SENI KALIGRAFI ISLAM Oleh: Drs. D. Sirajuddin A.R. Penerbit: Pustaka Panjimas, Jakarta, 1985, 290 halaman TIDAK perlu disangkal bahwa buku ini telah menambah rujukan salah satu cabang seni rupa yang sangat berperan dalam khasanah budaya Islam. Walau telaah dalam kancah ilmiah tentang kaligrafi Islam di Indonesia telah dilacak sejak kurun 1960-an, yaitu berupa tesis di Seni Rupa ITB toh karya Sirajuddin ini mempunyai peluang lebih menguntungkan. Karena buku ini dapat dijadikan bahan untuk memperkaya kepustakaan. Tidak syak lagi, gejala itu tiada lain sebagai dampak positif The World of Islam Festival di Inggris pada 1976, yang imbasannya, antara lain, terasa pada perhatian yang banyak akan penerbitan buku tentang seni rupa Islam. Di bidang kaligrafi di antaranya dapat disebutkan: The Quranic Art of Calligraphy and Illumination (Martin Lings, 1976), L'Art de la Calligraphie Arabe (Abdelkabir Khatibi, 1976) Islamic Calligraphy (Yasim Hamid Safadi, 1978), dan Calligraphie Arabe Vivante (Hasan Massoudy, 1981). Buku-buku ini terbit dengan penampilan yang meyakinkan: disajikan dengan tata rupa yang benar-benar mendukung keagungan kaligrafi Islam, sehingga pembaca tidak akan bosan-bosannya membolak-balik lembaran demi lembaran lantaran tata rupa yang dirancang secara apik dan menarik. Bukan maksud saya menuntut supaya karya Sirajuddin ini diterbitkan semewah buku-buku itu. Kita tahu bahwa edisi yang demikian tentunya belum dapat dijangkau masyarakat banyak. Tapi tata rupanya dapat ditingkatkan, karena dengan harga dan kelas yang sekarang ini, apabila tipografinya ditangani lebih baik, maka kejembaran isi buku dapat lebih dihayati. Dibandingkan dengan publikasi tentang kaligrafi Islam yang pernah ada di dalam bahasa Indonesia, seperti pada Sejarah Al Qur'an (H. Aboebakar, 1956, halaman 53-60), Sejarah Kesenian Islam jilid II (C. Israr, 1957, halaman 9-23), Gema Islam No. 90 (H.M. Idris, 1967), Khath, Seni Kaligrafi (Drs. Abdul Karim Husain, tanpa tahun), karya Sirajuddin ini mempunyai keunggulan dalam keanekaan jalur ilmu yang dibicarakan. Boleh dikatakan bahwa segala pengetahuan yang bersangkut paut dengan kaligrafi Islam tertuang di dalamnya. Kalau kita kaji lebih dalam lagi buku ini, maka akan terlihat bahwa apa yang diungkapkannya merupakan perpaduan tiga jalur disiplin ilmu. Pertama, menyangkut masalah sejarah kaligrafi Islam kedua, tentang kaidah menulis indah dan ketiga, mengenai bidang estetika, yang berkisar sekitar apresiasi. Penyajian isi yang demikian tentu saja bukan hal kebetulan. Sebab, sebenarnya buku ini merupakan pencerminan diri Sirajuddin sendiri, yang secara terinci ditulis pada kulit belakang, bahwa dia bukan saja berlatar belakang kesenimanan, tapi Juga menyandang gelar kesarjanaan. Kalau berikut ini saya menunjuk beberapa bab, yang masing-masing dikaitkan dengan salah satu disiplin ilmu, maka sebenarnya pengelompokan itu jangan diartikan terlalu ketat, mengingat banyaknya perbincangan yang sebenarnya berbaur secara tumpang tindih. Misalnya, Bab VII - walau ada pada kelompok sejarah, di dalamnya terkandung pula masalah teknik atau kaidah menulis indah. Pertama, masalah sejarah - terutama mulai Bab Il sampai dengan Bab XIV. Ia merupakan ilmu pengetahuan sejarah tulisan, baik berupa kaligrafi maupun aksara biasa. Tapi, isinya perlu ditimba oleh mereka yang ingin mengetahui latar belakang kaligrafi Islam. Karena pembicaraannya menyangkut ruang dan waktu luas, yakni di pelbagai kawasan yang pernah mendapat sentuhan jiwa Islam dari masa awal kelahiran kaligrafi, masa perkembangan, puncak kesempurnaan, hingga berakhir pada masa mutakhir. Penjelasannya bahkan menyangkut keterangan mengenai berbagai bentuk kaligrafi yang kemudian sirna, dan yang tetap lestari. Kedua, tentang kaidah menulis indah terutama dibicarakan dalam Bab XV, termasuk ilustrasi di halaman-halaman berikutnya, dan juga terselip pada Bab VII. Bagian ini penting artinya bagi mereka yang ingin mempelajari seluk-beluk kaligrafi Islam menurut patokan yang sudah dibakukan. Mungkin karena penyajian bab inilah mengapa Prof. Ahmad Sadali menyambut buku ini sebagai "pucuk dicinta ulam tiba". Ketiga, mengenai apresiasi terhadap wujud kaligrafi - dibicarakan dalam Bab I ditambah pandangan pada Kata Pengantar. Apabila kita kaji ketiga masalah tadi, dari jumlah bab serta halaman, terlihat bahwa porsi yang disuguhkan sebagian besar adalah mengenai sejarah. Kemudian disusul dengan porsi mengenai kaidah-kaidah menulis indah, dan terakhir tentang apresiasi. Mengenai masalah sejarah, walaupun mendominasi keseluruhan buku ini, bukan wewenang saya menilai isinya. Hal ini berdasarkan kenyataan bahwa masalah itu semata-mata merupakan himpunan pendapat, yang diangkat dari berbagai buku mengenai sejarah aksara dan kaligrafi Islam. Kita harus puas dengan fakta yang disodorkan para ahli karena pengarang buku ini sendiri pun tidak turut ambil bagian dalam penelitian sejarah maupun arkeologi. Hanya saja dari beberapa bab mengenai sejarah ini masih terselip beberapa kesilapan dalam peristilahan, antara lain, mengenai pengertian kaligrafi dan aksara biasa. Padahal, pada Bab I telah diterangkan definisi kaligrafi. Mengenai kaidah tulisan indah kita dihadapkan pada dua pilihan. Masalahnya sederhana saja, karena hanya menyangkut tuntunan menulis secara teknis. Pokok pembicaraan di sini semata-mata aturan baku menulis suatu gaya atau style. Ruang gerak kita hanya berkisar sekitar kanon atau patokan tertentu yang telah ditemukan para empu terdahulu, yakni bagaimana mempergunakan alat tulis, kemiringan ujung pena, proporsi aksara, dan masalah teknis lainnya. ESTETIKA - dalam hal ini yang berkaitan dengan apresiasi kaligrafi - pada buku ini menempati porsi yang paling kecil. Padahal, soal itu mengundang masalah paling besar. Kita akui bahwa secara keseluruhan dari buku ini banyak manfaat yang dapat kita petik. Tapi pada bagian apresiasi terlalu banyak hal yang harus dipertanyakan dan diperdebatkan. Di samping itu, kita perlu meluruskan bagian-bagian yang bengkok dan mengganjal. Kalau bagian-bagian itu dibiarkan, ada bahayanya, bukan saja bagi citra masyarakat banyak, tapi juga terhadap bobot buku itu sendiri. Dari segudang masalah apresiasi yang dapat diperdebatkan, saya hanya menyeleksi beberapa. Sirajuddin mengkonfrontasikan "kaligrafi murni" dengan "lukisan kaligrafi" (halaman 9). Intinya, pada yang pertama kaidah baku berlaku ketat, sedangkan pada yang kedua tidak demikian. Lebih jauh dikatakannya bahwa sudah ada corak tertentu yang tidak boleh dicampur adukkan. Corak yang sudah mapan itu telah menerima godokan dan ujian (halaman 9 dan 10). Tapi pada bagian lain Sirajuddin mengatakan, di negara kita belum ada yang benar-benar Indonesiawi (halaman 10). Lalu, kalau sudah ada kaidah baku, dan yang menyimpang dari itu merupakan kesalahan, mana mungkin dapat diciptakan corak baru? Selanjutnya Sirajuddin mempertanyakan mengenai tulisan Jawi sebagai suatu kemungkinan gaya khas Indonesia. Pada catatan kaki (halaman 15), tertera "... tulisan Tsuluts bergaya huruf Jawi". Menurut saya, di situ terdapat kesilapan yang harus diluruskan. Aksara Jawi bukanlah gaya atau corak tulisan, melainkan sistem menulis bahasa kita dengan mengadopsi aksara Arab. Sehubungan dengan kecenderungan mencari identitas kaligrafi Islam Indonesia (halaman 10-12), Sirajuddin mengajukan berbagai alasan dan penilaian. Kalau diperhatikan, apa yang dikemukakannya sebenarnya agak mengaburkan. Sebab, dalam kasus ini dia mencoba membuat tolok ukur yang sama untuk dua bidang berbeda. Padahal, kita tahu bahwa kaligrafi murni punya kaidah tersendiri dan lukisan kaligrafi pun punya aturan main yang lain. Tentang adanya gejala dua jalur yang berbeda sebenarnya bukan hanya terjadi di Indonesia, tapi juga pada para pelukis kontemporer di kawasan Islam lainnya seperti Mohamed Melehi (Marokko), Mohamed Khedda dan Djamila (Aljazair), Negib Belkhodja (Tunisia), Yousef Sidah (Mesir), Ahmed Chibrine (Sudan), Zenderoudi (Iran), Nacer Assar (Libanon), Sadhkine (Pakistan). Hasil karya mereka pun sama sekali tidak mengikuti kaidah-kaidah kaligrafi murni. Apakah karya mereka juga patut dicemoohkan sebagai "cakar ayam " ? (halaman 11). DITINJAU dari segi isi dan konsumennya, buku ini mempunyai manfaat yang multifungsi karena memuat interdisiplin ilmu. Misalnyal masalah apresiasi manfaatnya bukan hanya berguna bagi pengamat serta peminat seni, tetapi lebih dari itu. Tetapi apabila kita kaji secara jeli, segala harapan seorang seniman yang mau melangkah segera tersendat oleh kontradiksi pendirian antara pengarang buku ini dan penulis kata pengantarnya. Di satu pihak (halaman Vl) ada kecaman pedas terhadap deformasi bebas yang diplintir-pluntat-plentotkan bahkan divonis sebagai kaidah seni yang non-lslami, di pihak lain (halaman 16), karya yang demikian dicontohkan sebagai ilustrasi, bahkan pelukisnya disanjung secara melambung. Manakah yang mesti ditempuh seniman Islam? Abay D. Subarna Staf pengajar pada Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini