Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Preeklamsia menjadi penyebab utama mortalitas dan morbiditas ibu dan bayi di Indonesia. Masih banyak ibu hamil yang belum memiliki pemahaman mumpuni tentang preeklamsia dan risiko yang ditimbulkan. Dokter Spesialis Kandungan, Aditya Kusuma mengatakan komplikasi ini biasanya ditandai dengan tekanan darah tinggi dan dapat menyebabkan kerusakan pada organ vital, khususnya ginjal dan hati.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Preeklamsia dapat menyebabkan komplikasi serius bahkan fatal bagi ibu dan bayi, jika tidak ditangani dengan segera. Sayangnya, diagnosis preeklamsia terkadang terlewatkan karena banyak gejalanya tertutup oleh keluhan umum kehamilan seperti kaki bengkak, sakit kepala atau mual,” ujarnya dalam diskusi virtual “Deteksi Dini Preeklamsia untuk Kurangi Risiko Kematian Ibu dan Janin, oleh Roche Indonesia, Selasa 12 Oktober 2021.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Aditya melanjutkan preeklamsia menyumbang 76 ribu kematian ibu di dan 500 ribu kematian janin di dunia setiap tahunnya. Hal ini karena gambaran klinis preeklamsia tidak cukup jelas. “Eklamsia artinya petir (dalam bahasa Yunani) jadi sering kali wanita hamil tidak sadar, dan selalu berasumsi tensinya bagus, begitu muncul bisa membahayakan ibu dan janin,” ujarnya menambahkan preeklamsia tidak bisa diprediksi dan penilaian keparahan sulit dilakukan.
Sementara gejala-gejala preeklamsia sprektrumnya luas dari yang berat hingga ringan, biasanya tidak dirasakan pada awal kehamilan dan baru terlihat saat memasuki usia kehamilan 20 minggu. Ada beberapa keluhan seperti sakit kepala, gangguan penglihatan, tekanan darah tinggi, berat badan naik dengan cepat, mual dan sakit pada area abdominal, protein pada urin, dan bengkak berlebihan. “80 persen wanita dengan preeklamsia tidak memiliki gejala, ini yang seringkali dianggap menjadi silent killer,” ujar Aditya.
Preeklamsia memiliki berbagai risiko bagi ibu dan janin dalam jangka pendek ataupun panjang, misalnya persalinan prematur, berat badan bayi rendah saat lahir, placenta abruption, kejang yang dapat berkembang menjadi eklampsia, bahkan berpotensi mengakibatkan kematian.
Beberapa faktor yang dapat meningkatkan kemungkinan preeklamsia, di antaranya adalah kehamilan pertama, riwayat preeklasmsia pada kehamilan sebelumnya, adanya riwayat preeklamsia dalam keluarga, kehamilan di bawah usia 20 atau di atas 35 tahun, kehamilan kembar, ibu hamil dengan penyakit ginjal, hipetensi kronis, penyakit imun, dan wanita yang mengalami obesitas sebelum hamil.
Menurut Aditya untuk mendeteksi dini potensi preeklamsia dapat dilakuakn dengan pemeriksaan biomarker. Pemeriksaan ini bisa dilakukan di trimester pertama kehamilan. “Ketika wanita belum merasakan apapun dengan pemeriksaan biomarker sFlt-1/PlGF, sudah mulai ada indikasi, sekian persen muncul kemungkinan preeklamsia,” ujarnya. Pemeriksaan sebaiknya dilakukan pada usia kehamilan 11 hingga 13 minggu, sedangkan di trimester kedua pemeriksaan dilakukan ketika sudah mulai ada gejala atau risiko seperti tekanan darah tinggi.