Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Komisi Pertahanan DPR menganggap pemerintah terburu-buru menetapkan kelompok bersenjata di Papua sebagai teroris.
Keputusan pemerintah mengecap kelompok kriminal bersenjata di Papua sebagai teroris belum bulat.
Penyederhanaan masalah di Papua dapat berdampak luas terhadap penanganan konflik di sana.
JAKARTA – Sejumlah anggota Komisi Pertahanan Dewan Perwakilan Rakyat menilai keputusan pemerintah yang mengecap kelompok kriminal bersenjata di Papua sebagai teroris sangat terburu-buru. Komisi Pertahanan menduga keputusan itu lahir tidak melewati kajian mendalam. "Pemerintah seharusnya tidak menyederhanakan masalah di Papua," kata anggota Komisi Pertahanan DPR, Effendi Simbolon, kemarin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan ini menilai penyederhanaan masalah di Papua dapat berdampak luas terhadap penanganan konflik di sana. Ia menganggap persoalan di Papua lebih kompleks dibanding daerah rawan lainnya. Dengan demikian, penyelesaian konflik dan kekerasan di Papua seharusnya melalui kajian mendalam serta berdasarkan pada hasil evaluasi penanganan konflik di sana selama ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Jangan semua serba business as usual. Kebijakan tambal sulam akan membuat resah terutama teman-teman prajurit di lapangan," ujarnya.
Menurut Effendi, Komisi Pertahanan akan segera memanggil Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud Md. Komisi Pertahanan akan meminta penjelasan Mahfud mengenai penetapan label teroris terhadap kelompok kriminal bersenjata di Papua.
“Pemerintah perlu menjelaskan alasan keputusan ini bisa diambil,” katanya. "Setahu saya, TNI dan Polri tidak dilibatkan dalam pengambilan kebijakan itu. Kalaupun ada, mungkin individu saja, bukan institusi."
Mahfud mengumumkan stigma teroris terhadap kelompok bersenjata di Papua pada Kamis lalu. Ia mengklaim aksi kekerasan kelompok bersenjata tersebut telah memenuhi unsur tindak pidana terorisme dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Ia mengatakan kelompok bersenjata di Papua dianggap telah menimbulkan ketakutan secara meluas, menimbulkan korban massal, hingga mengakibatkan kerusakan lingkungan hidup dan fasilitas strategis. Mahfud mengklaim bahwa keputusan tersebut sejalan dengan pernyataan Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Bambang Soesatyo, Badan Intelijen Negara (BIN), serta pimpinan Kepolisian Republik Indonesia dan TNI. Pemerintah juga menerima masukan dari tokoh masyarakat, tokoh adat, dan pemerintah Papua.
"Mereka mendukung pemerintah melakukan tindakan yang diperlukan guna menangani kekerasan yang muncul belakangan di Papua," kata Mahfud.
Cap teroris itu sesungguhnya lebih dulu diungkap oleh BIN saat menyikapi insiden penembakan terhadap Kepala BIN Daerah Papua, Brigadir Jenderal I Gusti Putu Danny Karya Nugraha, Ahad lalu. Danny tewas tertembak oleh Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat pimpinan Lekagak Telenggeng. Juru bicara BIN, Wawan Hari Purwanto, menyebut kelompok bersenjata itu sebagai separatis dan teroris.
Sebelum muncul label teroris ini, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, Boy Rafli Amar, lebih dulu mengusulkan agar kelompok bersenjata di Papua disebut sebagai teroris pada Maret lalu. Boy mengatakan cap teroris itu sejalan dengan tindakan Organisasi Papua Merdeka yang menggunakan kekerasan bersenjata, menimbulkan efek ketakutan, serta mengakibatkan korban di masyarakat dan petugas keamanan. Mereka juga memiliki motif politik, yaitu ingin memisahkan diri dari Indonesia.
"Ideologinya berseberangan dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia," kata Boy.
Prajurit Kopassus bersiap mengusung jenazah Kepala BIN Daerah (Kabinda) Papua, Mayjen Anumerta I Gusti Putu Danny Karya Nugraha, untuk dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta, 27 April 2021. ANTARA/Muhammad Adimaja
Seorang sumber Tempo di pemerintahan mengatakan keputusan mengecap kelompok bersenjata di Papua sebagai teroris belum bulat. TNI dan Polri disebut-sebut belum membuat keputusan resmi soal ini. Rabu lalu, Kepala Kantor Staf Kepresidenan, Moeldoko, mengatakan pemberian label teroris ini masih perlu dikaji lebih lanjut.
Kepala Biro Penerangan Masyarakat Polri, Brigadir Jenderal Rusdi Hartono, mengatakan Detasemen Khusus 88 Antiteror Polri belum terlibat dalam kajian tersebut. Secara terpisah, Kepala Divisi Humas Polri, Inspektur Jenderal Argo Yuwono, mengatakan kepolisian akan mengkaji perubahan strategi operasi menyusul perubahan status kelompok bersenjata di Papua sebagai teroris.
"Masih dirumuskan seperti apa. Tunggu saja perkembangannya,” kata Argo.
Deputi V Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Kantor Staf Presiden, Jaleswari Pramodhawardani, mengatakan pemberian label teroris kepada kelompok bersenjata di Papua diputuskan dalam rapat koordinasi di Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan beberapa waktu lalu. Ia mengatakan pemberian cap teroris ini sudah dipertimbangkan secara matang dengan mengkaji fakta kekerasan di Papua.
Ia mengatakan kekerasan kelompok bersenjata itu sudah menyasar masyarakat sipil, seperti pelajar, guru, tokoh adat, serta petugas keamanan. Jaleswari mengutip laporan Bupati Kabupaten Puncak, Papua, Willem Wandik, bahwa kelompok kriminal bersenjata melakukan serangkaian kekerasan di Kabupaten Puncak sejak awal tahun ini. Tercatat, ada sepuluh peristiwa kekerasan di sana, termasuk penembakan Kepala BIN Daerah Papua, I Gusti Putu Danny Karya Nugraha.
Jaleswari menekankan bahwa penyebutan organisasi atau individu sebagai teroris di Papua hanya dilekatkan pada organisasi atau seseorang yang melakukan kekerasan, teror, serta perusakan fasilitas publik yang bermotif politik ataupun gangguan keamanan. Ia mengatakan tujuan penyebutan teroris ini untuk mengefektifkan tindakan penegakan hukum terhadap pelaku.
"Pemerintah akan memastikan bahwa tindakan penegakan hukum oleh aparat penegak hukum tidak akan eksesif yang bisa berdampak negatif pada masyarakat," katanya.
Anggota Komisi Pertahanan DPR, Yan Parmenas Mandenas, menilai cap teroris ini bukan solusi terhadap konflik di Papua. Legislator dari daerah pemilihan Papua ini mengatakan langkah tersebut justru menunjukkan kelemahan pemerintah dalam menyelesaikan konflik di Bumi Cenderawasih. "Saya pikir ini justru mendorong sebuah kemunduran, bukan langkah maju," kata Yan.
Politikus Partai Gerindra ini mengatakan pendekatan keamanan untuk menghabisi kelompok bersenjata bukanlah jawaban. Sebab, kelompok intelektual yang mendesak kemerdekaan Papua tetap akan berkembang meski kelompok bersenjata dihabisi.
"Persoalan di Papua ini bukan menyangkut satu kelompok. Kelompok KKB kita habisi hari ini, tapi regenerasinya akan lahir terus," katanya.
Menurut Yan, pemerintah semestinya mengevaluasi lebih dulu penanganan konflik di sana. Ia mengusulkan dua hal yang perlu dievaluasi oleh pemerintah, yaitu efektivitas operasi keamanan dan keberhasilan pendekatan pembangunan di Papua. Yan khawatir penetapan status teroris ini akan memantik reaksi dunia internasional dan menghantam balik pemerintah.
Ketua Departemen Keadilan, Perdamaian, dan Keutuhan Ciptaan Gereja Kemah Injil Papua, Yones Douw, berpendapat bahwa penetapan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat sebagai teroris akan berimbas pada masyarakat dan gereja. Sebab, pelabelan itu akan berpotensi membuat masyarakat Papua mudah dituduh sebagai teroris. “Orang asli Papua bisa ditembaki dengan label teroris,” katanya.
ROBBY IRFANY | EGI ADYATAMA | AVIT HIDAYAT | MAYA AYU PUSPITASARI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo