada satu lagi rumah yang terang pada malam hari. Penghuninya menggunakan genset pribadi berbahan bakar Premium.
Leman banyak bersyukur. Tapi, sebelum menjadi biogas yang bisa dimanfaatkan untuk penerangan dan kompor, rumput laut mesti melalui serangkaian proses.
Pertengahan tahun lalu, Mujizat Kawaroe, peneliti dari Pusat Penelitian Surfaktan dan Bioenergi Institut Pertanian Bogor, dan timnya membangun bioreaktor—mesin penghasil gas—dan bak tampung rumput laut di rumah Leman.
Sekitar sepuluh meter dari rumah Leman kini berdiri bioreaktor yang sepintas lalu mirip tangki atau tandon air. Sebuah bioreaktor dengan kapasitas 1,5 meter kubik itu setara dengan 1,5 ton berat kotor; bercat biru beserta dua bak tampung yang juga biru di kanan-kirinya.
Tengkurak, yang berjarak dua kilometer dari laut, memang dikenal sebagai daerah penghasil rumput laut jenis Gracilaria. Keluarga Glacilaria dikenal dengan aksial bercabang banyak dengan tingkat jelly yang tinggi. Rumput laut yang sudah matang berwarna hitam kecokelatan. Rumput laut ini digunakan untuk menghasilkan agar-agar.
Bahan baku rumput laut untuk biogas di rumah Leman didapat dari Haris Faizal Nasution, pemilik tambak di Tengkurak. Saat musim panas, tambak milik Haris dapat menghasilkan 40 ton per bulan. Paling minim, kata Haris, sekitar 10 ton. Tentu saja rumput laut untuk biogas tak perlu yang berkualitas bagus. Cukup yang tak terpakai saja.
"Untuk percobaan pertama, kami menggunakan 250 liter Glacilaria yang tak terpakai," ucap Dea Fauzia Lestari, anggota tim peneliti mahasiswa pascasarjana IPB. Bahan dasar itu didapat dari sekitar 50 kilogram rumput laut yang dicincang lalu dicampur dengan 500 liter air tawar dan 250 liter kotoran sapi di dalam bak tampung. Nah, 500 liter sisa kapasitasnya dibiarkan kosong untuk jumlah estimasi gas yang dihasilkan. "Agar bioreaktor tak meledak karena kepenuhan," katanya.
Kotoran sapi digunakan pada campuran pertama. Tujuannya, menurut Dea, untuk aklimatisasi atau proses adaptasi yang berguna untuk memancing gas keluar dari rumput laut. Bahan itu diaduk sampai semuanya bercampur. Campuran didiamkan selama satu pekan untuk mengumpulkan gas di dalam tabung bioreaktor. Rumput laut yang sudah menjadi ampas akan mengambang. Dari bioreaktor, gas tersebut dialirkan ke lampu dan kompor melalui pipa.
Selain di Tengkurak, instalasi bioreaktor yang sama dipasang di Dusun Puntundo, Desa Laikang, Kecamatan Cikoang, Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan. Di sini biogas dipakai untuk menutupi kebutuhan yang tak bisa dipenuhi PLN. Di rumah Muhammad Kasim, 39 tahun, nelayan petambak rumput laut, instalasi didirikan. Kasim memagari bioreaktor tersebut dengan potongan bambu dan tak diberi atap sehingga gampang terkena cahaya matahari.
"Hal itu akan membantu proses pembusukan," kata Kasim, yang menempatkan reaktor penghasil gas itu di belakang rumah. Bedanya dengan di tempat Leman, bahan dasar rumput laut di sini menggunakan jenis Eucheuma cottonii, yang juga biasa dijadikan agar-agar. "Jenis rumput laut ini tumbuh subur di sana," kata Dea
Untuk menghidupkan bioreaktor, Kasim butuh 20 kilogram rumput laut. Gas yang dihasilkan cukup untuk 30 hari. Ia memakainya untuk kompor dan sesekali menyalakan lampu jika listrik dari PLN mati.
Lantaran masih dalam skala penelitian, biogas di Puntundo sementara ini hanya dialirkan ke rumah Kasim dan adiknya, Rivaldi, 28 tahun, yang berjarak 10 meter dari rumahnya. Di rumah Rivaldi, biogas hanya digunakan untuk memasak.
Meski sudah banyak warga sekitar yang meminta biogas "milik"-nya, Kasim masih enggan berbagi. Alasannya, belum ada izin dari si empunya penelitian. "Apalagi kompor dan lampunya juga khusus," ujar Kasim, yang juga menjabat Ketua Unit Pelayanan dan Pengembangan Perikanan, binaan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Takalar.
Ihwal nilai ekonomisnya, Kawaroe memberikan gambaran penggunaan bioreaktor berkapasitas 4.000 liter atau empat ton. Gas yang didapat setara dengan 0,86 kilogram elpiji sehari atau 26 kilogram sebulan (lihat tabel). Jika harga elpiji 12 kilogram sekarang dipatok Rp 129 ribu, berarti lebih dari seperempat juta rupiah dihemat dengan menggunakan rumput laut rijek. "Rumput laut berpotensi besar menjadi sumber energi baru," katanya. Menurut data Kementerian Kelautan dan Perikanan, produksi budi daya rumput laut Indonesia pada 2013 mencapai 8,2 juta ton.
Kawaroe menjelaskan, Glacilaria bisa dimanfaatkan menjadi sumber biogas karena mengandung senyawa kimia seperti hidrokiloid dan bioaktif. Sedangkan E. cotonii mengandung karagenan dan hidrokiloid. Adapun jenis rumput laut yang lain, kata dia, "Masih harus diteliti."
Jana Tjahjana Anggadiredja, pakar teknologi kelautan dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, menyebutkan aplikasi biogas berbahan rumput laut di Serang dan Takalar sebagai yang pertama kali. Meski kedua jenis rumput laut itu jauh lebih bernilai ekonomi jika dibuat agar-agar, ia mendukung pengembangan sumber energi terbarukan yang dikembangkan Kawaroe dan kawan-kawan. "Ini pemicu yang bagus untuk inovasi lainnya," katanya.
Sukses di Serang dan Takalar, Kawaroe dan tim berencana mengaplikasikan inovasi tersebut dengan kapasitas biorekator yang lebih besar, yakni 17 ton. Hasilnya bakal cukup untuk penerangan dan kompor bagi empat keluarga nelayan tambak. Mimpi itu bakal terwujud, menurut dia, "Jika dana riset Lembaga Pengelola Dana Pendidikan tahun ini dilanjutkan."
AMRI MAHBUB (SERANG), AWANG DARMAWAN (TAKALAR), DWI WIYANA
Bila Volume Kerja Bioreaktor 4.000 Liter
Rumput laut yang dibutuhkan : 17,91 kilogram per hari
Produksi biogas : 1,867 liter per hari
Produksi listrik : 2,3 kilowatt-jam per hari
Produksi setara dengan elpiji : 0,86 kilogram LPG per hari
Bioenergi dari Rumput Laut
1. Rumput laut Glacilaria atau Eucheuma cottonii dikeringkan selama dua hari untuk menghilangkan air payau.
2. Kotoran sapi (250 liter) dan air tawar (500 liter) diendapkan di bak tampung rumput laut. Kotoran didiamkan selama beberapa hari untuk proses aklimatisasi.
3. Rumput laut yang sudah kering kemudian dicacah dan dimasukkanke bak tampung berisi campuran air tawar dan kotoran sapi.
4. Campuran tersebut diaduk sampai merata dan tunggu beberapa hari sampai gas keluar.
5. Gas dari rumput laut berkumpul di bioreaktor. Lalu Gas yang sudah matang dialirkan ke kompor dan lampu melalui pipa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo