Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Parjan tak pernah bermimpi hutan Kalibiru di dekat rumahnya kembali hijau. Dua puluh tahun lalu, pria 65 tahun ini menyaksikan hutan di Dukuh Kalibiru, Desa Hargowilis, Kecamatan Kokap, Kulon Progo, tersebut habis akibat penjarahan. Sejumlah mata air di hutan 29 hektare ini hilang. "Tanah longsor kerap terjadi," kata Ketua Hutan Kemasyarakatan Kalibiru, Parjan, kepada Tempo, 21 November lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kini, di ketinggian 450 meter di atas permukaan laut, Kalibiru telah hijau membiru. Setidaknya, 14 mata air mengalir. Kalibiru pun mendunia karena jadi salah satu tempat yang disukai pelancong. Foto-foto Kalibiru berserak di Instagram, Facebook, dan Twitter.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berjarak 38 kilometer dari jantung Kota Yogyakarta, Kalibiru dapat dijangkau sekitar satu setengah jam hingga dua jam berkendaraan mobil dari kawasan Malioboro. Setidaknya, 10 ribu orang berkunjung ke sini saban bulan. "Kami pernah menerima 7.500 orang dalam sehari," kata Sudadi, ketua pengelola wisata alam Kalibiru.
Kalibiru telah mendatangkan duit Rp 5,43 miliar pada tahun lalu. Hampir 90 persen dari 400-an penduduknya bergantung hidup pada wisata Kalibiru. Mereka bekerja sebagai karyawan, juru parkir, penjaga warung, dan sopir. "Karyawan kami gaji di atas upah minimum," kata Sudadi. Upah minimum Kabupaten Kulon Progo tahun ini hampir Rp 1,5 juta.
Parjan mengatakan, setelah hutan habis dibabat pada 1998-1999, warga Kalibirudengan pendampingan dari Yayasan Damarberusaha mengembalikan hutan. Pada 1999, Damar menggandeng masyarakat Kalibiru melakukan penanaman kembali dengan skema hutan kemitraan.
Triatmojomantan aktivis Damarmenyatakan kedatangannya sempat dicurigai. "Tapi itu hanya sementara," katanya. Ia menyatakan, setelah meyakinkan semua pihak bahwa Damar ingin melegalkan dan meningkatkan ekonomi masyarakat, pintu terbuka lebar. "Yang hebat adalah warga Kalibiru berpikir terbuka dan mau berpikir kelompok," kata Triatmojo.
Tujuh kelompok tani terbentuk pada 2001. Pada 15 Februari 2002, tujuh kelompok ini dapat izin sementara hutan kemasyarakatan untuk lima tahun. Belakangan, tujuh kelompok tersebut berhimpun menjadi satu dalam Paguyuban Kelompok Tani Mandiri. Pada 2007, Kalibiru ditetapkan sebagai hutan kemasyarakatan.
Dari hasil rembukan, kelompok tani memilih pemanfaatan jasa lingkungan berbentuk lokasi wisata. Ini tergerak dari usul Chris Bennet, aktivis lingkungan asal Kanada yang pernah dolan ke Kalibiru.
Sudadi mengingat, pada 2010, pengunjung Kalibiru masih sepi. Wahana andalan hanya flying fox. "Waktu itu, masyarakat tak percaya wisata hutan bakal jalan," ujar Sudadi. Pada Desember ini, libur telah tiba. Kalibiru pun telah kebanjiran pelancong.
Anak Muda Jadi Betah di Desa
Wisata Alam Kalibiru telah menjadi tumpuan ekonomi masyarakat setempat. Mereka mulai merasakan gurihnya penghasilan dari bisnis wisata alam. Inilah yang membuat banyak anak muda Kalibiru kini memilih bertahan di kampung. Sebagian anak muda yang telah bekerja di luar kota pun balik ke Kalibiru.
Mantan Kepala Dukuh Kalibiru, Desa Hargowilis, Kecamatan Kokap, Kulon Progo, Kamijan, mengatakan, dulu, setelah lulus sekolah menengah atas atau sekolah menengah kejuruan, banyak anak muda di tempat ini yang langsung merantau. "Mulai beberapa tahun lalu, banyak anak muda yang memilih tetap di kampung," katanya kepada Tempo yang berkunjung ke Kalibiru, 21 November lalu.
Asep Setyawan adalah salah seorang di antaranya. Ia pulang kampung karena wisata Kalibiru kian memikat pelancong. Pada 2012, ia memutuskan untuk menjadi sopir di kawasan wisata Candi Borobudur di Magelang. Pertimbangan pria 35 tahun ini sederhana: ia perlu hidup dan dapur keluarga harus terus berasap.
Asep pun setiap hari bolak-balik Kalibiru-Borobudur yang berjarak hampir 50 kilometer itu. Namun, begitu melihat pesatnya perkembangan wisata di Kalibiru, pada 2015, Asep memutuskan pulang. Lulusan diploma ilmu komputer ini menjadi staf karyawan pengelola wisata Kalibiru. "Yang jelas, sekarang lebih dekat dengan keluarga. Penghasilan pun juga lebih baik," kata bapak dua anak itu. Kini, 83 anak muda Kalibiru menjadi bagian dari pengelolaan Kalibiru tersebut.
Analis pasar hasil hutan Dinas Kehutanan dan Perkebunan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Totok Teguh Santosa, mengatakan iklim positif untuk meningkatkan perekonomian di Kalibiru mulai meresap di masyarakatnya. "Wisata ini membuka lapangan kerja pada masyarakat sekitar dan mengembalikan pemuda yang ingin ikut membangun Kalibiru," kata Totok.
Ketua Pengelola Wisata Alam Kalibiru, Sudadi, mengatakan, pada awalnya, wisata ini tak begitu diharapkan warga. Hingga 2013, pengunjung yang datang per bulan hanya ada di kisaran 1.500 orang. Pada 2014, terjadi lonjakan hingga 300 persen. Sejak saat itu, pengunjung terus tumbuh.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo