Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Teror siber yang menyerang pegiat antikorupsi mulai terkuak indikasinya.
Pelaku diduga menggunakan telepon faktual, bukan dari robocall.
Komnas HAM mendesak Polri mengusut serangan ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA – Nomor telepon yang diduga dipakai untuk meneror para pembela pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi sempat terlacak. Serangan siber terhadap para pegiat antikorupsi seperti eks pemimpin KPK, Busyro Muqoddas dan Bambang Widjojanto, serta 12 aktivis Indonesia Corruption Watch itu diduga berasal dari nomor ponsel faktual, bukan bentuk robocall.
Robocall adalah panggilan telepon menggunakan autodialer terkomputerisasi untuk mengirimkan pesan yang direkam sebelumnya, seolah-olah dari robot. Setidaknya ada enam nomor telepon yang meneror Busyro pada Senin lalu. Sejak pukul 13.00 WIB, Busyro menerima panggilan telepon tanpa henti selama dua jam. Keenam nomor telepon itu punya kemiripan angka.
Busyro menyebutkan keenam nomor telepon peneror itu adalah 0821272054xx, 0821272054xx, 0821272054xx, 0821272054xx, 0821272054xx, dan 0821272040xx. Dari susunan angka, kemungkinan besar nomor-nomor tersebut merupakan produk Telkomsel.
Selain Busyro, Bambang Widjojanto mendapat teror telepon serupa. Serangan telepon tak dikenal bertubi-tubi masuk ke telepon seluler Bambang sejak Senin siang. "Itu berlangsung hingga sore. Intensitas makin meningkat dan agak mereda malamnya," kata Bambang, kemarin.
Selain telepon, Bambang menyebutkan aplikasi komunikasi WhatsApp dan Telegram miliknya menunjukkan gelagat hendak diambil alih orang lain. Buktinya, ia mendapat pemberitahuan verifikasi keamanan dari dua aplikasi tersebut.
Tempo berupaya menghubungi keenam nomor yang meneror Busyro. Semula, sempat ada dugaan nomor-nomor ini berkategori virtual number. Faktanya, semua merupakan nomor nyata, lazimnya nomor yang dipakai pengguna telepon seluler.
Nomor-nomor yang dipakai peneror tersebut terakhir aktif pada kemarin dinihari. Penelusuran Tempo menunjukkan, nomor-nomor telepon itu terkoneksi dengan base transceiver station (BTS) yang berposisi di kawasan Blok M, Jakarta Selatan. BTS adalah infrastruktur telekomunikasi yang memfasilitasi komunikasi nirkabel antara perangkat komunikasi penelepon dan jaringan operator nomor ponsel.
Tempo berupaya meminta konfirmasi Telkomsel melalui Manajer Umum Komunikasi Perusahaan Eksternal, Aldin Hasyim, melalui pesan singkat, kemarin. Namun Aldin belum merespons.
Serangan siber ini terjadi saat Bambang dan Busyro mengikuti seminar virtual yang dibikin Indonesia Corruption Watch (ICW) pada Senin lalu. Mereka sedang membahas nasib 75 pegawai KPK yang tidak lulus tes wawasan kebangsaan sebagai syarat alih status menjadi aparat sipil negara.
Selain Bambang dan Busyro, sebanyak 12 aktivis ICW mendapat serangan siber serupa. Akun WhatsApp mereka tak bisa diakses karena diretas oleh orang lain. Bahkan salah satu pegiat ICW, Nisa Rizkiah, kebobolan hingga akun Gojek dan Tokopedia miliknya. Walhasil, ia mendapat setidaknya tujuh orderan dari ulah si pembobol. Ia pun merugi sekitar Rp 200 ribuan untuk membayar pesanan tersebut.
Peretasan ini mendapat tanggapan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Lembaga ini mendesak Polri mengusut dugaan teror dan peretasan yang dialami Busyro, Bambang, dan aktivis dari ICW. Komisioner Komnas HAM, Mohammad Choirul Anam, mengatakan upaya pengusutan tuntas merupakan bagian dari jaminan hak asasi manusia kepada setiap orang tanpa terkecuali.
Aktivis yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi, melakukan aksi teatrikal sebagai tanda darurat, di gedung Komisi Pemberantasan Korupsi,Jakarta, 18 Mei 2021. TEMPO/Imam Sukamto
"Negara harus hadir melindungi setiap orang dan negara tidak boleh kalah dengan setiap gangguan jaminan HAM yang juga merupakan jaminan konstitusional," kata Anam ketika dihubungi, kemarin.
Selain itu, Anam menganggap dugaan teror dan peretasan sudah masuk ranah pidana, khususnya kejahatan digital. Anam menganggap dalam kasus ini Polri bisa aktif bergerak mengusut perkara tersebut tanpa menunggu laporan. "Ini delik pidana," kata dia.
Markas Besar Polri belum memberikan tanggapan. Kepala Divisi Humas Polri, Inspektur Jenderal Raden Prabowo Argo Yuwono belum merespons pesan singkat yang dikirim Tempo, kemarin.
Pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, menyebutkan serangan siber berupa teror telepon dan peretasan tersebut memenuhi unsur pidana pada Pasal 30 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 juncto Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Intinya, siapa pun yang mengakses komputer atau akun orang lain terancam hukuman 6 tahun dan denda Rp 600 juta-2 miliar. Meski begitu, Fickar mengatakan perkara ini merupakan delik aduan. Walhasil, harus ada korban yang membuat laporan kepada penegak hukum. "Karena sifat kerugiannya orang per orang," kata Fickar, kemarin.
Salah satu pendiri Public Virtue, Anita Wahid, mengatakan sulit mengungkap pelaku teror dan peretasan yang menyerang para pegiat antikorupsi. Menurut dia, para pelaku menggunakan cara yang cukup canggih dalam melancarkan serangan. Sebagai contoh, serangan telepon bertubi-tubi memunculkan dugaan para pelaku menggunakan mesin. Sebab, bukan perkara mudah melakukan panggilan dengan intensitas tinggi.
"Pelaku kemungkinan menggunakan cara otomatis atau mesin. Sulit melacak mesin itu seperti apa, secanggih apa, dan siapa yang punya," kata Anita ketika dihubungi, kemarin.
Menurut Anita, panggilan bertubi-tubi atau robocall punya dua maksud. Pertama, bisa jadi ketika korban mengangkat panggilan telepon akan memberikan akses pelaku untuk memasuki telepon pintar korban. Atau bisa jadi, panggilan telepon keroyokan itu akan mengganggu fokus dan jaringan komunikasi korban.
Meski begitu, Anita berharap pemerintah bertindak tegas. Sebab, jika dibiarkan, ia khawatir praktik ini akan menjadi andalan bagi sekelompok orang untuk menyerang orang lain atau komunitas yang dianggap kritis terhadap satu isu penting. Jika berlanjut, Anita khawatir demokrasi dan kebebasan berpendapat masyarakat Indonesia akan rusak.
"Kalau zaman Orba jelas dengan membunuh. Tapi sekarang dengan senjata teknologi, tapi tujuannya sama, membungkam orang," kata Anita.
Direktur Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas, Feri Amsari, menduga upaya teror siber tersebut menyasar upaya pegiat antikorupsi yang memberikan advokasi kepada 75 pegawai KPK. Menurut Feri, model serangan siber bukan hal baru. Sebab, para pegiat antikorupsi sebelumnya pernah mendapat serangan siber saat mengkritik kebijakan pemerintah yang dianggap merugikan rakyat, seperti revisi UU KPK, omnibus law, hingga ribut calon pimpinan KPK bermasalah tahun lalu.
Feri pun berharap negara, dalam hal ini penegak hukum, bisa memberikan jaminan penuntasan perkara ini. Jika penegak hukum masuk angin mengusut dugaan peretasan ini, berarti memperkuat keraguan para pegiat antikorupsi dan masyarakat tentang komitmen pemerintah mempertahankan demokrasi.
Feri pun enggan menuding aparat atau intelijen negara terlibat dalam praktik peretasan dan teror tersebut. Sebab, sampai saat ini belum ada bukti kuat yang mengarah ke dugaan tersebut. "Tapi bisa dibuktikan dengan respons penegak hukumnya. Jika mereka abai, akan muncul kecurigaan publik," kata Feri.
Adapun Koordinator ICW, Adnan Topan Husodo, belum bisa memutuskan langkah selanjutnya setelah mendapat serangan siber, Senin lalu. Menurut dia, ICW masih akan berunding dengan pihak lain, seperti pegiat kebebasan Internet SAFEnet dan lembaga pegiat hak asasi Lokataru. "Kami memastikan bagaimana mekanisme pelaporannya supaya tidak jadi bumerang buat kami," kata Adnan ketika dihubungi, kemarin.
Adnan khawatir, jika melapor kepada Polri, gawai rekan-rekannya harus dijadikan barang bukti penyidikan. Ia khawatir tak ada transparansi dalam penyitaan gawai para aktivis ICW oleh penegak hukum. Lagi pula Adnan belum lupa beberapa kasus peretasan yang pernah mereka alami dan dilaporkan ke Polri tapi macet sampai sekarang. "Kami akan memilih jalur lain, misalnya ke Komnas HAM," kata Adnan.
Koordinator SAFEnet, Damar Juniarto, membenarkan sedang mengadvokasi para aktivis ICW yang menjadi korban peretasan. Namun, pada intinya, Damar berharap dugaan peretasan ini bisa dibongkar hingga para pelakunya.
Jika tidak, ia khawatir lama-kelamaan serangan digital seperti ini akan dianggap wajar. "Padahal jelas serangan ini adalah upaya penggembosan gerakan masyarakat sipil dan merugikan demokrasi," kata dia.
INDRA WIJAYA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo