Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DI Teluk Persia kini, dua pihak berhadapan dan dunia menunggu siapa yang akan mencabut pistol lebih dahulu. Irak atau Amerika? Mungkin tidak kedua-duanya. Itu kalau kedua pihak bisa sabar terhadap sebuah organisasi yang selama ini cukup ompong tapi sibuk dalam soal perang dan damai: PBB. Pekan lalu, Sekjen PBB Javier Perez de Cuellar setuju untuk bertemu dengan Menlu Irak Tariq Azis di Yordania. Keduanya akan berembuk untuk mencari jalan keluar. Pintu bagi PBB itu terbuka ketika pada Senin lalu Azis mengatakan bahwa pihaknya tak akan melepaskan tembakan pertama untuk memulai perang. Pernyataan Azis itu diumumkan sebagai balasan terhadap imbauan De Cuellar yang mengundang Azis untuk berjumpa dengannya di New York atau Jenewa guna merundingkan penyelesaian krisis Timur Tengah. "Penyelesaian" adalah kata yang pendek tapi bisa berarti ruwet. Begitu banyak sudah yang dipertaruhkan oleh pelbagai pihak dalam krisis Teluk kini. Bagaimana jalan keluar? Di bawah ini sebuah perhitungan tentang posisi masing-masing. PBB. Karena sejak semula menyetujui blokade ekonomi dan penggunaan kekerasan senjata untuk memaksakannya, PBB akan meminta Irak agar keluar dari Kuwait, melepaskan semua sandera, dan menghentikan semua tindakan permusuhan. De Cueller juga akan meminta agar keemiran Kuwait diaktifkan kembali, di samping jaminan agar kedaulatan Arab Saudi dihormati. Artinya, jaminan bahwa Irak tak akan menyerang Arab Saudi. IRAK. Presiden Saddam Hussein sudah menawarkan "harga" yang tinggi. Ia sudah telanjur mengatakan telah memasukkan Kuwait ke dalam wilayahnya untuk selama-lamanya. Ia juga sudah menyatakan baru akan mundur bila Israel meninggalkan daerah-daerah Arab yang diduduki, terutama Tepi Barat dan Gaza agar cita-cita bangsa Palestina untuk memiliki negaranya sendiri dapat terlaksana. Tuntutan lain: agar Amerika segera angkat kaki dari Timur Tengah secara menyeluruh dan blokade ekonomi ekonomi dihentikan. Juga Irak ingin terjamin agar Kuwait tak lagi melanggar kuota minyak, membayar ganti rugi pada Irak, dan mencuri" lagi minyak Kuwait Keinginan Irak itu pasti tak mungkin terlaksana. Pertama, PBB tak punya kekuasaan untuk mengatur Israel. Israel sendiri pasti tak akan mau memenuhi permintaan Saddam Hussein: kebijaksanaan Israel untuk membangun permukiman Yahudi Jalur Gaza dan Tepi Barat sudah demikian jauh. Kedua wilayah itu sangat penting untuk sekuritinya. Dan mana mungkin Tel Aviv mau tunduk kepada musuh yang paling dibencinya, Irak? Walhasil, tuntutan maksimal kedua pihak tak akan mungkin bisa dipenuhi. Apa sesudah itu? Tentunya, bila perundingan harus menghasilkan kompromi, kedua pihak akan menurunkan tawaran masing-masing. Bisa saja inilah yang akan terjadi: Amerika dan negeri-negeri Barat yang mengikutinya (Inggris dan Prancis, antara lain) akan dibujuk agar -- sesuai dengan tuntutan Irak -- blokade dicairkan. Kekuatan Amerika ditarik dan semua keluhan Irak tentang tingkah laku Kuwait akan diperhatikan. Sebagai imbalannya Irak harus mundur dari Kuwait. Tapi mungkinkah? Sulitnya, sejauh ini, tak begitu jelas apa sebetulnya sasaran yang dicapai baik oleh Presiden Irak Saddam Hussein maupun oleh Presiden AS Bush. Ketika Saddam Hussein memerintahkan pasukannya memasuki Kuwait, ia tak secara jelas mengemukakan sasaran-sasarannya. Ada tiga kemungkinan: * Irak hanya akan memberi "pelajaran" kepada Kuwait, agar patuh kepada kehendak Irak dalam soal minyak. Berbareng dengan itu, menggertak negara-negara Teluk lain berikut Arab Saudi. * Saddam memang ingin mengambil alih Kuwait untuk memperkuat posisi ekonomi Irak. Tak dengan sendirinya ia akan juga mencaplok Arab Saudi sekarang juga. * Baghdad menyerbu Kuwait memang un~~~t~uk membuat Israel mundur dari wilayah Palestina yang diduduki. Pukulan dan pidatonya disambut meriah di masyarakat Palestina, tapi bahwa soal Palestinalah yang jadi sasarannya, agak tak meyakinkan: kenapa untuk itu ia harus menyerbu Kuwait dulu? Kenapa tak membantu lebih efektif gerakan Palestina di daerah pendudukan, yang kian hari sudah kian efektif, terutama dengan aksi tanpa kekerasan, intifadah? Bila memberi "pelajaran" itulah yang jadi sasaran Saddam Hussein yang sebenarnya, penyelesaian damai tak amat sulit: Saddam bisa keluar dari Kuwait tanpa kehilangan muka. Tapi lain soalnya jika sasarannya adalah penjajahan atas Kuwait dan pembebasan Palestina. PBB, atau siapapun, hanya akan percuma bila tanpa menaklukkan Saddam. Maka, yang akan terjadi adalah situasi saling memelototi seperti yang berlangsung kini. Suatu stalemate. Dalam keadaan seperti ini baik AS maupun Irak akan menderita. AS. Presiden Bush harus banyak menghadapi tentangan baik dari luar maupun dalam negeri. Opini publik, baik di AS sendiri maupun di Timur Tengah, akan berbalik mengecamnya. Di dalam negeri sendiri mulai ada suara mengkritik sikap Bush. Memang, masyarakat umumnya mendukung Presiden mereka kuat-kuat. Hampir 705'o suara yang disadap pol Newsweek menyokong tindakannya mengirim pasukan ke Timur Tengah. Bahkan masyarakat Islam Amerika, ada empat sampai enam juta orang di AS, lebih suka mengkritik Saddam Hussein secara terselubung. "Masyarakat Islam Amerika Utara", organisasi yang memayungi pelbagai kelompok Muslim dan berpusat di Indiana, mengecam "pengambilan paksa tanah" dan "sloganisasi" yang "menggunakan peristilahan Islam" untuk "menghalalkan ambisi pribadi, kekuasaan regional, dan kepentingan ekonomi". Tapi organisasi ini juga mendukung perasaan kaum Muslimin sedunia yang menolak "kehadiran kekuatan militer asing di bumi kelahiran Islam". Terjemahan: tarik mundur pasukan AS. Kritik terhadap Bush umumnya dilontarkan oleh para ahli. Menurut kritik ini, AS boleh saja mengirimkan pasukan ke Arab Saudi, tetapi harus m~lakukan dua hal. Pertama, merencanakan kemungkinan penyelesaian secara damai. Dengan kata lain, hal-hal apa saja yang bisa ditawar dan tak bisa ditawar oleh Irak jika harus berunding. Kedua, Bush juga harus memperjelas apa yang selama ini masih rancu: sasaran apa sebetulnya yang hendak dicapai AS dengan menempatkan pasukan di perbatasan dengan Kuwait itu. Zbigniew Brzezinski, Penasihat Keamanan Nasional di masa Presiden Carter, membedakan dua sasaran. Pertama, mengamankan suplai minyak -- dan ini memang tanggung jawab AS sendiri. Kedua, mengeluarkan Irak dari Kuwait -- dan ini, bagi Brzezinski, lebih merupakan suatu tanggung jawab internasional. Yang harus diperhitungkan oleh Bush adalah ekonomi Amerika. Untuk menjaga kesiapsiagaan militer di Timur Tengah Washington harus membayar US$ 15 juta seharinya, atau sekitar setengah milyar per bulan. Blokade berarti juga berkurangnya minyak Timur Tengah yang mengalir ke Amerika. Itu berarti pula harga minyak akan naik. Kalau itu terjadi, ekonomi Amerika akan mengalami resesi. Sebagai akibatnya, orang Amerika akan protes keras. Bush akan menghadapi krisis serius di dalam negerinya. Brzezinski, yang juga menulis dalam majalah Newsweek, khawatir. Ia mendukung sepenuhnya kebijaksanaan Bush, tapi ia takut krisis akan berlarut-larut dan akhirnya tak lagi bisa dikuasai. Andai kata terjadi insiden kecil saja antara AS dan Irak, opini dunia Arab pasti akan antiAmerika. Akibatnya bukan hanya merugikan Amerika saja, tetapi juga negeri-negeri Arab yang kini pro-AS. Apalagi akhir-akhir ini, dalam propagandanya, Saddam selalu mengumandangkan pentingnya dunia Arab memikirkan kembali nasib rakyat Palestina. Ia juga menguakkan korupsi para emir Arab, yang lebih suka berfoya-foya di Amerika dan Eropa. Saddam menggugah kaum misk~in dengan mengatakan, kalau saja uang yang dihamburkan para raja itu dipakai untuk memakmurkan rakyat Timur Tengah, mereka tak akan hidup sengsara seperti sekarang. IRAK. Di Irak sendiri, kesengsaraan tak bisa dibereskan dengan pidato. Keadaan stalemate ini bisa juga melumpuhkan Irak. Blokade ekonomi yang dilakukan Amerika dan sekutu-sekutunya atas restu PBB, walaupun tak seluruhnya efektif, tak berarti tak akan berbekas. Suatu kesulitan ekonomi yang terus-menerus akan menimbulkan rasa ketakpuasan umum. Keadaan seperti itu akan menggoyahkan cengkeraman Saddam atas rakyatnya, biarpun ia tahu caranya menggunakan teror. Sementara itu, propaganda Irak bisa jadi majal bila ada saingan muncul di arena opini publik di Timur Tengah. Datangnya dari negeri yang selama ini hampir dilupakan orang: Kuwait. KUWAIT. Salah satu kegagalan Irak terbesar: ia tak bisa melumpuhkan pemerintahan dan diplomasi Kuwait meskipun ia menduduki negeri itu. Raja Kuwait masih terus berfungsi, juga kementerian luar negeri dan mesin uangnya. Di sebuah hotel di Riyadh, pemerintah pel~arian Kuwait tak tinggal diam. Uangnya masih banyak. Sejauh ini, belum ada diplomat Kuwait yang menyeberang ke penguasa baru. Bahkan di dalam ne~eri Kuwait sendiri, dikabarkan masih ada perlawanan. (Lihat Perlawanan di Malam Hari). Misi-misi diplomatiknya mengelilingi dunia, termasuk ke Asia. Kuwait tak terkenal pintar berpropaganda dengan pidato, tapi ia punya para perunding yang tangg~uh -- maklum, ne~geri ini pandai berdagang. Orang Kuwait di luar negeri juga masih bisa aktif menunjukkan patrotisme mereka yang tak disangka-sangka: di Abdu Dhabi, mereka berdemonstrasi membakar boneka Saddam Hussein. Tapi sampai kapan? Bila stalemate kini berlangsung panjang, sebuah pemerintahan dalam pengasingan akan makin dilupakan orang. Kecuali bila di dalam Kuwait timbul pemberontakan bersenjata melawan Irak secara efektif dan terus-menerus. Atau, kecuali kalau ada perang dan Irak kalah -- satu hal yang bukan mustahil karena bisakah dibayangkan Irak akan bisa menang melawan AS dan lain-lain? Maka, perang bisa saja terjadi, buat menerobos stalemate yang mencekam kini. Bila AS tak ingin memulainya, bisa dibuat satu rencana: ada negeri lain yang memulainya, dengan restu AS. Israel bisa melakukan "pekerjaan kotor" ini meskipun risikonya besar buat posisi AS dan sekutunya di Timur Tengah. Atau Mesir. Atau Arab Saudi. Rakyat di dunia, terutama di dunia Arab dan masyarakat Muslim, tentu akan marah bila Israel menggepuk Irak. Israel pun tak akan keluar dari peperangan tanpa babak belur secara militer dan ekonomi. Tapi Saddam bisa terguling. Hanya tak jelas siapa yang akan menggantikannya tanpa dituduh sebagai "boneka Yahudi". Pada saat yang sama, AS akan terbuncang dari Timur Tengah -- kecuali bila Washington kemudian bisa membujuk Israel buat mengembalikan wilayah Arab yang diduduki serta mengakui kedaulatan Palestina. Ini tentu masih jauh panggang dari api. A D~ahana
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo