Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pelaksanaan uji cepat Covid-19 di beberapa daerah bermasalah akibat terbatasnya jumlah alat bantuan dari pemerintah pusat.
Rencana pengadaan alat tes diwarnai tarik-ulur penentuan metode pengujian hingga merek yang akan dibeli.
Rencana baru pengadaan alat mencuat sepekan terakhir.
KABAR dari Jakarta mengejutkan anggota Ombudsman Republik Indonesia, Alvin Lie Ling Pao, Senin, 23 Maret lalu. Dua koleganya, Lely Pelitasari dan Ninik Rahayu, dinyatakan positif terjangkit Covid-19 setelah mengikuti uji cepat (rapid test) di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Soebroto, empat hari sebelumnya. Alvin tak ikut dalam pemeriksaan awal yang dijalani para pemimpin Ombudsman tersebut lantaran telah sepekan berada di Semarang. “Saya langsung isolasi mandiri, inisiatif periksa,” kata Alvin, Kamis, 2 April lalu.
Awal pekan itu juga Alvin menghubungi Direktur Rumah Sakit Umum Daerah Wongsonegoro, Susi Herawati. Sejak awal masa penanganan pandemi, rumah sakit milik Pemerintah Kota Semarang itu ditetapkan sebagai satu dari 13 rumah sakit rujukan kasus Covid-19 di Jawa Tengah—belakangan jumlahnya bertambah menjadi 58 rumah sakit.
Namun status rumah sakit rujukan itu bukan berarti pengetesan siap dilakukan di RSUD Wongsonegoro. Saat itu, Susi belum kebagian jatah alat rapid test dari pemerintah pusat. Tes terhadap Alvin baru bisa dilakukan dua hari kemudian, Rabu, 25 Maret lalu, dengan hasil negatif. Alat yang dipakai bukan bantuan pusat, tapi dibeli sendiri oleh manajemen rumah sakit. “Dokter paru-paru kami berhasil mencari vendor yang punya rapid test kit ini,” ujar Susi Herawati kepada Tempo, Kamis, 2 April lalu. "Pemerintah Kota Semarang berinisiatif belanja duluan."
Sepekan sebelumnya, Kamis, 19 Maret lalu, Presiden Joko Widodo memerintahkan tes cepat dalam cakupan yang lebih besar segera dilakukan. Dalam telekonferensi dengan Tim Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 itu, dia memerintahkan alat rapid test dan rumah sakit pelaksana tes diperbanyak. “Agar deteksi dini indikasi awal seseorang terpapar Covid-19 bisa dilakukan,” kata Jokowi di Istana Merdeka.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Petugas BNPB melakukan pengecekan 40 ton alat kesehatan bantuan dari China di Terminal Cargo Bandara Soekarno Hatta, Tangerang, Banten,27 Maret lalu. ANTARA/Muhammad Iqbal
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di tempat terpisah, pada hari yang sama, juru bicara pemerintah untuk penanganan Covid-19, Achmad Yurianto, memastikan pemerintah akan menyiapkan sedikitnya 1 juta alat rapid test. Sebanyak 150 ribu unit di antaranya telah tiba, sebagian dari Cina. Pembagian alat ini akan dikoordinasi dengan kantor dinas kesehatan di tiap provinsi.
Namun seretnya bantuan alat uji cepat dari pemerintah pusat justru terjadi di banyak daerah. Susi Herawati baru menerima 50 unit rapid test kit dari Jakarta pada Jumat, 27 Maret lalu, lebih dari sepekan setelah Jokowi mengumumkan dilakukannya tes secara luas di daerah. Diutamakan untuk tenaga medis, alat-alat itu ludes dalam sehari.
Di Daerah Istimewa Yogyakarta, pemerintah provinsi juga baru menerima alat bantuan pemerintah pada Sabtu, 28 Maret. Jumlahnya mencapai 14.400 unit. Perangkat dalam jumlah lebih banyak diterima pula oleh Pemerintah Provinsi Jawa Barat dan Jawa Timur. Namun datangnya alat dari Jakarta tak otomatis membuat rapid test bisa digelar secara masif. Seretnya pendistribusian alat yang terbatas ini menjadi masalah lain yang muncul dua pekan terakhir.
Di masa penuh keterbatasan bantuan alat pengujian dari Jakarta itu, sejumlah rumah sakit di daerah pun berinisiatif membeli sendiri alat dari perusahaan distribusi obat dan alat kesehatan. Alat yang dipakai RSUD Wongsonegoro untuk menguji Alvin Lie, misalnya, dipasok PT Kirana Jaya Lestari, milik Biantoro Wanandi, kakak kandung Sofjan Wanandi, pengusaha yang juga mantan Ketua Tim Ahli Wakil Presiden Jusuf Kalla.
Gerilya para vendor tak hanya ke rumah sakit rujukan. Sebulan lalu, Direktur Utama Rumah Sakit Umum Famili Husada, Koen Virawan, sempat akan membeli alat tes cepat dari distributor alat kesehatan, yang juga anak usaha sebuah perusahaan farmasi pelat merah, dengan harga Rp 4 juta per boks. Namun rumah sakit swasta di Gianyar, Bali, ini mengurungkan rencana tersebut karena distributor mensyaratkan pembayaran di depan walau barang baru akan tiba 10 hari kemudian. “Berat kalau begitu,” kata Koen, Sabtu, 4 April lalu.
•••
KARUT-marut realisasi tes cepat secara luas di sejumlah daerah yang diinstruksikan Jokowi ditengarai menjadi penyebab data tentang kasus positif Covid-19 di Indonesia tak sebesar kondisi yang sebenarnya. Hingga Sabtu siang, 4 April lalu, Pusat Operasi Kedaruratan Kesehatan Publik Kementerian Kesehatan mencatat pengujian yang dilaporkan baru sebanyak 7.986 spesimen. Sejumlah 1.986 kasus terkonfirmasi positif corona, dengan tingkat kematian 9,1 persen.
Senin, 30 Maret lalu, Presiden Joko Widodo mengumumkan pemerintah akan menambah belanja negara sebesar Rp 405,1 triliun untuk menangani dampak Covid-19. Dengan tambahan dana tersebut, defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun ini bakal melebar hingga mencapai 5,07 persen dari produk domestik bruto, melampaui batasan dalam Undang-Undang Keuangan Negara—yang mematok defisit 3 persen dari PDB.
Petugas melayani warga yang mengikuti rapid test di Puskesmas Pengasinan, Depok, Jawa Barat, 27 Maret lalu.
Di hari yang sama, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memaparkan detail rencana tambahan belanja tersebut. Dana senilai Rp 75 triliun dialokasikan untuk belanja kesehatan dengan Rp 65,8 triliun di antaranya khusus untuk pengadaan alat tes corona, alat pelindung diri tenaga medis, dan sarana-prasarana kesehatan lain.
Namun anggaran bukan satu-satunya penyebab pelaksanaan tes massal centang-perenang. Ketika Jokowi menginstruksikan rapid test secara luas, pemerintah belum juga memutuskan jenis alat yang akan dipakai. Rencana pengadaan yang dibahas sejak Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 terbentuk pada medio Maret diwarnai tarik-ulur.
Kala itu, tim yang berisi pejabat lintas kementerian dan lembaga tersebut menimbang beberapa opsi untuk menguji Covid-19: mendatangkan alat rapid test serologi atau menambah kapasitas alat dan laboratorium untuk uji cepat molekuler dengan real-time polymerase chain reaction (RT-PCR). Pilihan merek alat untuk setiap metode uji itu pun beragam.
Uji cepat yang pertama menggunakan sampel darah pasien untuk memeriksa apakah antibodi telah bereaksi dengan virus Covid-19. Alat ini dinilai efektif memeriksa sampel dalam jumlah banyak dengan hasil tes yang lebih cepat. Adapun PCR menggunakan sampel cairan dari nasofaring atau dinding tenggorokan bagian atas untuk mendeteksi keberadaan virus. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia sejak awal menilai metode ini lebih efektif dan akurat ketimbang rapid test antibodi.
Di tengah masa pembahasan tersebut, Irwandi Jaswir, guru besar International Islamic University Malaysia, sempat menghubungi Ketua Gugus Tugas Doni Monardo, kemudian diarahkan ke Ketua Tim Pakar Gugus Tugas Wiku Adisasmito. Irwandi mengabarkan soal adanya alat tes cepat antibodi untuk deteksi dini Covid-19 yang telah masuk daftar Badan Kesehatan Dunia (WHO). Penemunya adalah seorang peneliti asal Cina yang kerap bekerja sama dengan MyInnoHub, yayasan yang memfasilitasi riset akademis dan industri—tempat Irwandi sebelumnya bekerja.
Menurut Irwandi, paten tersebut telah dibeli sejumlah perusahaan, di antaranya kini menjadi SARS-CoV-2-Antibody Test (lateral flow method) bikinan Guangzhou Wondfo Biotech Co Ltd, Cina. Pemerintah Malaysia, kata dia, telah membeli alat tes cepat itu sebanyak 500 ribu.
Namun pembicaraan Irwandi dan Gugus Tugas tak berlanjut. Yang ada, Irwandi justru mendengar kabar bahwa PT Rajawali Nusantara Indonesia akan mengimpor alat tes cepat bikinan Acro Biotech Inc, pabrikan asal Amerika Serikat yang berproduksi di Cina. “Saya pikir pemerintah sudah memutuskan menggunakan dari RNI. Ya, sudah,” kata Irwandi ketika dihubungi pada Kamis, 2 Maret lalu.
Rencana RNI, badan usaha milik negara di bidang agroindustri dan perdagangan, untuk mendatangkan alat uji cepat asal Cina diutarakan anggota staf khusus Kementerian BUMN, Arya Sinulingga, 18 Maret lalu. Saat itu, Arya mengungkapkan, sebanyak 500 ribu unit rapid test kit pesanan RNI tersebut masih menunggu izin Kementerian Kesehatan.
Belakangan, diketahui bahwa rencana impor RNI bukan pesanan pemerintah untuk pengadaan alat tes cepat yang akan didistribusikan ke daerah, melainkan bisnis BUMN itu sendiri lewat anak usahanya di bidang perdagangan dan distribusi alat kesehatan, PT Rajawali Nusindo. Dokumen Perhimpunan Dokter Spesialis Patologi Klinik dan Kedokteran Laboratorium Indonesia (PDS Patklin) Cabang Bandung mencatat Rajawali Nusindo sebagai distributor untuk alat Acro SARS-COV-2 Antibody Rapid Test. Produk buatan Acro Biotech ini beredar di Jawa Barat bersama sedikitnya sembilan merek lain, termasuk produk VivaChek Biotech (Hangzhou) Co Ltd, dengan distributor PT Indofarma Global Medika—anak usaha PT Indofarma (Persero)—dan PT Kirana Jaya Lestari.
Dokter Tony Loho, yang tergabung dalam Perhimpunan Dokter Spesialis Patologi Klinik dan Kedokteran Laboratrium Indonesia, di Jakarta, 31 Maret lalu. TEMPO/Nurdiansah
Beredarnya beragam produk rapid test antibodi oleh banyak distributor ini mulai meresahkan kalangan dokter. Kepada Tempo, seorang dokter patologi di rumah sakit swasta di Jakarta bahkan mengatakan sempat menerima tawaran dari distributor alat tes cepat bikinan Edan Instruments Inc, Cina. Namun, belakangan, barang yang dipesan tidak jadi datang. Distributor alat tersebut di Indonesia mengabarkan bahwa alat tersebut ditarik lagi karena belum mendapat izin edar dari badan pengawas obat dan makanan Tiongkok.
Beberapa hari setelah instruksi Jokowi, Tim Pakar Gugus Tugas menggelar rapat dengan sejumlah ahli untuk membicarakan alat tes Covid-19. Ahli itu antara lain Tony Loho dari PDS PatKlin serta Pratiwi Pudjilestari Sudarmono dan Anis Kurniawati dari Perhimpunan Ahli Mikrobiologi Klinik Indonesia. Mereka mengingatkan pentingnya menentukan standar alat tes yang akan beredar. “Ada yang tanya soal validitas alat-alat tes tersebut,” kata Tony di kantor PDS PatKlin, Jakarta, Selasa, 31 Maret lalu.
Rapat akhirnya sepakat merujuk pada edaran WHO tertanggal 24 Maret 2020 dan sertifikasi Uni Eropa sebagai rekomendasi merek yang dapat digunakan di Indonesia. Rekomendasi pertama diisi produk dari lima pabrik, yakni CTK Biotech, Hangzhou Biotest Biotech, Innovita Biological Technology, SD Biosensor Inc, dan VivaChek Biotech. Sembilan merek produk lain menjadi alternatif rekomendasi, yakni buatan Zhuhai Livzon Diagnostics Inc, Autobio Diagnostics, Coronacide, Guangzhou Wondfo Biotech Co Ltd; Bioscience (Chongqing) Biotech Co Ltd; Xiamen InnoDx Biotech Co Ltd; Guangdong Hecin Biotech Co Ltd; dan Nanjing Vazyme Biotech Co Ltd.
Berada di tengah wabah, Gugus Tugas mengambil jalan tengah. Akmal Taher, Ketua Tim Uji Klinik Alat Kesehatan Direktorat Jenderal Farmasi dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan, yang juga anggota Tim Pakar Gugus Tugas, mengatakan alat yang sudah mengantongi izin edar dari negara pembuat dan telah dipakai negara lain bisa digunakan di Indonesia. “Kalau pakai cara normal, bisa lama sekali,” ujar Akmal di Jakarta, Selasa, 31 Maret lalu.
Hingga akhir pekan lalu, praktis belum ada alat uji cepat antibodi yang didatangkan pemerintah lewat mekanisme pengadaan barang dan jasa. Alat yang telah didistribusikan ke daerah sejauh ini merupakan hasil sumbangan sejumlah donatur, seperti dari pemerintah Cina, investor Tiongkok di Indonesia, dan Yayasan Buddha Tzu Chi. Walhasil, keterbatasan alat uji cepat terjadi di mana-mana.
Seorang sumber Tempo yang mengetahui rencana pengadaan rapid test mengatakan Kementerian Kesehatan lewat Gugus Tugas justru akan mengimpor alat tes bikinan Nanjing Vazyme Biotech Co Ltd, Cina.
Dimintai konfirmasi mengenai rencana pengadaan ini, juru bicara pemerintah untuk penanganan Covid-19, Achmad Yurianto, menyatakan tak tahu merek yang akan didatangkan. Yang jelas, menurut dia, pemerintah sudah mendistribusikan 470 ribu alat tes cepat. Adapun estimasi kebutuhan total pengadaan berkisar 1 juta rapid test kit. “Sekarang sedang pengajuan pengadaan melalui Gugus Tugas,” ujar Yurianto, Jumat, 3 April lalu.
Dihubungi sejak Kamis, 2 April, Direktur Utama PT Rajawali Nusantara Indonesia (Persero) Eko Taufiq tidak merespons pertanyaan Tempo tentang realisasi alat tes cepat yang didatangkan anak perusahaannya. Begitu pula ketika ditanyai soal rapat tim pakar yang tak mencantumkan produk Acro Biotech.
Sekretaris Perusahaan PT Indofarma (Persero) Arie Genipa membenarkan ada banyak prinsipal yang menawarkan alat tes cepat ke perseroan. Setelah dilakukan seleksi, kata Arie, pilihan jatuh pada VivaChek. “Nanti akan datang dari Korea Selatan juga,” ujar Arie saat dihubungi pada Kamis, 2 April lalu. “Kami sudah mendapat tiga prinsipal.”
Francis Wanandi, anak Biantoro Wanandi, yang juga pemilik PT Kirana Jaya Lestari, menyatakan dia dan keluarga tidak mengurus langsung bisnis alat tes cepat ini. Namun Direktur Utama Kirana Jaya Lestari, Thomas Harsono, menyebutkan perusahaannya telah berusaha mendatangkan alat itu sebelum Jokowi memerintahkan tes massal. Pengumuman Presiden soal rencana tes cepat secara luas, kata Thomas, “Jadi dukungan moral untuk produk ini.”
Menurut dia, Kirana Jaya kini telah mengimpor 140 ribu alat tes. Kepada pelanggannya, seperti RSUD Wongsonegoro, perseroan ini menjualnya seharga Rp 8,8 juta per kotak atau Rp 220 ribu per buah. Thomas menampik anggapan bahwa perusahaannya mengambil untung besar dalam situasi darurat pandemi Covid-19. “Saya pikir itu harga yang ekonomis,” ujar Thomas.
•••
SAAT Kementerian Kesehatan belum terang menentukan alat tes untuk Covid-19, Kementerian BUMN memilih bergerak sendiri sejak pertengahan Maret lalu. Mendengarkan pendapat para ahli, mereka langsung memesan sepuluh unit mesin PCR dari Swiss. Mengincar produk Roche, Kementerian BUMN berencana menyebar mesin-mesin tersebut ke sejumlah rumah sakit milik perusahaan pelat merah.
Sambil menunggu alat datang, persiapan dimulai. Direktur Utama Rumah Sakit Pelni, Fathema Djan Rachmat, bertugas menyiapkan sepuluh fasilitas laboratorium beserta tenaga medis untuk mengoperasikan PCR. Metode pemeriksaan ini memang membutuhkan laboratorium dengan keamanan level dua (biosafety level 2/BSL 2).
Menurut Fathema, satu unit PCR sudah tiba di Jakarta. Alat itu bisa memeriksa seribu sampel per hari. “Sore ini mulai diinstal di RS Pertamina Jaya,” kata Fathema kepada Tempo, Jumat, 3 April lalu.
Dua pejabat di lingkup pembahasan penanganan Covid-19 mengungkapkan, inisiatif Kementerian BUMN dipicu lambannya Kementerian Kesehatan mengeksekusi pengadaan alat tes. Keterlambatan pengadaan tidak hanya disebabkan oleh tarik-ulur tentang jenis alat yang akan dibeli, tapi juga lantaran ketakutan para pejabat eselon II Kementerian Kesehatan menjadi pejabat pembuat komitmen (PPK). “Mereka trauma dengan kasus yang menjerat Siti Fadilah Supari,” kata sumber Tempo itu. “Mereka ini sudah siap mundur kalau tidak ada kejelasan di penganggaran Covid-19.”
Kasus yang dimaksud adalah perkara korupsi pengadaan alat kesehatan untuk penanganan kejadian luar biasa flu burung pada 2005-2007 yang menjerat mantan Menteri Kesehatan, Siti Fadilah Supari, dengan vonis 4 tahun penjara. Pada akhir 2018, Mahkamah Agung menolak upaya peninjauan kembali yang diajukan Siti.
Ketakutan itu terlihat dalam rapat besar untuk menyepakati harga pengadaan paket lengkap alat pelindung diri (APD) berupa gown, kacamata, dan sepatu sebanyak 10 ribu buah di kantor Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Kamis, 26 Maret lalu. Produk sebanyak itu merupakan barang ekspor yang pengirimannya ke Korea Selatan ditahan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai pada 21 Maret lalu.
Dibatalkan izin ekspornya, APD buatan PT Permana Putra Mandiri dengan pemegang kontrak ekspor PT Energi Kita Indonesia tersebut hendak dibeli Gugus Tugas dengan anggaran Kementerian Kesehatan. Rupanya, tagihan biaya dari pemilik barang, yakni senilai US$ 50 per potong, jauh lebih tinggi ketimbang nilai pembelian produk serupa oleh Kementerian Kesehatan, yang hanya Rp 370 ribu per potong.
Saat rapat di BNPB itulah Inspektur Jenderal Kementerian Kesehatan Murti Utami mengingatkan perlunya mengklarifikasi masalah perbedaan harga tersebut. “Perlu dijamin kenyamanan pejabat pembuat komitmen dalam pengambilan keputusan saat ini agar tidak terjadi masalah di kemudian hari,” kata Sekretaris Jenderal Kementerian Kesehatan Oscar Primadi dalam risalah rapat yang diterima Tempo.
Belakangan, rapat yang dihadiri perwakilan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah (LKPP), Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, serta Komisi Pemberantasan Korupsi itu menyepakati harga yang ditagih pemilik barang cukup wajar. Toh, Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto tak puas. Pada Ahad malam, 29 Maret lalu, Terawan menelepon Ketua KPK Firli Bahuri untuk meminta fatwa hukum berkaitan dengan pengadaan darurat di masa penanggulangan Covid-19.
Menurut pejabat yang mengetahui komunikasi itu, Kementerian Kesehatan masih belum merasa aman walaupun sudah ada Peraturan LKPP Nomor 13 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang atau Jasa dalam Penanganan Keadaan Darurat, yang bisa dilakukan dengan metode swakelola. Pasalnya, harga-harga alat kesehatan sudah tidak masuk akal.
Presiden Joko Widodo dan Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto menyampaikan konferensi pers tentang Covid-19 di Istana Merdeka, Jakarta, 2 Maret lalu. ANTARA/Sigid Kurniawan
Terawan tidak menjawab ketika dihubungi Tempo soal komunikasinya dengan Firli dan ketakutan para pejabat pembuat komitmen untuk berbelanja menanggulangi wabah. Namun Firli membenarkan adanya komunikasi tersebut. Menurut Firli, KPK tidak bisa memberikan fatwa karena tidak berwenang. “Yang penting, jangan ada niat korupsi, menerima imbal balik, hadiah atau janji, konflik kepentingan, dan suap,” ujar Firli saat dihubungi pada Kamis, 2 April lalu.
Jaminan itu kini tertampung dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-2019 dan/atau dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan. Diteken Jokowi, 31 Maret lalu, perpu ini tak hanya memberikan keleluasaan defisit anggaran hingga lebih dari 3 persen terhadap PDB, tapi juga menyatakan belanja negara yang berhubungan dengan penanganan Covid-19 bukan sebagai kerugian negara. Pasal 27 yang kini menuai kritik kalangan pegiat antikorupsi itu juga menjamin setiap pejabat pelaksana perpu tersebut tak dapat dituntut, baik perdata maupun pidana.
Sedikit angin harapan datang sepekan terakhir. Monica Nirmala, relawan Tim Pakar Gugus Tugas, mengatakan para pakar dan Kementerian Kesehatan sudah mempertimbangkan penggunaan mesin tes cepat molekuler (TCM) GenXpert yang selama ini digunakan untuk mendeteksi tuberkulosis. Populasi mesin ini mencapai 956 unit, yang tersebar di penjuru daerah. “Seminggu lalu, produsen GenXpert berhasil mengembangkan cartridge yang bisa membaca Covid-19,” ujar Monica yang juga penerima beasiswa Sekolah Kesehatan Publik Universitas Harvard, saat dihubungi, Rabu, 1 April lalu.
Akmal Taher membenarkan rencana penggunaan TCM GenXpert, yang dianggapnya lebih efisien untuk tes Covid-19. Hal senada diutarakan Achmad Yurianto. Masalahnya, produsen cartridge GenXpert untuk pendeteksi Covid-19 hanya ada dua di dunia, yakni Amerika Serikat dan Swedia. Amerika, kata dia, kini menutup keran ekspor alat kesehatan. Sedangkan Swedia kebanjiran pesanan dari negara lain dan hanya bisa memproduksi 50 ribu unit per hari. “Kita antre pesan ke Swedia,” kata Yuri. “Jadwalnya minggu depan baru dapat 10 ribu saja.”
KHAIRUL ANAM, HUSSEIN ABRI DONGORAN, GABRIEL WAHYU TITIYOGA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo