Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

Berita Tempo Plus

Susilo Bambang Yudhoyono:

Megawati tersenyum, sebuah duri telah tercabut. Setelah menjalani hari-hari "pengucilan" di kabinet, termasuk merasakan tandukan PDI Perjuangan, Susilo Bambang Yudhoyono menempuh jalan yang membuat lega semua: keluar dari kabinet. Pria kalem yang sering disapa SBY ini berhenti menjadi Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan, dan kini serius membesarkan Partai Demokrat, partai yang akan mengusungnya dalam pemilu presiden 2004.

15 Maret 2004 | 00.00 WIB

Susilo Bambang Yudhoyono:
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Megawati menunjuk Menteri Dalam Negeri Hari Sabarno sebagai Menteri Koordinator Polkam ad interim menggantikan SBY. "Surat pemberhentiannya akan diantar langsung ke Susilo. Itu etika yang luar biasa," ujar Sekretaris Negara Bambang Kesowo sambil tersenyum.

Ketegangan mengendur, tapi peta politik nasional berangsur-angsur berubah. Ketua Partai Amanat Nasional, Amien Rais, tanpa malu-malu menyatakan ingin menjadikan SBY sebagai calon wakil presidennya. Ketua Partai Kebangkitan Bangsa, Mahfud Md., bahkan menyebut SBY sebagai calon presiden alternatif partai mereka. Toh, seperti diduga, Yudhoyono tak langsung menanggapi secara terbuka pinangan pelbagai partai tersebut.

Banyak pertanyaan yang perlu dijawab. Untuk itu, Wenseslaus Manggut, Herry Gunawan, dan Yandrie Arvian dari Tempo News Room mewawancarai SBY. Selama wawancara yang berlangsung di business lounge Bandara Soekarno-Hatta, Jumat malam pekan lalu, menantu (almarhum) Jenderal Sarwo Edhi Wibowo itu tampak sangat santai. Pelbagai persoalan berat, katanya, tak mengganggu ritme hidupnya. "Saya masih jogging pagi bersama keluarga," tuturnya.

Berikut kutipan wawancara dengan SBY, sebelum pesawat yang akan membawanya ke Bali take off.

Anda akhirnya mengundurkan diri dari kabinet. Apakah keputusan itu akibat "pengucilan" oleh Presiden Megawati?

Saya mundur lantaran Presiden tidak merespons permohonan dan saran yang termuat dalam surat saya. Sebagai seorang pembantu Presiden yang mengalami masalah dengan atasannya, saya tentu harus tahu diri. Tidak baik bila saya tetap dalam kabinet. Itu berarti saya melawan beliau. Sebagai menteri yang diangkat oleh Presiden, tidak baik bila berselisih dengan Presiden. Perselisihan itu tidak boleh dipelihara dalam kabinet. Menurut etika, saya harus mengalah dengan cara mengundurkan diri. Inilah pelajaran politik yang saya dapatkan.

Kami mendengar sebenarnya Anda tetap diundang menghadiri rapat kabinet soal pengamanan pemilu. Benarkah?

Tidak benar itu. Menurut penjelasan Sesmenko Sudi Silalahi, saya memang tidak diundang dalam rapat pengamanan pemilu. Memang, saat akan keliling ke daerah-daerah, ada usulan dari salah satu pejabat eselon satu Departemen Dalam Negeri yang meminta Sesmenko Sudi Silalahi mengirimkan wakilnya. Tapi soal undangan betul-betul tidak ada.

Bukankah saat itu Anda sedang berkunjung ke Cina?

Katakanlah pada saat rapat itu saya dalam perjalanan kembali dari Tiongkok. Tapi, setelah itu, sekretaris negara sebetulnya bisa menginformasikan bahwa ada kebijakan presiden untuk memberikan tugas langsung kepada mereka. Yang penting, seharusnya saya diberi tahu. Saya sempat menanyakan kepada Mendagri dan Kapolri. Mereka bilang ada pengarahan langsung dari presiden. Mereka juga diminta memberi laporan langsung kepada presiden. Jelas sekali kok. Saya ini bukannya tidak mengerti tata krama. Saya paham aturan main dan mekanisme di pemerintahan.

Apakah pengunduran diri ini hanya akibat sikap presiden yang memangkas peran Anda?

Saya ingin menyempitkan lingkup persoalannya. Saya sangat peduli dengan wewenang untuk mengendalikan secara operasional pada jajaran Polkam. Manakala fungsi itu sudah diambil oleh atasan saya, saya patut bertanya. Itu kan intinya. Saya tidak mungkin nyaman duduk sebagai Menko Polkam kalau semua persoalan, kewenangan, tanggung jawab, dan resources tidak di bawah koordinasi saya.

Menteri Koordinator Kesra Jusuf Kalla dan Menteri Kehakiman dan HAM Yusril Ihza Mahendra juga maju jadi calon presiden. Mengapa hanya Anda yang bermasalah dengan presiden?

Saya kira hal itu tidak perlu saya angkat ke publik. Saya hanya mencatat berkaitan dengan tugas saya sebagai Menko Polkam, yang mengkoordinasi para menteri atau pejabat di jajarannya. Memang, mendekati masa pencalonan presiden, orang berspekulasi masalah ini karena SBY salah satu calon presiden. Hal ini disebut-sebut mempengaruhi hubungan saya dengan Megawati. Tapi sebenarnya saya tidak tahu sejauh mana hal itu mempengaruhi Megawati. Saya tak mau mengomentari terlalu jauh.

Apa isi surat yang Anda kirim ke Presiden Megawati pada 9 Maret 2004? Apakah ada kata "pengunduran diri"?

Sebenarnya tidak terpikir untuk mengundurkan diri. Saya hanya mohon penjelasan karena ada langkah-langkah dan kebijakan Presiden yang merupakan wewenang Menko Polkam. Presiden sudah memberikan arahan serta mengendalikan operasional para menteri di jajaran politik dan keamanan, yang menjadi tugas saya. Hal yang lain dalam surat tersebut adalah permintaan partai politik tertentu dan kelompok yang dekat dengan Presiden agar saya mundur.

Partai Demokrat sudah memastikan akan mencalonkan Anda sebagai presiden. Mengapa Anda tak segera keluar dari kabinet?

Memang banyak yang menanyakan mengapa saya tidak mundur. Dalam surat kepada Presiden, saya sampaikan bahwa saya berpedoman pada Undang-Undang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. Dalam aturan disebutkan seseorang dikatakan jadi calon presiden/wakil presiden kalau sudah diusulkan oleh salah satu atau gabungan partai yang lolos dan ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum. Dengan demikian, tidak relevan bagi saya untuk mengundurkan diri sekarang ini. Sebab, status saya sama dengan Menteri Koordinator Kesra Jusuf Kalla dan Menteri Kehakiman dan HAM Yusril Ihza Mahendra. Bahkan, barangkali juga sama dengan kondisi Presiden Megawati dan Wakil Presiden Hamzah Haz.

Tapi, bukankah Anda pasti maju ke pencalonan presiden?

Dalam surat itu juga saya katakan, kalau saya dicalonkan oleh partai politik peserta pemilu, insya Allah saya bersedia, saya pun mohon mengundurkan diri. Itu akan saya lakukan meski KPU belum menetapkannya. Bila tidak mundur, secara etika tidak benar.

Anda dikenal sebagai orang yang "pelit bicara". Mengapa sekarang Anda membeberkan isi surat untuk Presiden?

Sebetulnya saya tidak mau menyampaikan kepada pers. Itu merupakan surat saya untuk Presiden. Tapi Sekretaris Negara Bambang Kesowo membukanya kepada publik. Ini menjadi masalah yang membuat saya susah. Saya harus menjelaskannya karena publik telanjur confused.

Kami mendengar surat "pengunduran diri" tersebut sudah Anda siapkan sejak dua bulan silam. Benarkah?

(SBY terlihat tersenyum—Red.) Tidak benar. Tidak benar. Tidak benar. Surat itu saya susun tanggal 8 Maret kemarin. Saya menyusun surat tersebut sedemikian rupa supaya Ibu Megawati membaca utuh permasalahannya. Saya tidak ingin Presiden salah terima dan salah tafsir. Makanya, dalam surat juga saya meminta waktu untuk menjelaskannya secara langsung.

Mengapa seorang Menteri Koordinator Polkam sulit sekali bertemu dengan presiden?

Lo, saya tidak tahu, ha-ha-ha…. Dulu sebenarnya tidak terlalu susah. Kini di saat-saat kritis, justru saya sangat ingin bertemu.

Apakah ada kelompok tertentu yang memang tak menginginkan pertemuan Anda dengan Presiden Megawati?

Saya tak boleh berburuk sangka. Saya juga tidak boleh mengomentari sesuatu yang saya tak ketahui di lingkaran dalam Istana. Memang banyak desas-desus yang menyebutkan ada upaya mendisorganisasi antara satu pejabat dan pejabat yang lain, satu tokoh dengan tokoh yang lain. Saya sangat mencemaskan hal itu.

Kapan terakhir Anda bertemu dengan Presiden Megawati?

Sebelum saya ke Tiongkok, kira-kira tiga minggu yang lalu. Sepulang dari Tiongkok, saya mendapat informasi, penjelasan, laporan dari banyak pihak yang mempertanyakan aktivitas jajaran Polkam. Mereka heran karena saya tidak ada. Setelah saya bertanya ke sana-sini, ternyata dikendalikan langsung oleh Ibu Presiden. Karena itu, saya mohon untuk bertemu Ibu Presiden. Saya tanya ke ajudan, apakah sudah ada waktu untuk menghadap. Ternyata sampai tanggal 11 Maret belum ada waktu.

Sekretaris Negara Bambang Kesowo menyebut, sebetulnya Anda tak perlu mengirim surat ke Presiden. Bagaimana?

Saya menolak tesis Sekretaris Negara Bambang Kesowo, seolah-olah menteri tak boleh mengirim surat kepada presiden. Alat komunikasi dalam organisasi sebetulnya banyak: nota, surat, memo, telepon, atau bisa datang langsung. Untuk masalah yang sangat pelik, saya membiasakan diri menulis surat. Hal ini saya lakukan agar informasinya utuh, akuntabel, dan tidak bisa dibolak-balik. Kalimat-kalimat itu saya susun supaya punya pegangan dan sebagai pedoman pertanggungjawaban. Hal ini berbeda dengan percakapan lisan atau lewat telepon.

Apakah sebelumnya Anda terbiasa berkirim surat kepada Presiden?

Ini bukan surat pertama saya kepada Presiden. Menyangkut masalah yang pelik, sensitif, dan tidak bisa dibahas begitu saja pada sebuah forum, saya selalu mengirim surat ke Presiden. Pada Agustus 2002, misalnya, saya menulis surat soal Aceh. Jadi, Sekretaris Negara Bambang Kesowo terlalu mengada-ada dengan menyebut Presiden tidak berkenan karena saya mengirim surat.

Mengapa Anda tidak datang ke kantor setelah mengirimkan surat kepada Presiden?

Hari ini sebetulnya saya ingin pergi ke kantor. Tapi keluarga besar saya—ibu mertua, saudara-saudara, adik-adik—datang ke rumah. Mereka peduli dan ingin tahu kondisi dan keadaan sebenarnya. Saya jelaskan satu per satu sambil meminta pengertian tentang ini semua.

Bagaimana dengan tugas Menteri Koordinator Polkam sebelum Presiden menunjuk pengganti Anda?

Komunikasi saya dengan jajaran Polkam tetap berjalan. Pukul tiga sore tadi, Sesmenko Sudi Silalahi dan beberapa pejabat saya undang ke rumah untuk membicarakan masalah-masalah yang kita hadapi. Beberapa hal yang dibicarakan antara lain upaya pembebasan sandera dan pemantauan operasi terpadu di Aceh. Saya pun masih berkomunikasi dengan Kapolri soal hasil pengecekan-pengecekan keamanan di daerah. Saya masih menjalankan tugas-tugas sehari-hari, meski tidak seperti sebelum mohon mengundurkan diri.

(Wawancara dilakukan sebelum Sekretaris Negara Bambang Kesowo mengumumkan penggantian Menteri Koordinator Polkam. Hari Sabarno, yang sebelumnya Menteri Dalam Negeri, ditunjuk menjadi Menko Polkam ad interim—Red.)

Ini soal lain. Kemarin Anda bertemu dengan Gus Dur. Ada agenda khusus?

Ah, itu silaturahmi biasa. Sudah lama Gus Dur ingin bersilaturahmi dengan saya. Kebetulan kemarin malam itu waktunya cocok. Betul-betul sebuah pertemuan antarkolega. Pertemuan antara mantan presiden dan mantan menterinya.

Apakah sudah ada pembicaraan soal pencalonan presiden mendatang?

Kami tidak berbicara terlalu jauh.

Bagaimana bila Partai Kebangkitan Bangsa meminang Anda?

Janganlah kita terlalu jauh menafsirkan sebuah silaturahmi atau sebuah pertemuan. Bisa saja hal itu agar kita saling berkomunikasi, saling berpikir masa depan kita. Bagaimanapun, pemilu merupakan proses yang diharapkan akan melahirkan sirkulasi elite yang bagus. Rakyat memilih wakilnya, rakyat memilih pemimpinnya. Dalam konteks besar itu, kalau kita ingin berkonsensus, itu merupakan demokrasi yang sehat. Demokrasi memang bisa one man, one vote. Tapi, dalam demokrasi itu tidak ditabukan adanya konsensus dan kompromi. Setiap komunikasi politik yang arahnya seperti itu sebenarnya sehat.

Banyak partai politik—sebut saja Partai Amanat Nasional dan Partai Bulan Bintang—yang menginginkan Anda menjadi calon wakil presiden mereka. Bagaimana?

Saya akan mengikuti mekanisme yang ada.

Anda memasuki hari-hari yang berat. Bagaimana cara Anda menghadapinya?

Ha-ha-ha…, saya bertindak dengan dituntun oleh pikiran saya. Pikiran saya dituntun oleh keyakinan saya. Saya yakin jalan yang saya tempuh ini untuk kebaikan. Kebaikan Ibu Megawati sebagai presiden, kebaikan kabinet, dan kebaikan saya supaya tidak mengganggu semua. Karena saya yakin itu yang terbaik, maka saya jalani. Dalam sebuah perjuangan, seseorang bisa saja jatuh. Tapi seseorang akan jatuh dengan penuh kehormatan bila dia bertindak atas prinsip dan keyakinannya.

Jadi, Anda merasa mundur dengan penuh kehormatan?

Ya. Sebetulnya saya tidak ingin memperpanjang masalah. Saya yang harus tahu diri, harus mengundurkan diri, daripada saya berada dalam satu situasi yang secara psikologis sudah tidak tepat lagi. Ada hambatan, harmoni tidak terbangun, serta hubungan interpersonal tidak bagus. Saya harus tahu diri.

Apakah Anda sempat meminta masukan dari seorang penasihat spiritual?

Saya mengambil keputusan dan memilih sesuatu atas dasar logika dan akal sehat. Seorang pemimpin yang keputusan, kebijakan, dan perintahnya bersandar pada sesuatu yang irasional akan hancur. Itu langkah yang salah. Bahwa ada pandangan dari segi supranatural dan irasional tentang banyak hal, boleh-boleh saja. Tapi, kalau kita mengelola pemerintahan, mengelola negara untuk kepentingan masyarakat, untuk masa kini dan masa depan, pahamilah sistem dan manajemennya. Itu yang saya lakukan. Memang banyak sekali masukan-masukan, surat, telepon yang menurut saya sulit saya terima dengan akal sehat. Ada yang meminta saya supaya nyepi dengan berbagai macam syarat. Tapi saya tidak pernah melakukannya.


Susilo Bambang Yudhoyono:

Tempat/tanggal lahir:

  • Pacitan, 9 September 1949

Pendidikan:

  • Akademi Militer Nasional (1973)
  • Airborne and Ranger Course di Fort Benning, Amerika Serikat (1976)
  • Antitank Weapon Course di Belgia dan Jerman (1984)
  • Seskoad (1989)
  • Command and General Staff College di Fort Leavenworth, AS (1990-1991)

Karier:

  • Chief military observer pasukan PBB di Bosnia-Herzegovina (1995)
  • Kasdam Jaya (1996)
  • Pangdam II Sriwijaya (1996-1998)
  • Ketua Fraksi ABRI dalam Sidang Istimewa MPR (1998)
  • Kastaf Teritorial ABRI (1998-1999)
  • Menteri Pertambangan dan Energi, dan sempat menjadi Menko Polsoskam di Era Presiden Abdurrahman Wahid (1999-2001)
  • Menko Polkam (2001-12 Maret 2004)

Penghargaan:

  • Adi Makayasa, sebagai lulusan terbaik Akademi Militer 1973

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus