Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
S
AMBIL membolak-balik pagina berkas Undang-Undang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi setebal 36 halaman yang baru saja disahkan, Masinton Pasaribu berkali-kali menyebutkan komisi antikorupsi bakal menjadi lembaga eksekutif. Artinya, menurut anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan itu, KPK tidak bisa lagi mengelak jika Komisi Hukum DPR menggulirkan hak angket. “Undang-undang ini menguatkan putusan Mahkamah Konstitusi,” ujar Masinton di gedung DPR pada Selasa, 17 September lalu.
Dua tahun lalu, DPR menggulirkan hak angket terhadap KPK saat lembaga antirasuah itu sedang mengusut korupsi proyek kartu tanda penduduk elektronik. KPK menolak hadir ketika dipanggil panitia angket. Sejumlah pegawai KPK kemudian menggugat panitia angket ke Mahkamah Konstitusi karena menganggap Komisi bukan lembaga pemerintahan. Dalam putusannya, lima dari sembilan hakim Mahkamah Konstitusi menyatakan KPK merupakan lembaga eksekutif sehingga masuk obyek angket.
Karena komisi antikorupsi merupakan lembaga eksekutif, kata Masinton, yang juga anggota Panitia Kerja Revisi Undang-Undang KPK, Dewan pun mengubah status pegawai KPK dari pegawai negara menjadi aparatur sipil negara. Salah satu konsekuensinya, penyidik KPK menjadi penyidik pegawai negeri sipil atau PPNS. Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, PPNS berada di bawah pengawasan dan koordinasi penyidik Kepolisian RI. Sejumlah pegiat antikorupsi menyebutkan hal ini bisa menyebabkan penanganan kasus di KPK diintervensi polisi atau bocor ke polisi. Apalagi jika kasus yang ditangani berhubungan dengan personel Kepolisian RI.
Pengangkatan pegawai, penyelidik, dan penyidik di KPK pun berubah. Dalam undang-undang sebelumnya, Komisi berhak mengangkat dan memberhentikan penyelidik dan penyidik secara mandiri atau yang dikenal sebagai “penyidik independen”. Dalam undang-undang baru, penyelidik dan penyidik yang bukan berasal dari kepolisian atau kejaksaan harus lulus pendidikan penyelidik atau penyidik yang diselenggarakan KPK bekerja sama dengan kepolisian atau kejaksaan.
Menurut anggota Panitia Kerja Revisi Undang-Undang KPK dari Fraksi Golkar, Firman Soebagyo, aturan soal status pegawai KPK dibuat agar penyelidik dan penyidik bisa diatur. “Kalau tidak, akan ditertibkan,” ujarnya. Maka Wadah Pegawai KPK, yang selama ini menjadi organisasi pegawai Komisi, bisa dibubarkan. Dengan berstatus aparatur sipil negara, pegawai KPK menjadi anggota Korps Pegawai Republik Indonesia dan tunduk pada aturan-aturan birokrasi, seperti mutasi ke lembaga lain.
Perubahan lain yang mendasar adalah keberadaan dewan pengawas yang anggotanya dipilih dan diangkat presiden. Tidak cuma mengawasi, dewan pengawas masuk ke wilayah operasional penegakan hukum. Dewan ini berwenang memberikan izin penyadapan, penggeledahan, dan penyitaan yang diajukan pimpinan KPK. Dewan pengawas juga berhak menggelar sidang dugaan pelanggaran kode etik pegawai dan pimpinan KPK.
Keberadaan dewan pengawas memangkas kewenangan pemimpin KPK. Menurut Wakil Ketua KPK Alexander Marwata, dengan adanya dewan pengawas, pimpinan KPK cenderung hanya menjalankan tugas pencegahan. Kewenangan pimpinan KPK sebagai penyidik, penuntut umum, dan penanggung jawab tertinggi KPK telah dihapus di peraturan yang baru. Artinya, Alexander melanjutkan, dewan pengawaslah yang akan mengeluarkan surat perintah penyadapan, penggeledahan, penyitaan, penahanan, dan penyidikan. “Itu semua satu rangkaian,” ujarnya.
Anggota Panitia Kerja dari Fraksi PDI Perjuangan, Masinton Pasaribu, menuturkan, dengan adanya undang-undang baru ini, fungsi KPK akan dioptimalkan sebagai lembaga pencegahan. Nantinya, kata dia, KPK diutamakan untuk mensupervisi kepolisian dan kejaksaan dalam mengusut perkara tindak pidana korupsi. “Kalau ada celah korupsi, KPK pun akan memberi tahu lembaga tertentu sebelum menangkap terduga korupsi,” ujarnya.
Undang-Undang KPK terbaru ini juga mengubah tindak pidana korupsi menjadi tindak pidana umum. Dalam pasal 46 undang-undang tersebut, penetapan hingga pemeriksaan tersangka dilaksanakan berdasarkan ketentuan hukum acara pidana, bukan prosedur khusus seperti dalam undang-undang sebelumnya. “Padahal korupsi adalah serious crime dan extraordinary crime,” ujar Wakil Ketua KPK Laode Muhammad Syarif.
Masalahnya, belum jelas kapan undang-undang ini berlaku efektif. Pada pasal 69-D disebutkan, sebelum dewan pengawas terbentuk, pelaksanaan tugas dan kewenangan KPK sama seperti sebelum undang-undang diubah. Sedangkan pada pasal peralihan tertulis bahwa undang-undang ini berlaku sejak diundangkan. Dalam bagian penjelasan undang-undang tersebut, tak ada penjelasan untuk dua pasal yang bertolak belakang itu.
HUSSEIN ABRI DONGORAN
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo