Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Mengelola Harapan dan Modal Politik

30 November 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Muhammad Chatib Basri

  • Research Associate di LPEM-FEUI

    ”Ekonom tak boleh hanya mengerti soal model ekonomi, ia harus memahami politik, kepentingan, konflik, nafsu—sesuatu yang hadir dan tumbuh dalam kehidupan nyata. Untuk jangka waktu tertentu, orang dapat membuat perubahan dengan peraturan, tetapi untuk membuat perubahan itu langgeng, orang harus membangun koalisi, menggalang dukungan. Orang harus menjadi politikus”.

    Kalimat itu bukan datang dari anggota baru parlemen kita. Kalimat itu adalah kalimat lugas yang disampaikan Alejandro Foxley, mantan Menteri Keuangan Cile. Pesannya jelas: kebijakan ekonomi tak akan berhasil tanpa dukungan politik. Dan Indonesia, setidaknya dari mandat yang begitu kuat terhadap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Boediono, seharusnya punya harapan itu. Wajar bila orang punya ekspektasi yang begitu tinggi tentang ekonomi Indonesia. Di sana-sini, dengan nada memuji, orang mulai bicara mengenai masa depan ekonomi yang cerah dari negeri ini. Begitu cerahkah masa depan ekonomi kita?

    Mungkin kita harus menjawabnya dengan sedikit hati-hati. Kita memang mencatat: perekonomian dunia mulai menunjukkan tanda perbaikan. Pertumbuhan ekonomi AS diperkirakan akan mulai positif pada triwulan pertama 2010. Sumber pertumbuhan di Amerika Serikat tampaknya akan didominasi oleh konsumsi rumah tangga, inventory, dan investasi swasta. Sedangkan net-export masih sulit diharapkan untuk menjadi sumber pertumbuhan. Artinya, sampai triwulan ketiga 2010, tampaknya peran AS sebagai lokomotif perdagangan dunia akan relatif terbatas.

    Jika prediksi ini benar, ada implikasi yang besar bagi perekonomian global. Artinya, pemulihan ekonomi global akan terjadi tanpa dorongan perdagangan dari Amerika Serikat. Pertanyaan yang amat penting adalah siapa yang akan mengambil peran sebagai lokomotif perdagangan dunia. Dari sisi kapasitas, yang paling mungkin adalah Cina. Namun, dari sisi lain, tampaknya kebijakan yang diambil Cina belum menunjukkan keinginan negeri itu menjadi lokomotif perdagangan dunia. Bila hal ini berlanjut, artinya pemulihan ekonomi global akan terjadi tanpa dukungan secara signifikan dari perdagangan global. Dengan kata lain, pemulihan ekonomi akan lebih didorong oleh ekonomi domestik. Sampai batas tertentu dorongan ekonomi domestik ini akan membawa dampak positif bagi perekonomian suatu negara. Namun ada limitasi dari sumber pertumbuhan ekonomi domestik, mengingat keterbatasan pasar dan juga daya beli. Karena itu, kekhawatiran yang muncul adalah pemulihan ekonomi akan menjadi relatif lebih lambat bila pemulihan ekonomi global tidak didukung oleh perdagangan global. Artinya, dibutuhkan waktu yang lebih panjang untuk mengembalikan perekonomian dunia kepada kondisi normal.

    Kekhawatiran lain yang muncul adalah peran ekonomi domestik yang semakin penting juga memungkinkan munculnya semangat proteksionisme. Setiap negara akan cenderung mempertahankan pasar domestiknya, mengingat bahwa pasar domestik menjadi katup penyelamat ketika ekonomi global sedang memburuk. Dengan kondisi seperti ini, tekanan terhadap proteksionisme menjadi semakin kuat. Karena itu, keputusan para pemimpin dunia di Leaders Summit G-20 di Pittsburgh, yang mengatakan bahwa masih terlalu dini untuk mengambil langkah exit strategy, memang punya dasar. Situasi global memang masih rentan. Artinya, ancaman krisis keuangan masih bisa terjadi setiap waktu.

    Bagaimana dengan Indonesia? Kita bukan kekecualian. Beberapa indikator dini mulai menunjukkan perbaikan. Penjualan retail sudah mulai meningkat, indeks kepercayaan konsumen membaik. Beberapa waktu lalu, Badan Pusat Statistik merilis angka pertumbuhan ekonomi pada triwulan ketiga tahun ini yang mencapai 4,2 persen. Lebih baik dari perkiraan banyak pihak. Jika kita melihat pertumbuhan antartriwulan, kita akan menemukan bahwa PDB tumbuh 3,9 persen dalam triwulan ketiga. Lebih baik dibanding triwulan sebelumnya yang hanya 2,3 persen. Artinya, ada proses percepatan pertumbuhan ekonomi selama dua triwulan terakhir. Konsumsi rumah tangga bahkan masih bisa tumbuh rata-rata di atas 5 persen selama tiga triwulan ini.

    Inflasi tahun ini juga yang terendah sejak 2000. Inflasi yang rendah ini telah meningkatkan daya beli dan memberikan dampak positif kepada kestabilan makroekonomi—yang pada gilirannya juga mengundang masuknya arus modal masuk ke Indonesia. Hal ini tecermin dari penguatan rupiah akibat arus modal masuk. Dengan tingkat inflasi yang relatif rendah ini, memang terbuka ruang bagi Bank Indonesia untuk menurunkan tingkat bunganya. Namun saya melihat bahwa ada kecenderungan peningkatan inflasi karena kenaikan harga komoditas dan juga karena kenaikan permintaan yang lebih cepat dibandingkan dengan pertumbuhan kapasitas produksi. Dengan kondisi seperti itu, saya melihat keputusan Bank Indonesia untuk tidak menurunkan tingkat bunga pada bulan lalu adalah keputusan yang tepat untuk mengelola ekspektasi inflasi.

    Bagaimana prospek tahun depan? Sepanjang tiga triwulan tahun 2009, konsumsi rumah tangga tumbuh rata-rata di atas 5 persen. Dengan kecenderungan perbaikan yang terlihat dalam berbagai indikator dini seperti konsumsi listrik, penjualan mobil, motor, dan retail, sangat mungkin konsumsi rumah tangga akan tumbuh relatif lebih tinggi pada 2010. Porsi dari konsumsi rumah tangga mencapai sekitar 60 persen dari PDB. Jika pertumbuhannya dapat dipertahankan 5 persen atau lebih, konsumsi rumah tangga sudah akan memberikan kontribusi 3 persen bagi pertumbuhan ekonomi.

    Pengeluaran pemerintah dan investasi masing-masing memiliki porsi sekitar 8 persen dan 24 persen. Jika pengeluaran pemerintah dapat tumbuh 10 persen dan investasi tumbuh 4 persen saja—sedikit lebih baik dibanding 2009—pertumbuhan ekonomi di luar net-ekspor sudah bisa mencapai 4,8 persen. Dengan situasi global yang membaik, pertumbuhan ekonomi 5-5,5 persen rasanya bukan satu hal yang mustahil. Kalau begitu, memang ada alasan untuk optimistis. Inflasi memang ada kemungkinan akan lebih tinggi—menjadi sekitar 6 persen—akibat kenaikan harga komoditas, meningkatnya permintaan, dan terbatasnya kapasitas produksi. Dengan sendirinya tingkat bunga mungkin akan menjadi lebih tinggi dibanding saat ini. Namun suku bunga pinjaman tak akan banyak berubah karena toh net-interest margin perbankan sudah relatif besar.

    Dalam soal pertumbuhan, kita perlu mencatat: pertumbuhan 5-5,5 persen tidaklah memadai untuk mengatasi masalah pengangguran. Karena itu, pertumbuhan harus dipacu lebih tinggi lagi. Di sini, saya kira, optimisme kita diuji. Pertumbuhan ekonomi di atas 6,5 persen hanya bisa terjadi jika dukungan infrastruktur—baik listrik, jalan, pelabuhan, maupun bandara—memadai. Infrastruktur dibutuhkan untuk memperbaiki sistem logistik. Indonesia adalah negara kepulauan dengan biaya transaksi yang begitu besar akibat sistem logistik dan distribusi yang buruk. Perbedaan harga di Jawa dengan daerah Indonesia timur seperti Wamena berkali-kali lipat. Perbedaan harga yang sangat jauh ini terjadi karena sistem distribusi yang buruk, dan akibat biaya logistik yang tinggi. Dengan sistem logistik yang baik, biaya transaksi dapat dikurangi, dan pasar domestik menjadi lebih efisien, di sisi lain ia juga membuat produk ekspor kita lebih kompetitif.

    Masalahnya, untuk menyelesaikan masalah infrastruktur seperti jalan dan listrik, dibutuhkan reformasi yang signifikan. Masalah jalan tak akan selesai jika soal tanah tak terselesaikan. Masalah tanah adalah soal yang peka dengan isu politik. Masalah listrik tak akan selesai bila tak ada rasionalisasi dalam soal tarif. Masalah hambatan birokrasi dan kepastian hukum tak akan selesai bila reformasi hukum dan aparat hukum tak dilakukan. Artinya, proses reformasi yang harus dilakukan tak mudah. Ia butuh dukungan politik. Dilema dari sebuah reformasi adalah: pengorbanannya dirasakan seketika, namun manfaatnya baru terasa beberapa tahun kemudian. Contoh yang paling nyata adalah kenaikan harga bahan bakar minyak.

    Itu sebabnya kalimat Foxley, mantan Menteri Keuangan Cile, menjadi sangat relevan. Di sini pemerintah tak bisa bermain-main dengan modal politiknya. Pemerintah tak bisa bermain-main dengan kredibilitasnya. Isu KPK dan kepolisian, misalnya, tak boleh mengganggu modal politik pemerintah. Bila modal politik turun akibat menurunnya kepercayaan masyarakat, dukungan untuk melakukan reformasi yang substansial akan melemah. Bila dukungan melemah, tindakan yang tak populer sulit dilakukan. Padahal hal itu dibutuhkan untuk mendorong ekonomi tumbuh lebih cepat lagi. Prospek ekonomi 2010 memang cukup cerah. Namun kita masih harus mendorong pertumbuhan ekonomi lebih tinggi pada tahun-tahun berikutnya. Di sini, dukungan politik yang besar dari masyarakat dibutuhkan agar reformasi bisa dijalankan.” … Untuk jangka waktu tertentu, orang dapat membuat perubahan dengan peraturan, tetapi untuk membuat perubahan itu langgeng, orang harus membangun koalisi, menggalang dukungan”. Dan Foxley benar.

  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus